Jakarta (Radar96.com) – Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Ali Munhanif, Ph.D, menegaskan bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah, merupakan ulama pelopor, arsitek, desainer, bahkan engine gerakan NU, yang mengembangkan “Fiqh Wathoniyah” (Fikih Kebangsaan).
“Fikih yang dikembangkan Kiai Wahab itu menjadi landasan penting dalam menangkap pluralisme atau semangat kemajemukan yang dimiliki umat Islam di Indonesia,” katanya dalam Webinar dan Peluncuran Buku KH Abdul Wahab Chasbullah yang diadakan Kyai Wahab Foundation (KWF) bersama PCNU Jakarta Pusat dan berlangsung secara virtual, Jumat (5/2/2021).
Webinar Nasional bertajuk “KH Abdul Wahab Chasbullah; Peran dan Pemikiran dalam Konteks Kekinian” dan Peluncuran Buku “Pluralitas dalam Bingkai Nasionalisme; Telaah atas Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Wahab Chasbullah” itu juga melibatkan IKABU Jabodetabek, Himabi Jakarta dan Penerbit Jejak.
Kegiatan yang berlangsung secara virtual dalam rangka memperingati Harlah NU ke-98 (versi Hijriyah) ini menghadirkan beberapa pembicara, antara lain; KH Agus Sunyoto, Sejarawan Islam; Prof. Ali Munhanif, Ph.D, Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; dan Suwadi D Pranoto, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU.
Acara dimulai dengan sambutan yang disampaikan oleh KH. M Hasib Wahab, selaku Ketua PBNU dan Pembina Kyai Wahab Foundation, lalu sambutan Gus Syaifuddin, selaku Ketua PCNU Jakarta Pusat. “Tujuan kegiatan ini adalah menggali kembali teladan Kiai Wahab dalam menyambut satu abad kiprah Nahdlatul Ulama,” kata Gus Syaifuddin.
Diskusi yang dimoderatori oleh A. Irfan Mufid (dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) itu diawali dengan mengulik sejarah ketokohan KH Abdul Wahab Chasbullah sebagai seorang ulama inisiator dan pendiri organisasi islam terbesar di Indonesia yakni, Nahdlatul Ulama (NU).
Kiai Wahab lahir di Jombang pada tanggal 31 Maret 1888 dan wafat pada tanggal 29 Desember 1971. Kiai Wahab merupakan seorang ulama yang bisa disebut komplit karena selain ahli di bidang ilmu agama, beliau juga memiliki ilmu kanuragan, seorang pedagang, dan juga memiliki jiwa seni yang tinggi. Pemikiran dan perjuangan Kiai yang melintasi ruang dan waktu yang hingga saat ini masih relevan dan urgen untuk tetap dilestarikan
Agus Sunyoto menjelaskan bahwa Kiai Wahab adalah tokoh yang memimpin rombongan Komite Hijaz dengan membawa pesan dari kalangan ulama tradisional untuk melobi Raja Saudi penguasa baru di Tanah Arab agar memelihara warisan-warisan Islam zaman Rasulullah dan Sahabat dan untuk kehidupan bermadzhab diperbolehkan, sehingga penggusuran makam Rasulullah dan yang lainnya bisa digagalkan.
Dalam konteks nasional, Agus Sunyoto pernah mendapat penjelasan dari Gus Dur, bahwa Kiai Wahab pengetahuannya dan pemahamannya luar biasa tentang eksistensi golongan, partai politik dan ideologi. Dengan latar belakang dari pesantren tidak bisa dianggap remeh. Justru dengan penguasaan geopolitik itulah Kiai Wahab membawa NU keluar dari Masyumi. Karena posisi NU didalam Masyumi tidak menguntungkan secara sosial politik.
Kiai Wahab adalah ulama yang ahli ushul fikih, yang selalu beliau gunakan sebagai pisau analisis dalam mengambil keputusan politik maupun dalam menerima pemikiran-pemikiran dari luar meskipun berbeda yang ujungnya dijadikan partner dalam berjuang.
Senada dengan itu, Ali Munhanif melihat Fiqh Wathoniyah (Fikih Kebangsaan) yang dikembangkan Kiai Wahab menjadi landasan penting dalam menangkap pluralisme atau semangat kemajemukan yang dimiliki umat Islam di Indonesia.
“Semangat kemajemukan negeri ini sudah lahir sejak awal kemerdekaan ketika ulama NU membayangkan tentang kecintaan kepada Tanah Air sebagai landasan untuk munculnya sebuah negara merdeka yang dihuni warga negara yang bermacam-macam terlepas dari identitas keagamaan maupun ideologi politik yang dimiliki,” katanya.
Kiai Wahab telah mengantarkan landasan berfikir tentang nasionalisme Indonesia melampaui zamannya. Lagu Ya lal Wathon yang diciptakan sebelum kemerdekaan, hari ini bisa dinyanyikan oleh siswa BPK Penabur dengan fasih dan tanpa beban. Semangat kemajemukan dalam bingkai nasionalisme sedang menemukan momentumnya saat ini.
Pembentukan Nahdlatut Tujjar sendiri merupakan semacam asosiasi perdagangan muslim pribumi yang merespon dominasi kelompok kolonial di kota-kota besar. Kiai Wahab menginginkan kalangan pesantren berdaya secara ekonomi, sehingga leluasa dalam berdakwah. “Ya, Kiai Wahab merupakan pelopor, arsitek, desainer, bahkan engine gerakan NU,” katanya.
Sementara itu, narasumber terakhir, Suwadi D Pranoto, menjelaskan posisi Kiai Wahab sebagai “Muharrik” (penggerak) di NU, Muharrik yang bermakna penggerak benar-benar diejawantahkan oleh Kiai Wahab dalam melakukan konsolidasi dengan kiai-kiai di Nusantara, maupun saat masih belajar di Mekkah.
“Untuk menjelaskan sebuah keputusan, baik di NU maupun negara, Kiai Wahab tidak hanya melalu mimbar-mimbar resmi, tapi ‘blusukan’ silaturahim ke pelosok-pelosok Jawa dan luar Jawa untuk menjelaskan maksud dan tujuan keputusan itu diambil kepada para kiai dan para tokoh,” katanya.
Dalam diskusi ini juga dilakukan peluncuran buku berjudul ‘Pluralitas dalam Bingkai Nasionalisme’ (Telaah atas Pemikiran dan Perjuangan KH Abdul Wahab Hasbullah) karya Muhammad Izzul Islam An-Najmi (Gus Amik), cucu KH Abdul Wahab Chasbullah.
Buku ini, mengupas tuntas mengenai pemikiran Kiai Wahab mulai dari sudut pandang Kiai Wahab sebagai seorang pengasuh pesantren, pemikir, tokoh bangsa, guru dan sosok ayah.
Buku ini ditulis untuk memberikan alternatif baru tentang pemikiran dan perjuangan Kiai Wahab, terutama berkaitan dengan nilai-nilai pluralitas yang dibingkai semangat nasionalisme dan konsep Islam berbasis kontruksi pluralitas keberagamaan.
Acara diakhiri dengan tanya jawab dan pembagian doorprize Buku KH Abdul Wahab Chasbullah, Peci NU, Helm NU, Kaos Mbah Wahab dan Smartphone kepada beberapa peserta yang hadir secara virtual. (*/Syaifuddin)