Surabaya (Radar96) –
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyatakan keragaman budaya dan bahasa merupakan salah satu nilai lebih yang dimiliki bangsa Indonesia. Setiap suku memiliki ciri dan bahasa yang khas untuk kelompoknya. Di Jawa Timur pun beragam.
“Ini satu keragaman yang patut kita jaga, kita lestarikan dan kita kembangkan,’’ ucapnya di Surabaya, Minggu (21/2/21), menanggapi momentum Hari Bahasa Ibu Internasional yang dirayakan setiap 21 Februari, untuk menumbuhkan rasa penghargaan terhadap budaya dan bahasa yang beraneka ragam.
Masyarakat Jawa Timur di wilayah timur dikenal khas dengan bahasa Osing. Ada juga yang menggunakan bahasa Madura. Tapi, logat bahasa tersebut sedikit berbeda dengan masyarakat yang tinggal di Kepulauan Madura. Masih ada lagi, masyarakat Jawa Timur di wilayah barat, logat bahasa hampir sama dengan Jawa Tengah.
“Ini masih satu provinsi, belum pada provinsi lainnya, sungguh ini kekayaan yang luar biasa,’’ kata mantan Menteri Sosial itu menjelaskan Hari Bahasa Ibu Internasional yang berasal dari sejarah penggunaan bahasa di Bangladesh.
Dulu, Bangladesh memperjuangkan penggunaan Bahasa Bengal di wilayahnya. Sebenarnya, bahasa Bengal sudah lama digunakan di daerah tersebut. Namun pemerintahan Bengal Barat yang Sekarang disebut Pakistan justru menetapkan bahasa Urdu sebagai bahasa resmi wilayah tersebut. Protes bermunculan dari berbagai kelompok masyarakat. Alasannya, bahasa Urdu bukan bahasa yang mereka kenal dan gunakan sejak kecil.
Pertikaian terjadi pada 21 Februari 1952. Aparat keamanan bentrok dengan para demonstran. Banyak tokoh meninggal akibat pertikaian itu.
Akhirnya, bahasa Bengal menjadi bahasa resmi di Bangladesh. Lalu, momen kericuhan pada 21 Februari itu dijadikan sebagai Hari Gerakan Bahasa. PBB melalui sidang umum pun menetapkan hari tersebut sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional.
Khofifah menambahkan masyarakat Indonesia patut bersyukur dengan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Perbedaan bahasa tidak bisa disatukan dalam satu bahasa, yakni bahasa Indonesia. Penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ditetapkan jauh sebelum Indonesia Merdeka, yakni pada 1928.
Bahasa tersebut lalu menjadi alat komunikasi resmi, tanpa harus menggeser bahasa daerah atau bahasa adat.
Permasalahan perbedaan bisa diselesaikan dengan cara damai. Perbedaan bahasa bukan menjadi buah persoalan. Sebaliknya, keragaman bahasa dan logat menjadi anugerah serta kekayaan yang patut dilestarikan.
Tak jarang, orang sunda belajar menggunakan bahasa Jawa, dan sebaliknya. Tak jarang pula orang Jawa belajar menggunakan bahasa Batak, dan sebaliknya. Orang Batak, merasa terhormat ketika ada orang lain berusaha mempelajati bahasanya.
Di Hari Bahasa Ibu Internasional ini, Khofifah mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tetap menghargai keragaman budaya dan bahasa yang ada di Indonesia, khususnya Jawa Timur. Perbedaan bukan untuk dipersoalkan. Perbedaan merupakan kepatutan yang harus dipahami dan dihargai.
(*/my)