Oleh Al-Zastrouw *)
Tindakan teror yang merenggut korban jiwa kembali terjadi di Makassar dan Jakarta beberapa waktu lalu. Di dua tempat tersebut pelakunya tidak lagi seorang lelaki, tetapi seorang perempuan belia bahkan melibatkan suami istri. Apa yang terjadi menunjukkan bahwa teorisme telah merambah dunia keluarga dan kaum perempuan.
Hampir semua orang sepakat bahwa teror adalah tindakan biadab yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan mengabaikan moral etik sehingga merusak peradaban dan mengancam kehidupan. Tidakan teror hanya bisa dilakukan oleh manusia yang sudah tercerabut jiwa kemanusiaannya. Selagi masih memiliki rasa kemanusiaan, seseorang tidak akan mungkin bisa melakukan teror. Artinya tindakan teror berbanding terbalik dengan jiwa dan rasa kemanusiaan yang dimiliki seseorang. Teroris adalah orang yang tertutup mata hati dan pikiran, mati rasa dan nurani sehingga menjelma menjadi mesin pembunuh dan alat perusak yang bengis dan brutal.
Data yang ada menunjukkan pelaku teror tidak mengenal usia, mulai anak-anak sampai dewasa, status sosial; mulai dari kelas elite (para pengusaha yang memiliki jaringan bisnis) sampai kelas bawah (rakyat jelata), kondisi ekonomi; orang kaya sebagaimana terlihat pelaku bom Srilangka dan orang miskin pelaku bom di beberapa tempat di Indonesia serta tingkat pendidikan; para doktor dan sarjana (oknum dosen IPB, Dr. Ayman) dan anak yang putus sekolah. “Virus” terorisme ini seperti narkoba yang bisa menyerang siapa saja. Dan jika sudah terpapar virus teroris maka akan kehilangan akal dan nurani sebagaimana orang terpapar narkoba.
Jika dicermati, sumber utama terorisme adalah hati yang beku dan jiwa yang keras. Itulah sebabnya Nabi memperingatkan tentang pentingnya peran hati dalam kehidupan manusia. Karena hati bisa membuat manusia menjadi baik dan Jahat. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi. “Di dalam diri manusia ada segumpal darah. Jika dia baik maka baiklah seluruh jasad, jika dia jahat/rusah, maka rusaklah seluruh tubuh. Ingatlah segumpal darah itu adalah hati” (HR Bukhari dan Musalim).
Dalam Al-Qur’an Allah menggambarkan orang yang berhati keras akan tega melakukan pembunuhan terhadap sesama, kemudian mereka saling menuduh satu sama lain. Mereka mengingkari atas perbuatan jahad yang telah mereka lakukan. Semakin mereka merasa benar dan mengingkari tindakan keji mereka, maka Allah akan semakin menambah keras hati mereka, firman Allah: “Kemudian setelah itu hati kalian menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi” (Al-Baqarah: 74).
Selain sulit menerima kebenaran, hati yang beku dan mati tidak akan bisa menikmati keindahan karena kehilangan rasa (dzauq). Jika sudah seperti ini maka rasa kemanusiaan juga akan hilang. Bagi para sufi orang yang kehilangan rasa kindahan maka jiwanya telah hilang, alias mengalami sakit jiwa.sebagaimana dinyatakan oleh imam Ghazali: “Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati”.
Bagi para teroris, keindahan seni budaya dan laku tasawuf yang bisa melembutkan hati dan meningkatkan kepekaan rasa justru dianggap sebagai kesesatan. Pandangan seperti ini muncul karena pemahaman agama yang puritan, tekstual dan formal-simbolik. Pemahaman keagamaan yang puritan tekstual ini pada ujungnya melahirkan sikap fanatik dan sektarian. Mereka menolak dan mengingkari keberagaman narasi agama dan hanya menerima narasi tunggal dari kelompoknya. Mereka Beragama tanpa rasa kemanusiaan. Sikap anti kemanusiaan ini makin mengeras, karena tidak ada sentuhan budaya. Hilangnya sentuhan budaya dan laku tasawuf inilah yang membuat hati mereka menjadi semakin kering dan beku sehingga akhirnya menjadikan mereka sebagai teroris.
Di beberapa tempat di Indonesia penanaman paham keagamaan yang puritan tekstualis secara terstruktur, sistematis dan masif: dari udara; menguasai medsos; dari darat; liqo’, materi pendidian sejak PAUD, manuver politik merebut kekuasaan. Selain itu, tindakan melawan kelembutan hati ini juga dilakukan dengan memberangus berbagai bentuk tradisi, seni budaya dan beberapa laku tasawuf yang secara sosiologis dan psikologis bisa menjadi instrumen untuk melembutkan hati dan mengasah kepekaan rasa. Kasus pelarangan upacara sedekah laut, pengkafiran slametan, penyesatan tradisi ziarah dan pembubaran berbagai upacara tradisional serta gerakan penyesatan kaun thareqat di beberapa tempat di Indonesia adalah contoh kasus terjadi gerakan puritanisme agama yang mengarah pada proses pengerasan hati.
Melihat kenyataan ini rasanya perlu melakukan strategi kebudayaan untuk melawan teorisme. Yang dimaksud dengan strategi kebudayaan adalah gerakan menghidupkan kembali rasa kemanusiaan yang mati melalaui kebudayaan untuk melembutkan hati dan meningkatkan kepekaan batin agar tumbuh kesadaran menjaga nilai kemanusiaan dan melindungi harkat dan martabat manusia dalam beragama.
Strategi kebudayaan menekankan agar manusia mempertahankan kebudayaan, termasuk dalam beragama, karena kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan mahluk lain. Jika manusia sudah tidak berbudaya maka akan turun derajad, karena menjadi sama dengan mahkluk lain yang derajadnya di bawah manusia. Sasaran dari strategi kebudayaan ini adalah hati manusia, karena menurut ajaran Islam hati adalah kunci dalam diri manusia. Dengan kata lain strategi kebudayaan adalah gerakan penyadaran dengan cara merajut hati melalui kebudayaan.
Penggunaan strategi kebudayaan perlu dilakukan karena teroris tidak bisa hanya didekati dengan semata-mata pendekatan hukum dan keamanan atau ekonomi, karena mereka akan menjadi semakin defens dengan pendekatan-pendekatan tersebut. Pendekatan hukum dan keamanan yang tidak tepat justru akan semakin mengeraskan hati mereka sehingga merasa bangga dan menjadi hero jika dipenjara atau terbunuh. Demikian juga dengan pendekatan ekonomi, kalau tidak ada penyadaran justru akan membuat mereka lekuasa bergeran dengan menggunakan bantuan ekonomi yang mereka terima
Kini bukan berarti pendekatan hukum, keamanan dan ekonomi tidak penting. Ketiga pendekatan ini tetap penting dan harus terus dilakukan secara proporsional. Namun demikian ketiga pendekatan ini rasanya kurang cukup, karena perlu ada pendekatan yang bisa menghidupkan rasa dan menyentuh hati yaitu pendekatan kebudayaan. Dengan demikian ketiga pendekatan tersebut harus ditambah dengan pendekatan kebudayan, terutamaseni dan tasawwuf. Keempat pendekatan ini harus dilakukan secara integratif dan sinergis. Karena terorisme terkait dengan persoalan kemanusiaan yang rumit, sehingga penanganannya harus dilakukan melalui berbagai pendekatan dan beragama secara disiplin. (*/watyutink)
*) Penulis adalah Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta
*) Sumber: https://www.watyutink.com/topik/berpikir-merdeka/Pendekatan-Kebudayaan-dalam-Menangani-Terorisme