Oleh Dr. H. Sa’dullah Afandy *)
Di depan sebuah kelas tampillah sosok pemuda yang bersahaja, memakai baju koko, berkopiah hitam dan berpenampilan tenang. Segera, ia mengambil kapur tulis dan mencorat-coret papan tulis, menggambar sebuah grafik struktur keorganisasian pemerintahan, struktur organisasi dalam tubuh NU dan hubungan NU dengan pemerintah. Ia menyebut materinya dengan “Politik Intra dan Ekstra Struktural”. Penjelasannya gamblang dan memukau para peserta pelatihan yang mayoritas anak muda, pelajar dan santri. Narasumber yang cerdas itu adalah Kang Afandi Mukhtar.
Itulah perjumpaan pertama saya dengan Kang Fandi (Dr. KH. Affandi Mochtar, MA). Waktu itu, Kang Fandi menjadi narasumber keorganisasian dalam Latihan Kader Dasar (LKD) yang diadakan PC GP-ANSOR Kabupaten Cirebon yang bertempat di MI al-Wathoniyah Desa Wargabinangun Kecamatan Gegesik, sekitar tahun 1988. Saat itu, kepemimpinan PC Ansor dibawah sahabat Qosim Hamim dan Sahabat Wahyu Wibisana sebagai ketua PW Ansor Jawa Barat. Bahkan Kang Wahyu, sang perokok berat itu, sempat mengisi materi “kepemudaan” pada kegiatan LKL, Latihan Kader Lanjutan, yang diadakan pada bulan berikutnya yang dilaksanakan di MI Nurul Anwar, Desa Bayalangu Gegesik. Saya masih ingat, saya waktu itu mewakili santri dan ketua Himpunan Santri kecamatan Gegesik (HIMSAG) Pesantren Babakan. Saya masih duduk di bangku kelas satu Aliyah Diniyah MHS. Beberapa tokoh lokal dan tidak kalah memukau dalam menyampaikan materinya juga hadir seperti KH. Ayip Usman Yahya, dengan materi silsilah keulamaan NU dan KH. Yahya Masduqi, menyampaikan materi Aswaja.
Bagi seorang santri yang sehari-hari berkutat dengan kitab kuning dan nadzoman, materi politik yang disampaikan Kang Fandi tergolong sangat berat. Namun, ditangan Kang Fandi materi tersebut terasa ringan dan menarik, bahkan kami dibuat penasaran mengetahui lebih dalam ilmu yang sangat baru tentang keorganisasian dan hiruk pikuk dunia politik yang ada diluar tembok pesantren ini. Dari perjumpaan guru-murid itulah saya kagum dan harus ‘jatuh hati’, pengen lebih dekat dan ingin terus mengikuti dan mengamati sosok putra Kyai yang bersahaja itu.
Selain kang Fandi, saat itu di Babakan juga terdapat sosok putra Kyai yang juga aktifis gerakan, yaitu kang Sadad (Anwar Musyaddad) putra KH. Masduqi Ali. Kedua Gus itu sangat menginspirasi bagi para kaum muda dan kalangan santri. Keduanya sering bersinergi dalam memotivasi kreatifitas dan mengasah nalar kritis para santri yang saat itu masih dianggap tabu.
Salah satu yang saya ingat dengan Kang Fandi dan Kang Sadad, pada tahun 80-an, keduanya menginisiasi terbitnya jurnal pesantren Babakan yang dinamai DINASTI, Dinamika Santri, serta membentuk unit-unit kreatifitas santri di pesantren Miftahul Muta’allimin (PPMM), asuhan KH. Masduqi Ali dengan membuka kursus-kursus ketrampilan, kewirausahaan, kajian ilmiah dan madrasah diniyah malam bagi santri yang sekolah umum, tersebutlah unit-unit extra organ pesantren seperti; UBU (Unit Bina Usaha), MQL (Madrasah Qismul Lail), UPMB ( Unit Pengembangan Minat dan Bakat), KSIK ( Kelompok Study Ilmu Kependudukan), dan sebagainya.
Awalnya, selepas tamat Aliyah Diniyah MHS Babakan tahun 1991, saya berkeinginan melanjutkan pesantren ke Jawa Timur, namun orangtua saya memginformasikan bahwa adik-adik saya harus segera menyusul ke Pesantren. Sebagai anak sulung, saya tentu harus mengalah dan akhirya saya memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta dengan tujuan bisa melanjutkan kuliah sambil berwirausaha dengan harapan dapat membiayai pendidikan saya dan juga adik-adik, dengan mengembangkan bakat keterampilan kaligrafi yang saya dapatkan dari Babakan. Namun karena status ijazah pesantren belum diakui, keinginan kuliah tertunda dan untuk memotivasi serta mengisi waktu luang saya melanjutkan semangat menjadi aktifis, kebetulan mendapat amanat dikepengurusan pusat IPNU hasil Kongres di Garut tahun 1996, juga bergabung dengan kelompok kajian 164 bareng Mas Ulil dkk, dan mengikuti forum-forum kajian dan pergerakan lainnya di era reformasi tahun 1998, baik di FKPI, Forum Ciganjur, Tim Solidaritas Kemanusiaan (TSK) korban pembakaran Gereja Situbondo, Kasus Sri Bintang, Mokhtar Pakpahan, dan sebagainya. Tentu dengan tidak meninggalkan tugas dan profesi utama, saya mengikuti berbagai pameran seni kaligrafi, dekorasi masjid, dan sebagainya.
Baru sekitar tahun 1999 setelah ada kebijakan dari Departemen Agama terkait pengakuan ijazah pesantren, saya akhirnya bisa mengenyam kuliah S-1 dan lulus tahun 2001. Berkat kesabaran dalam penantian, alhamdulillah kuliah bisa selesai kurang dari 3 tahun. Pada tahun 2000 saya menikah dengan seorang mahasiswi STAIN Cirebon asal Sumedang dan kemudian memutuskan tinggal di kota Bekasi. Pilihan tinggal di pinggiran timur Jakarta tersebut, sangat beralasan, karena banyak teman dan alumni Babakan dan sudah terbentuk organisasi alumni Babakan yaitu MAKOM ALBAB, salah satu kegiatannya adalah pengajian mingguan yang tempatnya berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah alumni lainnya.
Suatu ketika, tuan rumah yang mendapat giliran pengajian tersebut adalah putra Kyai Babakan yang sejak dari pondok saya sudah mengaguminya, yaitu Kang Fandi. Beliau ternyata pindahan dari Ciputat dan baru menempati rumah di Bekasi, yang letaknya tidak jauh dari kontrakan saya. Saat itu beliau sedang menyusun disertasi di UIN Ciputat dan sedang menjabat eselon tiga di Kementrian Agama. Karena sering bertemu dalam pengajian tersebut, kami akhirnya semakin akrab. Cita-cita dan keinginan saya saat pengkaderan agar bisa lebih dekat untuk menambah ilmu dan wawasan dengan beliau ternyata dikabulkan Allah SWT. Betul sekali, beliau tak segan dalam setiap selesai pengajian dan zikir bersama tersebut, sambil ngobrol santai, jamaah sering diberikan banyak pencerahan dari tuan rumah, sambil menikmati hidangan khas, kang Fandi selalu melontarkan gagasan dan ide cemerlang tentang banyak hal dari tema ringan, pengalaman dalam dan luar negeri hingga politik mutakhir. Tak lupa mengajak kami meningkatkan kegiatan organisasi alumni Babakan ini dengan memikirkan dan memperbanyak kontribusi bagi almamater dan mendekatkan para alumni dengan para masyayikh. Tidak Cuma memberi wejangan dan masukan, beliau juga seringkali memberikan souvenir dan transport bagi semua jamaah yang hadir dalam pengajian tersebut, serta memback-up sisi finansial untuk memotivasi kegiatan organisasi tersebut.
Berawal dari pertemuan dalam pengajian tersebut, komunikasi kami makin intens. Selain berdiskusi di rumahnya, Kang Fandi seringkali meminta saya datang ke kantor atau mengajak bertemu diluar, sekedar hanya untuk ngobrol ngalor-ngidul atau mendengarkan curhat dan leluconnya. Namun dari obrolan santai seringkali muncul ide dan gagasn cemerlang, salah satunya pada tahun 2005-an mengadakan TEMU ALUMNI BABAKAN yang bertempat di Islamic Centre Kota Bekasi, dengan mengundang seluruh pengasuh dan masyayikh dari Babakan. Dalam kegiatan tersebut ditunjuk Kang Asep Saefudin dari Ciputat selaku ketua dan saya sekretarisnya. Sukses dengan kegiatan tersebut, tahun berikutnya temu alumni akbar diadakan kembali yang lebih meriah, seluruh masyayikh dan alumni diundang hadir dan menginap di sebuat hotel mewah di kawasan Ancol. Kegiatan kali ini lebih professional, karena diisi sesi diskusi dan kangen-kangenan yang melibatkan EO sebagai pelaksananya.
Sekitar tahun 2005, ketika saya baru lulus S-2 Administrasi Pendidikan di STIAMI, beliau menawarkan beasiswa S-3 di Maroko. Namun karena pertimbangan keluarga, saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di dalam negeri saja. Akhirnya saya disarankan untuk ikut test beasiswa S-2 lagi sesuai dengan basic pesantren saya, yakni memperdalam ulumul Qur’an di PTIQ dengan pengantar kuliahnya menggunakan bahasa Arab dan Alhamdulillah selesai hanya dalam waktu 2 tahun, tepatnya akhir tahun 2017.
Disela-sela mengikuti perkuliahan tersebut, beliau mendirikan lembaga riset yaitu PSPP, Pusat Study Pengembangan Pesantren. Saya diminta untuk membantu mendampingi Kang Sahiron, Kang Adib, Kang Suwendi dkk untuk menerbitkan jurnal ilmiah “Pesantren Studies” yang sekretariatnya di Ciputat, tidak jauh dari kampus PTIQ yang berada di Lebak Bulus. Itulah jasa terbesar beliau kepada saya, memberi akses, memperkenalkan strategi manajerial, membangun jaringan dan mengelola dunia organisasi secara langsung, serta memberi jalan kemudahan untuk mendapatkan program beasiswa S-2 di PTIQ. Saya merasakan beliau betul-betul seorang mentor sejati.
“Mushaf al-Babakani”
Saat MTQ Nasional di Bengkulu, saya mendapat kesempatan menjadi dewan hakim kaligrafi, disaat yang sama banyak Alumni Babakan yang ikut menjadi peserta, bahkan juara dalam event nasional tersebut. Waktu itu Kang Fandi datang menemui saya di arena, dari pertemuan tersebut, beberapa bulan kemudian beliau meminta saya untuk membentuk tim yang terdiri para kaligrafer alumni Babakan untuk menulis “Mushaf al-Babakani” dan menelusuri sanad pengajian al-Qur’an yang ada di Pesantren Babakan.
Dalam konsepnya, Mushaf al-Qur’an ini dirancang dengan baik, dihiasi iluminasi dan ornament hiasan pinggir bergaya khas seni dan budaya Cirebonan. Untuk risetnya, saya dan tim berjibaku menelusuri, merekam dan mendokumentasikan beberapa angle, titik dan sudut berbagai artefak dan situs yang ada di wilayah Cirebon, seperti kompleks maqbaroh Sunan Gunung Jati, area masjid dan keraton Kesepuhan, Kanoman, Gua Sunyaragi, batik Trusmi, Desa batik Kebon Gedang, bahkan mengamati seni ukir kayu peninggalan masjid dan rumah tempo dulu yang ada di pesantren-pesantren dan situs lain wilayah Cirebon.
Tidak berhenti disitu, untuk suksesnya program penulisan mushaf Babakan tersebut pada Desember 2010, sebagaimana tradisi pesantren, saya diminta Kang Fandi untuk tabarukan dan doa dari para awliya, dengan mengajak para Kiyai, Nyai dan asatidz serta alumni Babakan untuk berziarah ke Walisongo dan Madura dan silaturrahim ke pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta untuk mencocokkan silsilah sanad al-Qur’an dan ber-anjangsono untuk meminta masukan para alumni dan akademisi yang ada di UIN Malang dan UIN Sunan Ampel Surabaya.
Namun langkah itu dianggap belum cukup, maka pada tahun 2011, Kang Fandi meminta saya untuk study banding terkait kajian penulisan mushaf tersebut ke Malaysia melalui program muhibah ke negeri jiran ini kami diarahkan untuk berkoordinasi dan meminta para Kyai, akademisi yang konsen dalam kajian Qur’an agar bisa bergabung dalam program lintas Negara ini. Ikut hadir beberapa tokoh yang representative dari Cirebon, seperti; KH. Tamam Kamali, KH. Dr. Ahsin Sacho Muhammad, KH. Nurhadi Thoyib, Dr. Sumanta, KH. Lukman Hakim, KH. Jiji Fauzi Amrin, H. Soleh Muhtadi, Lc. Untuk kemudahan kegiatan tersebut, kami dipandu teman alumni Assalafie Babakan yang sedang kuliah di Kuala Lumpur, yaitu Kang Amin Maulana.
Selain program mushaf, Kang Fandi juga mengajak dan membuka peluang sebesar-besarnya bagi keluarga dan asatidz Babakan untuk kuliah S-1 di STID ALBIRUNI dan realisasi program sertifikasi guru untuk para asatidz di madrasah MHS. Selain untuk keluarga, Kang Fandi juga mendorong dan men-support para santri dan alumni untuk melanjutkan ke jenjang S-2 dan S-3 baik di dalam dan luar negeri, bukan hanya itu, beliau juga tak segan-segan menjadi tim sukses untuk promosi jabatan, baik jabatan eselon maupun jabatan akademik, bahkan untuk menjadi guru besar, anggota dewan, kepala pemerintahan, pimpinan ormas hingga menjadi pengusaha sukses.
Dari bekal pengalaman berkhidmat tersebut, saya mendapat banyak ilmu dan keberkahan, bahkan banyak kemudahan. Kang Fandi sendiri tidak menduga kalau pada akhirnya saya bisa berjalan sendiri “diluar kendalinya” hingga diterima menjadi PNS pada tahun 2005 dan dapat melanjutkan pendidikan S-3 di UIN Ciputat, termasuk ketika saya diperbantukan di Kemendes dan Kemnaker dan mendapat berkesempatan mendapat penugasan di KBRI Riyadh Saudi Arabia pada akhir tahun 2017, beliau tidak tahu sama sekali, tanpa sentuhan langsung, karena kebetulan sejak itu, beliau sudah pensiun dari jabatannya di Jakarta dan fokus mengelola pendidikan di Babakan. Itu semua betul-betul diluar dugaan dan impian saya, keberkahan dan doa dari para guru, orang tua dan para sahabat dan keluarga tentunya, khususnya ilmu yang banyak diajarkan dari Kang Fandi. Karena saya bukan siapa-siapa, hanya dengan latar-belakang seorang santri tradisional, anak dari seorang petani desa dan imam masjid di sebuah kampung ujung perbatasan Cirebon dengan Indramayu, desa santri Jagapura.
Karena itu, berita kepergiannya membuat saya “kapitenggengen” (kebingungan, bahasa Cirebon), saya seperti tak percaya, secepat itu beliau meninggalkan kita semua, terlebih posisi saya lagi di negeri seberang, walaupun kami sempat bersua ketika cuti Syawal ini, beliau sumringah saat itu, karena pesanan parfum kesukaanya sampai ke tangannya.
Alhasil, saya bersaksi Kang Fandi adalah orang baik dan saleh, beliau tak segan-segan mengorbankan waktu, tenaga bahkan materi untuk kemajuan dan kebehasilan orang lain. Beliau menganggap kepada siapapun adalah sama dan setara, tak sungkan-sungkan untuk diajak bicara, berembug, mendengarkan lelucon, dan lesehan makan bareng. Beliau mentor sejati dan tokoh dibalik layar yang sederhana dan bersahaja untuk kemaslahatan orang banyak. Maafkan kami, Kang Fandi, kami belum bisa membalas segala jasa dan kebaikanmu, kami hanya bisa berdoa. Semoga, di akhirat mendapatkan tempat surga, jannatun naim. Aamiin….., lahul fatihah… (*).
*) Penulis adalah alumni Pesantren Babakan, Cirebon; alumni PP IPNU; alumni PC GP Ansor Cirebon; dan kini bertugas sebagai Atase Tenaga Kerja di KBRI Riyadh dan Katib Syuriah PBNU
*) Obituari ini ditulis di Riyadh, 15 juli 2021