Oleh Dr. Rubaidi MAg *)
Artikel ini kelanjutan dari ngaji minggu lalu yang secara khusus mengupas hakekat makna “Bismillahirrahmanirrahim..”. Artikel bagian pertama pun hanya membahas satu huruf pertama, yakni huruf ba’ dalam rangkaian Bismillah. Pada bagian ini dilanjutkan dengan mengupas huruf berikutnya, ismi, asma’, nama-nama, dari rangkaian Bismillah di atas.
Ngaji Sabtu malam Ahad ini sangat menguras pikiran. Topik bahasan awalnya terkesan sepele, alias sederhana sekali. Betapa tidak. Seorang jamaah bertanya makna “DENGAN MENYEBUT NAMA (…) ALLAH”. Kalimat dimaksud identik dalam Bahasa Arab dengan Bismillah atau Bismillahirrahmanirrahim. Bukankah sejak kita belajar agama sedari kecil, kalimat itu sudah diucapkan. Tidak heran apabila kalimat Bismallah yang paling diingat oleh umat Islam, selain kata Allah.
“Sampean isok ngaji siji iki wes luar biasa,” begitu ungkap sang guru mulai menjelaskan makna hakekat tentang Bismillah. “Coba dibaca….,” pintanya. “Dengan menyebut nama….,” ungkap seorang jamaah yang bertanya. Sebelum sampai mengatakan Allah sebagai terusan dari nama atau biismi; “Stop…..ojok diteruskan. Dengan menyebut nama…..? Jangan diteruskan Allah dulu,” tandasnya berulang-ulang dengan mengatakan “dengan menyebut nama….”.
“Iki opo….,” tanya sang guru. “Pisang…,” jawab seseorang. “Iki opo…?,” “Apel, Aqua, Kopi, Teh,…” jawab santri menyebut satu per satu yang ditunjukkan. Dengan menyebut nama-nama-nama itu sesungguhnya tidak lain adalah eksistensi Allah. Sampai di sini banyak yang masih bingung. “Apa hubungannya dengan Bismillah Gus….,” selidik seorang santri lainnya.
“Kalau sampean teruskan, Bismillah itu akan sampai kepada pemahaman terkait hadist Qudsi: Man ‘Arafa al-Haqqa Faqod Sahidahu fi Kulli Saiin,” tegasnya. Arti hadist Qudsi dimaksud kurang lebih begini: “Barang siapa yang Melihat-NYA, maka dia benar-benar dapat melihat-NYA pada setiap sesuatu”. Dengan demikian, secara hakiki setiap kita menyebut nama apapun tidak lain adalah Allah.
“Saya jadi teringat, dulu Gus Syamsu pernah bilang, kamu bisa ngaji Bismillah saja itu sudah bagus,” ungkap salah seorang jamaah mengingat kembali saat dirinya mengaji kepada gurunya. “Selain itu, dulu Gus Kahar sering dawuh, bahwa Asma’ (nama) Allah itu bukan (hanya) sekedar sembilan puluh sembilan. Tetapi, Asma’ Allah sejatinya meliputi alam semesta,” tambah seorang jamaah yang pernah ngaji kepada sang guru.
Sampai di sini para jamaah sebagian mulai memahami hakekat makna Bismillah. Ada sebagian manggut-manggut dengan menggerakkan kepalanya tanda dia mulai mengerti. Sebagian yang lain terlihat menggaruk-garukkan kepala pertanda mumet alias tidak faham. “Iki ngaji hakekat, bukan syariat lagi. Sesungguhnya setiap kita menyebut nama apapun, hakekatnya tidak lain adalah (sebutan nama) Allah. Ini tauhid loh ya,” tegasnya.
“Kalau sampean mengerti, Allah sendiri itu hanyalah sebutan atau nama,” tambahnya. Saat sang guru mengatakan statement tersebut, sebagian jamaah sempat terperanjat. Gara-gara statement itu, para jamaah yang sudah larut malam semakin ingin tahu penjelasan dimaksud. Kalau dipikir mendalam benar juga bahwa Allah itu masih sebatas nama. ” Ya Hu, ya Haq, ya Khayyu, Ya Qoyyum dan seterusnya itu apa? Sebutan atau nama apa tidak?,” tanyanya lebih lanjut.
“Nama sampean siapa…?” Tanya sang guru. “Ahmad, Ghoni, Ana, itu kan hanya nama. Sedang sejatinya Ahmad, Ghoni atau siapapun kan bukan sekedar nama saja,” tegasnya. Artinya, dibalik sebutan terdapat unsur, entitas, dan bagian lain yang menjadi satu kesatuan yang akhirnya disebut Ahmad, Ghoni, Ana dan seterusnya.
Sembari tetap menjelaskan hakekat Allah, dianalogikan dengan menyebut suatu barang. Analoginya jatuh pada air. Sambil menunjuk air kemasan Aqua. Nama, sebutan, atau label Aqua adalah satu nama atau sebutan dari air. Dari air lahir beragam nama; Aqua, Kopi, Teh, Wedang Jahe, Juice, dan seterusnya dan seterusnya. Seluruh nama atau sebutan tersebut merujuk kepada sumber utama, yakni air.
Begitu juga akhirnya sampai kepada hakekat Allah. Nama Allah sesungguhnya masih sebatas nama atau penyebutan saja. Bukankah nama Allah itu sebutan untuk umat Islam. Bagi umat agama lain memiliki sebutan atau nama berbeda yang tidak sama seperti nama Allah bagi umat Islam. “Bagi para kekasih Allah yang sudah mengenal-Nya ya tidak lagi menyebut Allah. Mosok sampean kenal aku nyebut nama ku?,” terangnya. “Iya ya….logis sekali penjelasan beliau,” guman saya dalam hati kecil ini.
Sampai di sini, ngaji Bismillah atau DENGAN MENYEBUT NAMA dipungkasi. Sekali lagi, jamaah yang hadir untuk terakhir kali terlihat sumringah dengan terlihat jelas dari raut muka mereka. Tidak tahu pasti, apakah sumringahnya raut muka jamaah sebagai tanda faham atau karena mau pulang. Penulis sendiri mulai sempoyongan karena mikir berat selama kurang lebih 2 (dua) jam menyimak pengajian yang mirip open house ini. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
*) Penulis adalah penulis buku dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan (FTK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang konsens di bidang pemikiran Islam dan urban sufisme