Oleh Dr. Rubaidi MAg *)
Untuk artikel kali ini saya akan menyajikan hasil rihlah atau muhibah kami selama hampir satu bulan berkeliling ke beberapa kota di negara Turki. Ada banyak catatan menarik yang perlu untuk para pembaca. Dengan harapan tentu menambah wawasan dan sekaligus menguatkan spiritualitas urban muslim kita sebagai warga muslim di Indonesia. Tulisan ini akan kami sajikan dalam 3 (tiga) bagian. Bagian pertama ini akan kami sajikan seperti judul di atas. Untuk bagian kedua-ketiga agar ditunggu minggu berikutnya yah…..
Begitu menginjakkan kaki setelah turun dari pesawat menuju bekas Ibu Kota Turki, yakni Istambul, satu pemandangan yang membikin decak kagum adalah deretan masjid yang begitu megah di setiap sudut jalan. Hampir setiap beberapa kilo meter terlihat pemandangan yang khas, yakni bangunan kubah besar dikelilingi beberapa kubah kecil lain, plus dua menara kembar yang menjulang tinggi. Itulah ciri khas masjid Turki yang konon gaya arsitekturnya tetap terjaga mulai dari era keemasan Turki Ustmani sebagai warisan budaya.
Rasa kekaguman ini kiranya tidak berlebihan. Istambul yang dahulu bernama Kontantinopel, selain kota tua juga kota yang secara geografis sangat strategis. Kota ini dibelah dua, yakni Istambul Asia dan Istambul Eropa. Laut atau selat Bosphorus yang memisahkan kedua kota ini. Istambul atau Konstantinopel ini adalah kota tua dari banyak peradaban dan simbol agama-agama. Kerajaan Bizantuan dan Romawi pernah berkuasa. Komunitas Yahudi juga pernah berkuasa. Perancis permah menguasai kota ini. Karena teritori yang strategis ini, kota Istambul dalam sejarah panjang selalu menjadi rebutan kekuasaan di antara bangsa-bangsa Eropa.
Turki Ustmani-lah yang pada akhirnya menjadi pemegang kekuasaan terlama. Karena dalam sejarah peradaban Islam, Kerajaan Turki Ustmani pernah berkuasa tidak kurang dari 700 tahun atau sekitar 7 Abad. Yunani yang pernah memiliki peradaban kuno sekalipun pernah di bawah kekuasaan Turki Ustami lebih dari 400 tahun. Namun, pada akhirnya kekuasaan Turki Ustami benar-benar runtuh dan menjadi negara modern yang ‘sekuler’ sejak 1924 di bawah Presiden Mustafa Kemal Attatuk.
Saya menyelidiki, setiap masjid besar itu selalu tertulis CAMI’I. Saat saya tanyakan kepada seorang pemandu (mahasiswa Indonesia yang belajar di Turki), arti CAMI’I adalah Masjid Jami’ yang artinya sama seperti di Indonesia, yakni Masjid besar. Kebetulan, mahasiswa yang menjadi pemandu bernama Jave (nama panggilan) yang alumni Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Ampel Surabaya yang juga mahasiswa saya sendiri. Karenanya, saya dapat bertanya apa saja dengan enjoy.
Pertama-tama, rombongan kami dari UIN Sunan Ampel, Surabaya ‘sowan’ ke Cami’i Eyyup al-Ansori, salah seorang Sahabat Nabi Muhammad yang terkenal. Pemandangan di sini tidak ubahnya seperti kawasan Sunan Ampel Surabaya. Banyak peziarah yang ‘nyekar’ alias kirim doa sebagaimana layaknya tradisi Ahlussunnah wa al-Jama’ah di Indonesia. Kami pun tidak lupa bersimpuh di depan makam untuk tahlil secara pribadi-pribadi. “Yang menarik, para peziarah di makam ini bukan hanya dari kalangan muslim, orang dari berbagai latar belakang agama juga ziarah di sini. Orang-orang percaya sosok Eyyup al-Ansori membawa berkah,” kata Jave.
Suara adzan pun mulai menggema sebagai tanda Shalat Dhuhur tiba. Dalam hati kecil mulai bertanya-tanya, di antara lalu lalang masyarakat yang begitu banyak, hanya sedikit yang mengikuti shalat berjamaah. Pikiran saya pun selalu berfikir positif, mungkin karena warga sibuk bekerja. Pada kesempatan lainnya, kami berkesempatan berkunjung ke salah satu Cami’i Al-Fatih, masjid yang begitu megah dan tua peninggalan Sultan al-Fatih. Konon, masjid ini berdiri sekitar abad ke-13. Masjid yang terletak di pinggir laut selat Bosphorus begitu indah dan megah. Di belakang masjid terdapat ratusan makam para syuhada dan waliyullah, selain makam al-Fatih sendiri dalam suatu cungkup yang indah. Di sini pun, saat Shalat Dhuhur tiba hanya sedikit jamaah yang mengikuti shalat berjamah.
Pemandangan serupa ternyata juga terjadi di sebagian besar masjid yang lain. Masyarakat Turki yang memang seperti warga Eropa pada umumnya ternyata sebagian besar telah lama mengalami apa yang disebut sebagai dampak dari ‘demam sekularisasi’ kebijakan Mustafa Kemal at-Tatuk. Gus Munji, ketua PCI NU Turki menjelaskan, sesungguhnya, tujuan dari kebijakan ‘sekularisme’ at-Tatuk hanya berupaya memisahkan antara agama (Islam) dengan negara. Artinya, Islam tidak boleh dicampur dengan urusan politik praktis kekuasaan. Islam biarlah menjadi urusan privat.
Sebagai bagian lain dari kontrol terhadap kehidupan agama, negara memberlakukan beberapa kebijakan. Pertama, seluruh masjid di Turki didirikan dan dibiayai oleh negara. Dengan demikian, tidak ada masjid yang sifatnya ‘swasta’ atau prakarsa swadaya masyarakat. Kedua, seluruh imam dan khotib yang khutbah di setiap masjid ditunjuk dan dipilih serta mendapat sertifikat dari negara. Kebijakan ini semata-mata untuk mengontrol keamanan negara.
Namun dampaknya cukup luas, terutama kristalisasi Islam dalam kehidupan individu warga Turki. Menurut Dian, salah seorang mahasiswa Indonesia di Turki mengatakan, dua tiga generasi warga Turki hampir mengalami “loss” dalam pemahaman keislaman. “Banyak warga Turki yang tidak faham Islam. Mereka tidak mengerti bahasa Arab. Jarang warga Turki yang shalat lima waktu,” tandasnya. Dalam istilah kita di Indonesia, banyak warga Turki yang abangan. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa masjid yang begitu megah di setiap sudut kota sepi dari jamaah.
Pemandangan ini memang tidak bisa menjadi kesimpulan. Istambul memang kota tua. Sebagai bekas ibu kota yang sekarang berpindah ke Ankara, Istambul tentunya paling berdampak setelah kebijakan ‘Sekularisasi’ Kemal Attatuk. Sebagai bagian dari paket kebijakan Attatuk, Bahasa Arab ditinggalkan sebagaimana Bahasa Inggris. Satu-satunya bahasa nasional adalah Bahasa Turki sebagai simbol dari nasionalisme Turki.
Warga Turki di sisi lain memang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Islam tetap menjadi ciri khas mereka. Sekalipun mereka secara ibadah mahdlah kurang begitu peduli, tetapi Islam sebagai identitas politik dan budaya tetap dominan sekali. Hal ini terlihat dengan cara berbusana warga turki, terutama kaum perempuan, sebagian besarnya memakai jilbab. Fenomena ini kiranya menjadi modal sekaligus simbol “perlawanan” terhadap kultur budaya Eropa.
Di tengah gelombang ‘sekularisasi,’ kebangkitan Islam mulai nampak di kalangan masyarakat kelas menengah mereka. Kebangkitan ini dapat dilihat dari dua kutub. Kutub pertama melalui gerakan sufisme atau tarekat. Kutub kedua adalah Islam ala (istilah Indonesia) salafi. Di tengah gegap gempita gelombang sekularisasi, kelompok tarekat yang diikuti kelas menengah kota mulai menampakkan diri di pusat-pusat keramaian masyarakat kota Istambul. Tarekat Qodiriyah adalah salah satu tarelat yang banyak diminati kelas menengah kota.
“Itu kelompok apa mas?” Tanya saya kepada Jave seraya menunjuk komunitas laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian serba hitam. Laki-laki memakai celana panjang dan baju hitam serta para perempuan memakai busana yang sama hingga menutupi sebagian besar tubuh hingga wajah mirip perempuan Timur Tengah. Bedanya, perempuan Turki ini sebagian wajahnya masih keliahatan. “Mereka jamaah masjid al-Fatih yang mengikuti tarekat pak,” Jawab Jave singkat. (*)
*) Penulis adalah penulis buku dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan (FTK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang konsens di bidang pemikiran Islam dan urban sufisme