Oleh Andre Vincent Wenas *)
Terhadap pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo barusan ada dua tanggapan dengan nada (tone) yang berbeda. Ada pandangan ala Giring Ganesha (Plt.Ketum PSI) yang bernada positif (optimistik), dan satunya dari Ahmad Syaikhu (Presiden PKS) yang bernada negatif (pesimistik).
Begitulah diskursus (wacana) dalam negara demokrasi. Narasi yang dibangun bisa saja saling berseberangan, tapi seyogianya bisa saling melengkapi juga. Semestinya.
Hanya saja dibutuhkan suatu proses pencernaan informasi yang kritis dengan kepala dingin. Tak perlu marah-marah, apa lagi dengan bumbu kenyinyiran yang malah menyesatkan.
Begini pernyataan dari kedua kutub itu. Bagi Giring Ganesha (PSI), pemenang adalah mereka yang adaptif. Intinya ia sepakat dengan Presiden Jokowi bahwa keberanian untuk berubah merupakan syarat untuk menuju Indonesia yang maju.
Melihat tantangan menjadi peluang untuk transformasi. Seperti kata Presiden Jokowi yang intinya meminta kita semua agar bisa memanfaatkan pandemi ini untuk berani berubah. Suatu ‘turning point’.
Turning point dari apa? Dari paradigma lama ke paradigma baru. Mengapa?
Karena, “Pandemi Covid-19 telah mengubah wajah dunia secara drastis, menjadi sangat berbeda. Kita tak bisa menjalani dunia dengan sikap mental dan kebiasaan masa lalu, yang kaku, yang tidak adaptif. Pemenang masa depan adalah mereka yang adaptif”. Begitu tegas Giring Ganesha.
Lalu apa yang membedakan dengan cara pandang Ahmad Syaikhu (PKS)? Ahmad Syaikhu justru malah menyayangkan Presiden Jokowi yang selaku Kepala Negara dinilainya kurang berempati atas tingginya angka kematian Covid-19 di Indonesia.
Ahmad Syaikhu bilang, “Kami menyayangkan tidak ada sama sekali rasa empati melalui permintaan maaf dari Pak Jokowi sebagai Presiden RI terkait belum optimalnya penanganan pandemi Covid-19, sehingga menyebabkan tingginya angka kematian yang menimpa rakyat Indonesia”.
Dua kutub cara pandang yang detrimental (berlawanan). Ini memang mencerminkan posisi kedua parpol itu, yang satu ada dalam koalisi administrasi pemerintah (posisi proponen), sedangkan yang lainnya berseberangan, oposisi (posisi oponen).
Dalam negara demokrasi, perbedaan pandangan antara keduanya tentu boleh-boleh saja. Tak masalah. Tinggalah sekarang publik menilai argumentasi dari keduanya, mana yang bisa diterima akal sehat dan mana yang cuma asal beda saja.
Giring Ganesha (PSI) berargumentasi bahwa Realitas pandemi global Covid-19 ini faktanya memang telah mengubah wajah dunia secara drastis, menjadi sangat berbeda.
Dimana kita semua tak bisa lagi menjalani kehidupan di dunia ini dengan sikap mental dan kebiasaan masa lalu, yang kaku, yang tidak adaptif. Justru momentum ini mesti dijadikan semacam “peluang” untuk mengubah sikap mental kita untuk bisa keluar sebagai pemenang masa depan dengan sikap yang adaptif.
Tapi bagaimana caranya?
Saran Giring Ganesha, “…karena itu, kreativitas dan inovasi harus diberi tempat, jangan dihambat. Kalau perlu disediakan insentif agar semua pihak berlomba-lomba. Terutama pemuda, sebagai aset utama dalam bonus demografi, harus diberi ruang untuk tampil, produktif dan memicu berbagai perubahan”.
Apa yang mesti diubah?
Pertama-tama, birokrasi yang lamban!
“Stigma birokrasi yang lamban dan sulit berubah harus dihapus dengan kerja keras dan cerdas. Kalau birokasi masih seperti dulu, Indonesia akan sulit dengan cepat mencapai kemajuan,” begitu tegas Giring Ganesha yang juga telah mendeklarasikan dirinya sebagai bakal Calon Presiden RI 2024 itu.
Stigma ini harus diubah. Karenanya semua pihak harus sudah bersiap untuk melakukan perubahan. Ya, harus semua pihak supaya geraknya bisa sinergis. Terutama, lingkungan birokrasi.
Tentu saja, lantaran birokrasi adalah mesin pemerintahan. Representasi dari tubuh kepemimpinan negeri ini. Jika Presiden dan Kabinetnya ibarat kepalanya, maka birokrasi merupakan tubuh, kaki-tangan yang mengeksekusi segala kebijakan yang telah diambil dan ditetapkan.
Sementara itu, di sisi yang berseberangan, argumentasi Ahmad Syaikhu (PKS) dalam mengritisi Pidato Presiden Jokowi adalah berkisar soal cara penanganan pandemi ini oleh Presiden Joko Widodo.
Menurut Ahmad Syaikhu, cara penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia masih sporadis atau tidak merata. Kenapa bisa begitu?
Menurutnya, hal itu terjadi akibat pemerintah masih belum memiliki road map yang jelas dalam penanganan pandemi.
Sehingga akibatnya, “… kebijakan yang dilakukan sporadis tidak berdasarkan basis ilmu pengetahuan, data, pengalaman dan kemampuan SDM dan birokrasi.” Begitu kritik dari Ahmad Syaikhu.
Lalu soal kebijakan bidang pendidikan semasa pandemi ini, Ahmad Syaikhu menyayangkan tidak disinggungnya soal perlunya menjaga kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM).
Kritiknya, “Di bidang pendidikan, tidak ada rencana yang jelas dalam menjaga kualitas pendidikan dan SDM selama Covid-19, khususnya untuk pendidikan SD-SMA, sangat disayangkan.”
Aspek kebijakan ekonomi kerakyatan, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), juga dikritisi Ahmad Syaikhu. Ia menilai belum ada integrasi kuat antara industri dan UMKM sehingga membuat ekonomi Indonesia masih rapuh.
Dalam pandangannya, “Belum ada integrasi yang kuat antara industri dan UMKM, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, membuat ekonomi Indonesia rapuh. Padahal terdapat 64 juta pengusaha UMKM.”
Jadi, kritik Ahmad Syaikhu berkisar soal empati terhadap korban pandemi, kualitas SDM, birokrasi, kebijakan pendidikan dan ekonomi kerakyatan.
Apakah dalam pidato Presiden Joko Widodo itu tidak tercermin empati kepada para korban pandemi? Apakah Jokowi juga tidak melawat soal efektivitas dan efisiensi birokrasi sampai ke soal pendidikan dan ekonomi kerakyatan?
Nampaknya tidaklah demikian.
Presiden Joko Widodo jelas menyampaikannya dalam pidato beliau (maupun dalam Nota Keuangan) bahwasanya semua isu itu sedang ditangani.
Dan bukan hanya itu saja, bahkan anggaran untuk masing-masing sektor itu pun sudah dialokasikan. Itulah bukti integrasi antara ide dan program pelaksaanannya. Antara gagasan dan anggaran.
Tinggal sekarang, sekali lagi, supaya birokrasi pemerintahan (pusat maupun daerah) bisa mengeksekusinya dengan tuntas. Silahkan dilihat kembali penyampaian Nota Keuangannya (hubungan antara gagasan perbaikan dan anggaran pelaksanaannya). Jangan lagi ada kebocoran (korupsi), jangan lagi ada hoaks yang menyesatkan publik.
Misalnya, hoaks soal utang negara. Sudah tembus angka 6.500 triliun rupiah katanya, juga bumbu kalkulasi bahwa setiap orang Indonesia artinya menanggung utang sekitar Rp 24 juta. Hadeuuuh… Siapapun yang pernah belajar sedikit soal hitung dagang atau akuntansi dasar di tingkat sekolah menengah tentu faham, bahwa posisi Utang itu ada dalam Neraca Keuangan. Selain utang ada Ekuitas (modal) di sisi kanan, dan di sisi kirinya ada Aset (harta/kekayaan).
Penjumlahan antara Utang (kewajiban) plus Ekuitas (modal) mesti seimbang (sama) dengan Asetnya. Itulah sebabnya dinamakan dengan neraca (balance-sheet), mesti seimbang. Maka pembahasan soal Utang juga tidak lepas dari pandangan kita soal Ekuitas dan Aset. Kalau cuma menyoroti aspek Utang, pandangan kita menjadi rabun (myopic), berat sebelah. Sebetulnya tidak sulit untuk melihat posisi neraca keuangan negara kita. Semuanya terbuka, open-bin-transparan. Bisa diakses mudah di laman kementerian keuangan (kemenkeu.go.id). Mbah Gugel juga bisa membantu kok.
Ya, memang masih banyak ruang untuk perbaikan (room for improvement). Namun jangan lelah dan lengah untuk terus memperbaiki diri. Seperti ditekankan oleh Giring Ganesha dalam pernyataannya menyikapi pidato Presiden Jokowi itu.
“Meski banyak ruang untuk perbaikan dan pantang berpuas diri, PSI mengapresiasi berbagai kemajuan yang dicapai pemerintah dan lembaga negara lainnya. Kami merasa Indonesia sudah pada arah yang benar”.
Kita semua menyadari, tak satu pun negara di dunia ini yang siap dengan terpaan pandemi Covid-19 ini. Namun demikian, tak satu pun negara di dunia ini yang boleh membiarkan pandemi ini menghalangi kita semua untuk menyiapkan dirinya memasuki era normal baru (the new normal).
Menyiapkan diri untuk memasuki era normal baru itu artinya adalah Sadar bahwa kita sekarang hidup di tengah dunia yang penuh disrupsi. Maka perlu membangun karakter yang berani untuk berubah sekaligus berani untuk mengubah. Berani untuk menciptakan (kreasi) hal-hal baru. Itulah fondasi dari bangunan yang kita cita-citakan bersama: Indonesia Maju!.
Pesan Presiden Joko Widodo cukup jelas, “Kita telah berusaha bermigrasi ke cara-cara baru di era Revolusi Industri 4.0 ini, agar bisa bekerja lebih efektif, lebih efisien, dan lebih produktif”. Pandemi Covid-19 sekarang ini mesti menambah akselerasi inovasi yang semakin menyatu dalam keseharian kehidupan kita.
Kita garis bawahi bersama: Bekerja lebih efektif, lebih efisien dan produktif. Justru akibat pandemi ini kita percepat (akselerasi) inovasi.
Semua pilar kehidupan kita sedang diuji, semua pilar kekuatan kita sedang diasah. Ketabahan, kesabaran, ketahanan, kebersamaan, kepandaian, dan kecepatan kita, semuanya diuji dan sekaligus diasah.
Cara pandang positif adalah dengan melihat bahwa pandemi ini ibarat kawah candradimuka yang menguji, yang mengajarkan, dan sekaligus mengasah kita sebagai bangsa.
Bangsa yang tangguh, serta mampu untuk terus bertumbuh, di tengah segala tantangan yang ada. Dari Soempah Pemoeda ke Proklamasi Kemerdekaan menuju Indonesia Maju! Merdeka! (*).
*) Penulis adalah politikus dan pemerhati ekonomi-politik