Rab Al-‘Alamin (Tuhan Semesta Alam)

Ilustrasi - manusia dan alam (*/gusmuschannel)
Bagikan yuk..!

Oleh DR A Rubaidi MAg *)

Essay berikut ini masih mengkaji bagian dari kelanjutan Surat al-Fatihah dalam ruang lingkup sufi atau tasawuf. Pada essay sebelumnya, pengajian Majelis Shalawat Muhammad telah membahas hakekat makna Alhamdulillah.

Setelah ngaji hakekat makna tersebut, segmen ngaji kali ini akan mengurai dan menjelaskan hakekat makna dari rangkaian ayat pertama dari al-Fatihah, yakni Rab al-‘Alamin.

Kalimat itu bagian dari rangkaian ayat pertama dalam Surat al-Fatikah berupa “Alhamdulillah Rab al-‘Alamin.”

Seperti ngaji hakekat makna Alhamdulillah pada essay sebelumnya yang membutuhkan energi pikiran yang exstra, hal sama ternyata juga pada topik ini.

Iklan

Mengingat dalam dan luasnya makna Rab al-‘Alamin, khusus essay ini masih akan disajikan lagi dalam 2 (dua) artikel, yakni essay yang sekarang ini dan essay kedua pada bagian selanjutnya yang berdiri sendiri.

Dua artikel ini tetap dalam koridor tafsir sufisme atau tasawuf. Pada essay ini akan disajikan makna Rab al-‘Alamin dari perspektif hakekat secara umum.

Iklan

Adapun untuk essay kedua, kajian makna yang sama akan disajikan menggunakan perspektif Ibnu ‘Arabian. Mengapa menggunakan perspektif Ibnu ‘Arabian, walaupun sang mursyid tidak secara langsung merujuk atau menyebut nama seorang sufi besar abad pertengahan, yakni Ibnu al-‘Arabi, namun pemikirannya secara subtansi sama dengan Syaikh al-Akbar, gelar yang disematkan para murid maupun penerus ajaran terhadap Ibnu al-‘Arabi.

Eiiittsss…. untuk essay kedua harap ditunggu sambil sama-sama menikmati dan berselancar ngaji bagian pertama dulu.

Oh iya…. seperti essay-essay sebelumnya, seluruh sumber dari tulisan ini tetap didasarkan dari rekaman proses pengajian Majelis Shalawat Muhammad.

Terlihat satu per satu jamaah mulai mengambil posisi yang dirasa nyaman. Ada yang bersandar ke tembok. Sebagian lainnya memilih duduk bersila. Ada yang menselonjorkan kedua kakinya. Di sudut yang lain terlihat memilih dalam posisi bersila sambil ngudut ditemani sisa-sisa kopi si gelas.

Di antara jamaah yang hadir, terdapat seorang perempuan setengah baya yang selalu berdua bersama suaminya. Untuk perempuan yang satu ini, hobinya selalu nyemil hidangan makanan atau jajan pasar di depannya. Tak segan-segan, ia menggeser jajan di pinggirnya untuk dinikmati sambil mendengarkan pengajian sang mursyid.

“Neruskan ngaji Surat al-Fatikah minggu lalu nggih,” tanya sang guru dalam pengajian yang identik dengan open house.

“Nggih, Gus….!,” jawab jamaah kompak.

“Ngaji hakekat makna Rab al-‘Alamin ini jangan dibenturkan dengan ayat Inna al-Dinna Indzallahi al-Islam loh yo,” pinta sang guru mengawali sessi pengajian sufi dalam mengupas makna dimaksud.

Masih menurut sang mursyid, dimensi ayat dimaksud dalam koridor syariat, hukum agama, atau aturan. Sementara, syariat dalam pandangan kaum sufi itu luas.

“Syariat itu luas. Syariat itu bersyariat-syariat. Hakekat yang bersyariat,” tandasnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, sembari mencontohkan terhadap praktek syariat yang ditegakkan oleh Gus Dur, Gus Mik, Mbah Hamid, berbeda dengan syariat kebanyakan kyai lain.

Artinya, cara memandang, pemikiran, maupun praktek perilaku ketiganya dalam menerapkan Islam berbeda dengan kebanyakan yang lain.

“Kenapa para beliau-beliau tidak pernah menyalahkan orang lain? Kenapa bisa diterima oleh siapapun tanpa terkecuali, bahkan membelanya?. Jawabannya, karena beliau menerapkan syariat yang sesungguhnya,” tandasnya.

Sampai di sini menjadi pintu masuk atau entry point untuk mengantarkan agar memahami hakekat makna Rab al-‘Alamin.

“Kenapa di ayat itu tidak berbunyi Rab al-Islamin atau Rab al-Muslimin,” tanya sang mursyid kepada para jamaah. Jamaah pun terdiam seribu basa.

“Kenapa sampean gampang skali menyalahkan terhadap orang lain. Gini salah. Begitu salah. Kafir, mursyik,” celetuk salah seorang jamaah disambut ger-geran oleh jamaah lain.

Celetukan salah seorang jamaah itu memang menggambarkan realitas kehidupan keagamaan masyarakat dewasa ini.

“Ayatnya sudah jelas. Rab al-‘Alamin,” tegasnya skali lagi.

“Apa sih artinya ayat tersebut?,” tanya sang guru lagi.

“Tuhan semesta alam,” jawab salah seorang jamaah spontan.

“Kalau demikian artinya, kenapa sampean tidak bisa menerima kelompok lain? Allah sendiri sudah memproklamasikan diri sebagai Tuhan semesta alam,” tandasnya.

“Allah sendiri meliputi semesta alam. Kenapa kita masih tidak bisa menerima kenyataan. Ini al-Qur’an lho ya. Kalam Allah. Jangan mengerdilkan agama lah. Agama jangan kita kerdilkan sendiri,” tegasnya.

Pada kalimat terakhir yang diucapkan dengan nada tinggi membuatkan para jamaah istilah Jawanya podo jepiping semua. Fakta dalam kehidupan sehari-hari, atas nama agama, para penganutnya kebanyakan justru mereduksi doktrin agama menjadi ajaran yang mengkotak-kotakkan manusia. Manusia tanpa disadari membuat sekat-sekat sosial.

Parahnya lagi, antara satu agama dengan agama lainnya saling mengkafirkan. Tidak berhenti di sini, bahkan, antara satu golongan dengan golongan lain dalam internal agama tertentu masih membuat kotak sempit dengan saling menyalakan, sembari mengkafirkan golongan lainnya.

Lafadz dari ayat Rab al-‘Alamin secara subtansi terdapat dalam beberapa ayat lain. Satu dengan lainnya saling menguatkan. Menyebut di antaranya; “Wa ma arsalnaka illa rahmat li al-‘Alamin” (Tidak Aku utus engkau Muhammad, kecuali untuk rahmat bagi sekalian alam), “Kul audlu bi Rab al-Nas, Maliki al-Nas, Illahi al-Nas” (Katakan wahai Muhammad, aku berlindung kepada Tuhannya manusia, raja yang menguasai manusia, sesembahan manusia), dan masih banyak yang lain.

“Coba, Nabi Muhammad itu diutus untuk apa atau siapa?,” tanya sang mursyid.

“Rahmat bagi seluruh alam,” jawab salah seorang jamaah tegas.

“Kenapa ayat itu tidak berbunyi rahmat li al-Muslimin atau li al-Islamin? Apakah Allah berfirman itu tidak sadar,” tanyanya lagi yang disambut jamaah diam seraya menundukkan kepala masing-masing seraya merasa bersalah tanpa ada yang berani menjawab.

“Saya tanya lagi, Nabi Isa itu Nabi atau Rasul apa tidak? Diberi kitab injil kan? Paling sampean mengatakan injil palsu kan?,” tanya sang guru lagi tanpa ada yang berani menjawab.

“Okey, kalau sampean tidak berani menjawab, saya tanya lagi. Orang Yahudi, Nasrani, Shobiin, itu punya ruh apa tidak?.”

“Punya….” Untuk jawaban ini, tanpa dikomando, jamaah menjawab koor seperti dalam paduan suara.

“Ruh dalam diri mereka itu ruhnya siapa? Kalau Allah bukan Tuhan mereka, kenapa Allah memberi ruh pada mereka,” tegasnya lagi.

“Ayolah…. ngaji itu jangan hanya (membahas) halal-haram saja. Afala tatafakkarun, afala ta’kilun. Pakai karunia Allah untuk mengkaji hakaket al-Qur’an ini,” sambungnya.

“Jangan berhenti di Islam saja. Naik ke iman, ke ihsan. Di situ kita akan tahu hakekat Allah yang akbar,” tegasnya lagi.

“Aku biyen berguru kepada guru-guru cuman dibekali ‘tinggalen agamamu, golek’ono pengeran mu.’ Aku nggoleki pengeran ku ora gawe agamaku. Nek aku ngoleki pengeranku gowo agomo ku dadine koyok sampean kabeh. Isine nyalahno tok. Kapan aku isok ketemu pengeranku,” sambungnya lagi yang disambut ger-geran lagi karena mereka merasa disentil.

Di sinilah, perbedaan pemahaman antara masyarakat pada umunnya dengan para kekasih Allah. Bukan sekedar berhenti pada pemahaman, sekaligus para kekasih Allah itu mempraktekkan ayat-ayat di atas pada makna yang hakiki.

“Apa orang seperti Gus Dur selama hidupnya berada dalam menjalankan ayat-ayat itu gus,?” tanya saya. “Persis…! Bukan hanya sekedar Gus Dur. Para auliya seluruhnya akan menempati dan menjalankan ayat-ayat itu,” jawabnya tegas. (*)

*) Penulis adalah penulis buku dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan (FTK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang konsens di bidang pemikiran Islam dan urban sufisme

Iklan

BeritaTerkait

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *