Surabaya (Radar96.com) – Rapat gabungan syuriah dan tanfidziyah PWNU Jawa Timur memutuskan untuk mengusulkan pelaksanaan Muktamar NU pada tahun 2021 dan akan diperjuangkan agar bisa menjadi keputusan pada Konbes dan Munas Alim Ulama PBNU di Jakarta pada 25-26 September.
“Ini keputusan resmi yang akan diperjuangkan PWNU Jatim pada Konbes dan Munas Alim Ulama 25 September mendatang,” kata anggota jajaran Rois Syuriah PWNU Jawa Timur KH Anwar Iskandar, di Surabaya, Selasa (14/9/2021).
KH Anwar Iskandar yang juga pengasuh Pesantren Al Amin Kediri ini mengatakan, waktu pelaksanaan Muktamar NU akan diputuskan dalam Konbes dan Munas Alim Ulama.
Karenanya saat Konbes dan Munas Alim Ulama pada 25-26 September nanti, PWNU secara resmi akan menyuarakan pelaksanaan Muktamar NU selambat-lambatnya pada bulan Desember 2021.
Menurut KH Anwar, Muktamar NU harusnya sudah digelar pada 2020, namun karena pandemi diputuskan diundur pada bulan November 2021.
“Jadi sudah diundur tapi jika diundur lagi, kami khawatir akan terjadi krisis legitimasi di tubuh PBNU karena mundur terus,” katanya.
Usulan ini semata dimaksudkan agar roda organisasi terus bisa berjalan dalam keadaan apa pun, ujar KH Anwar selaku juru bicara kiai-kiai sepuh Jawa Timur ini.
NU, kata dia, sudah melampaui bermacam zaman sehingga apapun keadaannya, kewajiban organisasi harus dipegang dengan kuat.
“Saya khawatir kalau muktamar tidak digelar tahun ini akan ada krisis legitimasi dari kepada PBNU, karena mundur,” ujarnya.
Soal tempat muktamar, ia mengatakan siap ditempatkan di Jatim, namun karena Jatim sudah sering mungkin bisa di Jateng. “Yang penting pelaksanaan dilakukan dengan prokes ketat,” katanya.
Rapat yang dipimpin langsung Rois Syuriah PWNU KH Anwar Mansyur itu dihadiri rois lainnya, di antaranya KH Anwar Iskandar; KH Agoes Ali Masyhuri; KH Mutawakil Alallah; KH Ali Maschan Moesa serta beberapa kiai lainnya.
Selain itu dari jajaran tanfidziyah hadir Ketua Tanfidziyah KH Marzuki Mustamar; Wakil Ketua Tanfidziyah KH Abdusalam Sohib; serta Sekretaris Tanfidziyah Prof Ahmad Muzakki. (*)