Jakarta (Radar96.com) – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memutuskan Muktamar Ke-34 NU akan diselenggarakan pada 23-25 Desember 2021. Hal ini disampaikan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj saat Pleno Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU pada Sabtu (25/9).
Keputusan tersebut diambil atas musyawarah Ketua Umum PBNU bersama Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf, Sekretaris Jenderal PBNU H Ahmad Helmi Faishal Zaini.
“Bismillahirrahmanirrahim. Demi menjaga martabat Nahdlatul Ulama dan keberlangsungan Munas dan Konbes ini secara tenang, damai, dan teduh, tadi saya mengambil prakarsa untuk bermusyawarah bersama Khadratus Syeikh Rais ‘Aam, Katib ‘Aam, dan Sekjen”, kata Kiai Said.
“Dan alhamdulillah kami bersepakat dan memutuskan bahwa pelaksanaan Muktamar NU ke-34 akan diselenggarakan pada tanggal 23-25 Desember 2021. Dengan catatan bahwa penyelenggaraan seluruh kegiatan Muktamar akan mematuhi protokol kesehatan dan mendapatkan persetujuan satgas Covid-19 baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah,” tambahnya.
Sebelumnya, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dalam Khutbah Iftitahnya memohon maaf kepada seluruh pengurus NU di semua tingkatan dan warga NU atas keterlambatan PBNU dalam menjalankan agenda Munas-Konbes dan Muktamar akibat pandemi Covid-19.
“Dengan tulus ikhlas, atas nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, saya mohon maaf sebesar-besarnya, kepada seluruh jajaran kepengurusan Nahdlatul Ulama di seluruh tingkatan, atas keterlambatan PBNU di masa pandemi Covid-19 ini dalam menjalankan organisasi sehingga belum bisa menjalankan Muktamar Ke-34 pada bulan Oktober 2021 sebagaimana keputusan Konferensi Besar yang dilaksanakan pada tahun 2020,” katanya.
Ia menyampaikan bahwa Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang saat ini dilaksanakan adalah sebagai bagian dari upaya untuk membuat keputusan yang pasti tentang jadwal pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-34.
Selain itu, penyelenggaraan Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021 ini dilaksanakan sebagai media bagi seluruh pengurus wilayah Nahdlatul Ulama untuk menyampaikan aspirasi dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di wilayah masing-masing.
Satu tahun kurang satu bulan amanat Muktamar ke-33 telah terlewatkan, baik masa khidmat maupun programnya. Manakala belum ada yang tuntas, katanya, itu keterbatasan atau keteledoran dari pengurus.
“Kita sering mendengar kaidah yang berbunyi antara lain hanya karena dlarar (bahaya) yang belum jelas, belum nyata, akhirnya kita menarik dlarar yang nyata,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah, Surabaya, Jawa Timur itu.
Di akhir Khutbah Iftitah, Kiai Miftach mengajak seluruh peserta untuk meniatkan keikutsertaan dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2021 ini sebagai bentuk khidmat dalam menjalankan amanah dengan baik. “Mari dengan tuma’ninah nawaitu berkhidmat dan dengan memohon ridha Allah swt amanah ini kita jalankan sebaik-baiknya,” ajaknya.
Ahlul Halli wal Aqdi
Pembahasan pemilihan ketua umum PBNU dan ketua tanfidziyah melalui mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi (Ahwa) pada Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2021 didrop. Hal ini menjadi keputusan Komisi Organisasi setelah diambil pemungutan suara pada Sabtu (25/9/2021) malam.
Keputusan ini diambil mengingat pembahasan yang sangat dinamis. Kesepakatan ini dikukuhkan melalui Rapat Pleno Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konbes NU 2021 yang dipimpin Ketua Steering Committee Panitia KH Ahmad Ishomuddin pada Ahad (26/9).
“Tidak disetujui dan kita lakukan secara voting semalam. 19 suara setuju, dua menolak, dan tiga memberikan alternatif,” kata Imam Pituduh, Ketua Komisi Organisasi, saat menyampaikan putusan komisi pada Rapat Pleno.
“Ada beberapa peserta yang mengajukan opsi lain. Ini dijadikan catatan,” imbuh Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Pemilihan rais aam dan rais syuriyah di semua tingkatan melalui AHWA memang sudah disepakati perwakilan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) yang hadir. Keputusan yang sudah diambil sejak Muktamar Ke-33 NU itu tidak ada yang menggugatnya. Akan tetapi, pemilihan ketua tanfidziyah melalui mekanisme yang sama seperti pemilihan rais syuriyah, yakni melalui AHWA, mendapat pertentangan dari mayoritas peserta.
PWNU yang sepakat beralasan pemilihan ketua tanfidziyah melalui sistem ahwa sangat penting untuk menjaga ruh organisasi, yakni menempatkan kepemimpinan tanfidziyah di bawah otoritas kepemimpinan syuriyah. Selama ini, menurut HM Sholeh Hayat dari Jawa Timur, beberapa kali terjadi pertentangan di antara keduanya. Padahal semestinya, katanya, ketua tanfidziyah merupakan khadam (pembantu) dalam melaksanakan kebijakan syuriyah.
Sementara itu, perwakilan dari PWNU yang tidak sepakat dengan usulan mekanisme tersebut beralasan karena tidak ada suara dari perwakilan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) dan PWNU dalam menentukan pilihannya.
Sebagaimana diketahui, Pemilihan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada Muktamar NU Ke-33 Tahun 2015 di Jombang, Jawa Timur dilakukan melalui musyawarah mufakat di antara sembilan anggota ahlul halli wal aqdi (ahwa) yang dipilih langsung oleh muktamirin.
Hal serupa juga diterapkan untuk pemilihan rais syuriyah di semua tingkatan. Untuk wilayah, rais syuriyah dipilih langsung oleh tujuh anggota AHWA, sedangkan di tingkat cabang, cabang istimewa, wakil cabang, dan ranting dipilih oleh lima anggota AHWA. Demikian ini termaktub dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Bab XIV Pemilihan dan Penetapan Pengurus Pasal 40 sampai 46.
Dalam draf Munas dan Konbes NU 2021, disebutkan bahwa perubahan mekanisme pemilihan ketua tanfidziyah melalui sistem AHWA didasari atas pertimbangan bahwa selama lima tahun pemberlakuan mekanisme AHWA dalam pemilihan rais syuriyah berjalan dengan lancar, khidmat, dan ditaati semua pihak. (*/NUO)
Sumber:
*) https://www.nu.or.id/post/read/131586/pbnu-putuskan-muktamar-digelar-23-25-desember-2021
*) https://www.nu.or.id/post/read/131599/pemilihan-ketua-umum-pbnu-melalui-ahlul-halli-wal-aqdi-tidak-disetujui