Jakarta (Radar96.com) – Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah memutuskan status hukum daging berbasis sel adalah haram. Putusan ini dibacakan oleh Ketua Komisi Waqi’iyah, KH Mujib Qulyubi pada sidang pleno Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2021, Ahad (26/9/2021).
Kiai Mujib menjabarkan dua pembahasan terkait daging berbasis sel tersebut. Pertama, mengenai status hukum sel hewan seperti sapi yang diambil tanpa melakukan proses penyembelihan. Terakhir, hukum memakan daging berbasis sel tersebut.
“Daging hasil pengembangbiakan dari sel yang diambil dari hewan hidup seperti ayam dan sapi hukumnya najis dan haram dikonsumsi, karena bagian yang dipisahkan dari hewan yang masih hidup itu statusnya sebagaimana bangkainya, sehingga hukum dagingnya mengikuti status hukum selnya,” terang Kiai Mujib.
Dijelaskan, seseorang boleh mengonsumsi hewan apabila hewan tersebut telah melalui proses penyembelihan (sapi, kambing, dan ayam) dan tanpa proses penyembelihan (ikan).
Sementara itu, syarat tersebut tidak didapati pada proses pembuatan daging yang diambil dari sel hewan, karena dalam proses pembuatannya, sel yang akan dikembangkan diambil dari beberapa bagaian hewan seperti sumsum, sel otot, bahkan dari bakal janin (zigot) pasca pembuahan sperma dan sel telur 5-7 hari. Sel tersebut lalu diurai dan diambil sel intinya untuk dibiakkan melalui teknik rekayasa jaringan.
Menurut fikih Islam, hal tersebut justru membuat satu sel yang diambil tadi masuk ke dalam kategori maitah (bangkai) yang secara hukum adalah najis dan haram dikonsumsi.
Dalam keterangan Imam An-Nawawi, dijelaskan bahwa perkara yang dipisahkan atau dikeluarkan dari hewan yang masih hidup dalam bentuk benda yang sudah mengalami proses metabolisme (istihalah) dihukumi najis, selain susu, sperma, dan zigot.
Proses berikutnya, sel yang sudah diambil lalu ditempatkan dalam media dan diberi nutrisi dan faktor pertumbuhan. Tahap ini melibatkan beberapa zat kimia dan peralatan, diantaranya cairan yang terbuat dari serum darah dan bahkan gelatin ikut terlibat di dalamnya.
Pada awalnya, sel tidak terlihat secara kasat mata, kemudian berubah menjadi semakin banyak hingga triliunan sel membentuk sepotong daging.
Menilik proses tersebut dapat disimpulkan, pertama, daging hasil pembiakan sel dari hewan yang halal dikonsumsi tersebut belum mengalami proses penyembelihan secara syar’i.
Kedua, proses pembuatan daging berbasis sel ini melibatkan bahan-bahan yang najis semisal serum darah dan gelatin.
Ketiga, belum diyakini adanya proses tertentu yang merubah status najis menjadi suci atau merubah hukum haram dikonsumsi menjadi halal dikonsumsi.
Dengan demikian, status hukum memakan daging berbasis sel tersebut adalah sejalan dengan penjelasan dari hukum penciptaan daging selnya. Maka, dapat dikatakan bahwa memakan daging berbasis sel hukumnya haram.
Gelatin
Sementara itu, Komisi Waqi’iyah juga memutuskan hukum penggunaan gelatin dari hewan halal seperti ayam adalah suci dan halal. Kehalalan mengonsumsi hewan tersebut perlu melalui proses penyembelihan terlebih dahulu. Begitu pun halal dan suci gelatin yang bahan bakunya berasal dari hewan halal, meski tanpa perlu proses penyembelihan terlebih dahulu.
“Jika gelatin berbahan baku dari hewan yang halal dikonsumsi, maka statusnya adalah suci dan halal dikonsumsi,” terang Ketua Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah, KH Mujib Qulyubi, pada sidang pleno Munas Alim Ulama dan Konbes NU (26/9/2021).
Namun, jika gelatin berbahan dasar dari bagian tubuh hewan yang haram seperti babi, maka Komisi Waaqi’iyah merinci putusannya menjadi dua mengingat adanya perbedaan pandangan di kalangan para ulama.
Pertama, gelatin dari babi itu menjadi suci dan halal untuk dikonsumsi dengan alasan telah melalui proses istihalah yang menyucikan najis. Hal ini tertuang pada keterangan dari Syekh Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh Islami Wa Adillatuhu.
Pandangan kedua, gelatin berbahan dasar babi menjadi najis dan haram untuk dikonsumsi dengan alasan proses perubahan dari kulit dan tulang belum mencapai taraf istihalah. Sebab, istihalah merupakan perubahan secara total yang mencakup perubahan fisik, sifat fisik, molekul kimia, dan sifat kimia.
Kendati demikian, lanjutnya, meskipun dianggap tidak terjadi istihalah, sebagian ulama memperbolehkan dalam batas kadar qadr al-ishlah atau karena hajat seperti pada obat-obatan.
Selanjutnya, berkaitan dengan pendirian pabrik gelatin halal, Komisi Waqi’iyah merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk memfasilitasi penyediaan kebutuhan gelatin bagi masyarakat dengan mendirikan pabrik gelatin yang menjamin kehalalannya.
“Mengingat bahwa masyarakat hampir selalu bersentuhan dengan produk yang mengandung gelatin sementara gelatin impor masih diperselisihkan kehalalannya, NU turut meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mendukung setiap upaya pendirian pabrik gelatin yang terjamin kehalalannya,” jelas Kiai Mujib. (*/NUO)
Sumber:
*) https://www.nu.or.id/post/read/131626/munas-alim-ulama-nu-2021-putuskan-daging-berbasis-sel-haram-dikonsumsi
*) https://www.nu.or.id/post/read/131613/munas-alim-ulama-nu-2021-perinci-hukum-gelatin