Oleh KH. Agus Sunyoto (alm) *)
Banyak orang yang tidak paham fakta adanya fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, karena fakta itu tidak ditulis dalam buku sejarah di sekolah. Ada apa sebenarnya?
Awalnya, sejarah pertempuran 10 November tidak ada yang mau mengakui fatwa dan Resolusi Jihad itu pernah ada. Tulisannya Prof. Roeslan Abdul Gani, yang ikut terlibat, menyebut bahwa Resolusi Jihad itu tidak pernah ada.
Bung Tomo yang pidato teriak-teriak, dalam buku Prof Roeslan, juga tidak pernah menyebutkan bahwa fatwa dan Resolusi Jihad itu pernah ada. Laporan tulisan Mayjen Sungkono juga tidak menyebut pernah ada fatwa dan Resolusi Jihad.
Karena itu banyak orang menganggap fatwa dan resolusi jihad itu hanya dongeng dan ceritanya orang NU saja.
“Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren khususnya NU”. Itulah kesimpulan seminar nasional di perguruan tinggi negeri besar di Jakarta tentang perjuangan menegakkan Negara Republik Indonesia pada tahun 2014.
Bahkan, dengan sinis, salah seorang menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa. Karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah”. Aneh. Pandangan ini juga pernah dianut oleh tokoh-tokoh LIPI.
Tokoh demokrasi KH Abdurrahman Wahid yang pernah memimpin PBNU dan menjadi Presiden RI (Gus Dur) juga mengonfirmasi kalau sejarah ulama dan Kyai memang sudah lama ingin dilenyapkan. Tahun 1990, ada peringatan ’45 atau peringatan pertempuran 10 November. Yang jadi pahlawan besar dalam pertempuran 10 November diumumkan dari golongan itu, yakni orang terpelajar yang berpendidikan tinggi. Nama-nama mereka muncul tersebar di televisi, koran, dan majalah.
“Itu ceritanya, 10 November yang berjasa itu harusnya Kyai Hasyim Asy’ari dan poro Kyai. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?,” komentar Nyai Sholihah, ibunda Gus Dur.
Dari situlah Gus Dur diminta untuk klarifikasi, lalu Gus Dur menemui tokoh-tokoh tua dan senior di kalangan kelompok sosialis, untuk melakukan klarifikasi mengenai 10 November 1945.
Sambil tertawa mereka menjawab, “yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar. Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus,” kata seorang tokoh sosialis kepada Gus Dur.
Gus dur marah betul dibegitukan. Sampai tahun 1990-an, NU masih dianggap bodoh mereka. Dan, tahun 1991-an, Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran anak muda NU. Anak-anak santri dilatih mengenal analisis sosial (ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, dan geostrategi. Semua diajari, supaya tidak lagi dianggap bodoh.
Dan, kemudian berkembang hingga kini. “Saya (Agus Sunyoto) termasuk yang ikut pertama kali kaderisasi, karena itu agak faham”.
Saat penulis sejarah Indonesia menyatakan fatwa dan Resolusi Jihad itu tidak ada, justru dirinya (Agus Sunyoto) menemukan tulisan sejarawan Amerika, Frederik Anderson, tentang penjajahan jepang di Indonesia tahun 1942 sampai 1945. Sejarahwan itu menulis begini:
“Pada tanggal 22 Oktober 1945 pernah ada resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya. Tanggal 27 Oktober, koran Kedaulatan Rakyat juga memuat lengkap resolusi jihad. Koran Suara Masyarakat di Jakarta, juga memuat resolusi jihad”.
Ya, peristiwa ini ada, sekalipun orang Indonesia tidak mau menulisnya, karena menganggap NU yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan lapisan bawah. Sejarah dikebiri. Maka, dokumen-dokumen lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya, dibongkar.
Patahlah, semua anutan doktor sejarah yang menyatakan NU tidak punya peran apa-apa terhadap kemerdekaan.
Ketika Indonesia pertama kali merdeka tahun 1945, bangsa kita tidak punya tentara. Baru dua bulan kemudian, ada tentara. Agustus, September, lalu pada tanggal 5 Oktober dibentuk tentara keamanan rakyat (TKR). Tanggal 10 Oktober diumumkanlah jumlah tentara TKR, Ternyata, TKR di Jawa saja ada 10 divisi. Satu divisi isinya 10.000 prajurit. Terdiri atas, 3 resimen dan 15 batalyon. Artinya, TKR jumlahnya ada 100.000 pasukan. Itu TKR pertama. Yang nanti menjadi TNI.
Dan, komandan divisi 1 TKR itu bernama Kolonel KH. Sam’un, pengasuh pesantren di Banten. Komandan divisi 3 masih Kyai, yakni kolonel KH. Arwiji Kartawinata (Tasikmalaya). Sampai tingkat resimen, Kyai juga yang memimpin. Faktanya, resimen 17 dipimpin oleh Letnan Kolonel KH. Iskandar Idris. Resimen 8 dipimpin Letnan Kolonel KH. Yunus Anis.
Di batalyon pun banyak komandan Kyai. Komandan batalyon TKR Malang, misalnya, dipimpin Mayor KH. Iskandar Sulaiman yang saat itu menjabat Rais Suriyah NU Kabupaten Malang. Ini dokumen arsip nasional dari Sekretariat Negara dan TNI.
Tapi semua data itu tidak ada di buku bacaan anak SD/SMP/SMA. Seolah tidak ada peran Kyai. KH. Hasyim Asy’ari yang ditetapkan pahlawan oleh Bung Karno pun tidak ditulis. Jadi, jasa para Kyai dan santri memang dulu disingkirkan betul dari sejarah berdirinya Republik Indonesia ini.
Waktu itu, Indonesia baru berdiri. Tidak ada duit untuk bayar tentara. Hanya para Kyai dengan santri-santri yang menjadi tentara dan mau berjuang sebagai militer tanpa bayaran/ikhlas.
Hanya para Kyai, dengan tentara-tentara Hizbulloh yang mau korban nyawa tanpa dibayar. Sampai sekarang pun, NU masih punya tentara swasta namanya Banser, ya nggak dibayar. Wkwkwk….
Tentara itu baru menerima bayaran pada tahun 1950. Selama tahun 1945-an sampai perjuangan tahun 1950-an itu, tidak ada tentara yang dibayar negara. Kalau mau mikir, 10 November Surabaya adalah peristiwa paling aneh dalam sejarah. Kenapa? Kok bisa ada pertempuran yang begitu besar dan terjadi setelah perang dunia selesai 15 Agustus?.
Sebelum pertempuran 10 November, ternyata ada perang 4 hari di Surabaya yakni tanggal 26, 27, 28, dan 29 Oktober 1945. Kok ‘ujug-ujug’ (mendadak) muncul perang 4 hari, bagaimana ceritanya?
Jawabnya: Karena sebelum tanggal 26 Oktober, Surabaya bergolak, setelah adanya fatwa Resolusi Jihad PBNU pada tanggal 22 Oktober. Kini, tanggal itu diperingati sebagai Hari Santri.
Aslinya, Tentara Inggris sendiri tidak pernah berpikir akan ada perang dan bertempur dengan penduduk Surabaya. Perang sudah selesai kok, begitu pikirnya. Tapi, karena masyarakat Surabaya terpengaruh fatwa dan resolusi jihad, maka mereka siap menyerang Inggris, yang waktu itu mendarat di Surabaya. Sejarah inilah yang selama ini ditutupi.
Jika Resolusi Jihad ditutupi, orang yang membaca sekilas peristiwa 10 November akan menyebut tentara Inggris “ora waras” (tidak normal alias gila), ngapain ‘ngebom’ kota Surabaya tanpa sebab?.
Tapi kalau melihat rangkaian ini dari resolusi jihad, baru masuk akal. “Ooo.. iya, mereka marah, karena jenderal dan pasukannya dibunuh arek-arek Bonek Suroboyo”.
Fatwa Jihad muncul karena Presiden Soekarno meminta fatwa kepada PBNU: “Apa yang harus dilakukan warga Negara Indonesia kalau diserang musuh, mengingat Belanda ingin kembali menguasai”.
Bung Karno juga menyatakan ‘bagaimana cara agar Negara Indonesia diakui dunia’. Sejak diproklamasikan 17 Agustus dan dibentuk 18 Agustus, tampaknya tidak ada satupun negara di dunia yang mau mengakui. Oleh dunia, Indonesia diberitakan sebagai Negara boneka bikinan Jepang. Bukan atas kehendak rakyat. Artinya, Indonesia disebut sebagai negara yang tidak dibela rakyat.
Fatwa dan Resolusi Jihad lalu dimunculkan oleh PBNU. Gara-gara itu, Inggris yang mau datang 25 Oktober tidak diperbolehkan masuk Surabaya karena penduduk Surabaya sudah siap perang.
Ternyata sore hari, Gubernur Jawa Timur mempersilakan: “Silahkan Inggris masuk, tapi di tempat yang secukupnya saja”.
Ditunjukkanlah beberapa lokasi, kemudian mereka/Inggris masuk. Tanggal 26 Oktober, ternyata Inggris malah membangun banyak pos-pos pertahanan dengan karung-karung pasir yang ditumpuk dan diisi senapan mesin.
“Lho, ini apa maunya Inggris. ‘Kan sudah tersiar kabar luas kalau Belanda akan kembali menguasai Indonesia dengan membonceng tentara Inggris,” begitu komentar arek-arek.
Pada 26 Oktober sore hari, pos pertahanan itu diserang massa. Penduduk Surabaya dari kampung-kampung keluar “nawur” pasukan Inggris. “Ayo tawur… tawuran…’!”.
Para pelaku mengatakan, “itu bukan perang mas, tapi tawuran. Kenapa? Nggak ada komandannya, nggak ada yang memimpin.”
“Pokoke wong krungu jihad … jihad … Mbah hasyim … Mbah hasyim…” (Pokoknya, orang mendengar jihad, jihad…Mbah Hasyim, Mbah Hasyim…).
Berduyun-duyun, arek-arek Suroboyo sudah keluar rumah semua dan langsung tawur sambil teriak “Allahu Akbar” dan itu berlangsung 27 Oktober. Mereka bergerak karena seruan jihad dari Mbah Hasyim itu disiarkan lewat langgar-langgar/surau, masjid-masjid, dan spiker-spiker/pengeras suara.
Pada 28 Oktober, tentara ikut arus arek-arek, ikut gelut dengan Inggris. Massa langsung dipimpin tentara. Dalam pertempuran 28 Oktober ini, 1.000 lebih tentara Inggris mati dibunuh. Tapi tentara tidak mau mengakui, karena Indonesia meski sudah merdeka, belum ada yang mengakui. Itu jadi urusan besar tingkat dunia jika ada kabar tentara Indonesia bunuh Inggris. Tentara tidak mau ikut campur. Negara belum ada yang mengakui kok sudah klaim bunuh tentara Inggris. Itu semua ikhtiar arek-arek Suroboyo semua.
Pada 29 Oktober pertempuran itu masih terus terjadi. Inggris akhirnya mendatangkan presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta untuk mendamaikan. Pada 30 Oktober di tandatanganilah kesepakatan damai tidak saling tembak-menembak. Yang tanda tangan Gubernur Jatim juga. Sudah damai, tapi massa kampung tidak mau damai.
Pada 30 Oktober, akhirnya Brigadir Jenderal Mallaby digranat arek-arek Suroboyo. Jenderal Mallaby itu mati mengenaskan di tangan pemuda Ansor. Ditembak, mobilnya digranat di Jembatan Merah. Sejarah kematian Mallaby ini tidak diakui oleh Inggris. Ada yang menyebut Mallaby mati dibunuh secara licik oleh Indonesia. Aneh, jenderal mati tapi disembunyikan sebabnya karena malu.
Inggris marah betul. Masa negara kolonial kalah. Mereka malu dan bingung. Perang sudah selesai, tapi pasukan Inggris kok diserang, jenderalnya dibunuh. Apa ini maksudnya?
“Kalau sampai tanggal 9 November jam 6 sore, pembunuh Mallaby tidak diserahkan, dan tanggal itu orang-orang Surabaya masih memegang bedil/pistol, meriam dan seterusnya. Tidak menyerahkan senjata kepada tentara Inggris, maka tanggal 10 November jam 6 pagi, Surabaya akan dibombardir lewat darat, laut, dan udara,” begitu amuk jenderal tertinggi Inggris.
Datanglah tujuh kapal perang langsung ke Pelabuhan Tanjung Perak. Meriam Inggris sudah diarahkan ke Surabaya. Diturunkan pula meriam Howidser yang khusus untuk menghancurkan bangunan. Satu skuadron pesawat tempur dan pesawat pengebom juga siap dipakai. Surabaya kala itu memang mau dibakar habis karena Inggris marah kepada pembunuh Mallaby.
Pada 9 November jam setengah 4 sore, Mbah Hasyim yang baru pulang dari Konferensi Masyumi di Jogja sebagai ketua. Ia mendengar kabar arek-arek Suroboyo diancam Inggris. “Fardhu a’in bagi semua umat Islam yang berada dalam jarak 94 kilo dari Kota Surabaya untuk membela Kota Surabaya”.
Angka 94 kilo itu merupakan jarak dibolehkannya sholat qoshor. Wilayah Sidoarjo, Tulungagung, Trenggalek, Kediri, wilayah Mataram, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Jombang datang semua karena dalam jarak radius 94 kilo. Dari Kediri, Lirboyo, datang dipimpin Kyai Mahrus. Seruan Mbah Hasyim langsung disambut luar biasa.
Bahkan Cirebon yang lebih dari 500 kilo datang ke Surabaya ikut seruan jihad PBNU. Anak-anak kecil bahkan orang-orang dari lintas agama juga ikut perang. Orang Konghucu, Kristen, dan Budha semua ikut jihad.
Selain Mallaby, pertempuran di Surabaya juga menewaskan Brigadir Jendral Loder Saimen. Luar biasa pengorbanan arek-arek Surabaya, para Kyai, dan santri.
Tapi apa yang dilakukan pemerintah di kemudian hari kepada para Kyai ini? Dimanipulasi. (*)
*) Penulis adalah sejarahwan NU dan Ketua Lesbumi PBNU yang menyampaikan “sejarah” Hari Pahlawan itu saat menghadiri bedah buku “Fatwa dan Resolusi Jihad” di Pondok Lirboyo, Kediri 3 November 2017. Penulis buku “Atlas Walisongo” itu meninggal dunia pada 27 April 2021.
*) https://youtube.com/channel/UCVYQ0P0HYGuSrQVPQaQ6e9Q?sub_confirmation=1