Surabaya (Radar96.com) – Wakil Sekjen MUI Pusat bidang Fatwa Dr. H . Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menilai tagar #Bubarkan MUI SarangTeroris yang viral setelah Densus 88 menangkap salah satu anggota Komisi Fatwa MUI, Dr. Ahmad Zain An Najah, dalam kasus dugaan keterlibatan sebagai anggota JI, cukup berlebihan, karena MUI sudah mengharamkan terorisme sejak 2004 melalui fatwanya.
“Tagar tersebut terasa berlebihan, karena penangkapan tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan lembaga MUI, namun hanya persoalan pribadi, tentunya kesalahan personal tidak bisa dibebankan kepada organisasi yang di dalamnya terdapat ribuan ulama moderat dari pusat hingga kabupaten/kota, apalagi MUI sudah menjadi wadah bagi ormas-ormas Islam sejak tahun 1975,” katanya di Surabaya, Sabtu (20/11/2021).
Pengasuh Pesantren Annur 1 Bululawang, Malang, Jatim itu menjelaskan Pimpinan MUI juga sudah mengeluarkan bayan resmi untuk tetap berkomitmen melawan terorisme dengan menonaktifkan tersangka sampai ada keputusan hukum tetap, sekaligus
mendukung pihak yang berwenang untuk memproses kasus dugaan keterlibatan tersangka dalam kasus terorisme tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah.
“MUI juga mengimbau masyarakat agar menahan diri untuk tidak terprovokasi dari kelompok tertentu yang berusaha memanfaatkan situasi. Tuduhan kepada MUI terpapar terorisme sesungguhnya sangat tidak berdasar karena fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang terorisme, menegaskan bahwa terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara dan hukumnya adalah haram,” katanya.
Selain itu, MUI juga telah mengeluarkan fatwa bahwa bom bunuh diri bukan bagian dari jihad. Dalam fatwa yang ditandatangani pada tanggal 24 Januari 2004 itu MUI secara tegas mengharamkan aksi terorisme dan menegaskan bahwa hukum melakukan bom bunuh diri bukan jihad.
“Meskipun fatwa MUI ini mungkin belum tersosialisasi secara masif, hingga saat ini kita masih membutuhkan MUI di berbagai tingkatan untuk menjadi wadah penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan sebagai penerjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna menyukseskan pembangunan nasional secara damai dan harmonis,” katanya.
Melalui MUI juga dapat ditingkatkan hubungan serta kerjasama yang baik antar-ormas Islam, lembaga keIslaman dan cendekiawan muslimin dari berbagai kalangan perguruan tinggi dan pesantren untuk terwujudnya Ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa.
“Sejarah mencatat bahwa MUI telah banyak berjasa memberikan memberikan nasihat dan fatwa yang menjadi rujukan pemerintah dan masyarakat mengenai berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan, semisal dalam menghadapi situasi darurat Covid-19 tahun 2020 telah dikeluarkan 14 fatwa MUI berkaitan vaksinasi dan berbagai tuntunan kegiatan peribadatan umat Islam di musim pandemi,” katanya.
Selama ini, MUI juga terus bekerja memberikan konsultasi dan informasi secara timbal balik dalam berbagai masalah umat melalui komisi-komisi yang ada di MUI. Ketua Umum MUI juga banyak dipimpin berlatar belakang ormas Islam yang moderat, seperti Prof. Dr. Hamka (1977 – 1981), KH. Syukri Ghozali (1981 – 1983), KH. Hasan Basri (1985 – 1998), Prof. KH. Ali Yafie (1998 – 2000), KH. M. Sahal Mahfudz (2000 – 2014), Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin (2014 – 2015), Prof. Dr. KH. Ma`ruf Amin (2015 – 2020), dan KH. Miftachul Akhyar (2020 – Sekarang).
“Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa desakan membubarkan MUI saat ini sangat tidak tepat. Fatwa para ulama-ulama masih diperlukan sebagai pegangan umat dalam menghadapi berbagai masalah yang semakin kompleks, bangsa Indonesia juga masih sangat membutuhkan MUI dalam menjaga akidah, moral, dan akhlak umat dalam bingkai persatuan NKRI,” kata Gus Fahrur yang juga salah seorang Wakil ketua PWNU Jatim itu. (*/my)