Oleh Dr. H . Ahmad Fahrur Rozi *)
Nahdlatul Ulama (NU) lahir dari para kyai pemimpin Pesantren, hubungan NU dengan pondok pesantren adalah ibarat ikan dengan air, dimana keduanya tidak mungkin untuk dapat dipisahkan. Menurut ibarat KH Muchit Muzadi (alm), Pesantren adalah NU kecil dan NU adalah pesantren besar. Keduanya merupakan rumah besar yang nyaman bagi segenap warga masyarakat nahdliyyin yang sejak awal didirikannya merupakan wadah perjuangan para ulama dalam membina akidah Islam Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) dan mengajarkan Akhlak mulia dalam kehidupan masyarakat dengan ajaran Islam moderat.
Para ulama pesantren memiliki kesamaan wawasan keagamaan dan kebangsaan di Indonesia, kesamaan itu meliputi tata cara pemahaman, pandangan dan sikap perilaku dalam memperjuangkan pengamalan ajaran Islam berhaluan Ahlussunnah wal jamaah menghadapi berbagai macam aliran sempalan yang timbul saat itu , karena kesamaan tersebut mereka menggabungkan diri menjadi satu dalam sebuah wadah jamiyyah Nahdlatul ulama untuk memperjuangkan tegaknya akidah aswaja dan membangun kemaslahatan masyarakat.
Persamaan antara Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren terdapat dalam pola kepemimpinannya yang sama-sama berpusat kepada seorang Kyai. Apabila di dalam Pondok Pesantren itu, Kiai memiliki peran yang sangat menentukan, maka di dalam Nahdlatul Ulama dikenal Kepemimpinan Syuriyah yang terdiri dari para ulama atau Kyai selaku Pemimpin tertinggi. Keduanya menempatkan Kyai atau ulama dalam posisi tertinggi dalam struktur kepemimpinan, karena ulama adalah mata rantai pembawa ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
Di dalam Nahdlatul Ulama, para Kyai atau ulama dipahami sebagai tokoh yang paling kuat yang mempunyai keunggulan dan kelebihan dalam bidang spritual, ilmu, amal, dan akhlak keagamaannya.
Pengaruh yang dimiliki oleh para Kyai pengasuh pondok pesantren di lingkungan masyarakat menjadi kekuatan pendukung bagi Nahdlatul Ulama. Hubungan antara Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren, terlihat dalam struktur masyarakat santri yang selama ini tampil sebagai pendukung dan penyangga kekuatan Nahdlatul Ulama; Kiai, Pondok Pesantren, kaum santri merupakan pilar kuat yang dimiliki organisasi NU.
Tradisi santri pesantren senantiasa patuh berada dibawah garis kepemimpinan kyai. Hubungan antara seorang santri dengan gurunya tidak pernah terputus dengan selesainya proses belajar mengajar. Hubungan batin dan silaturahmi antara Kyai dengan santrinya senantiasa berlangsung terus-menerus, bahkan kepada para Dzurriyyah, meskipun mereka sudah pulang ke rumahnya dan mendirikan pesantren baru di berbagai daerah.
Sejak NU didirikan pada tahun 1926, sebetulnya organisasi tersebut juga telah mengukuhkan diri untuk berada di bawah komando kyai dan para ulama. Hal itu terlihat dari nama organisasi itu yakni Nahdlatul Ulama yang berarti ‘kebangkitan ulama’. KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU dikukuhkan sebagai Rais Am pertama bergelar ‘Rais Akbar NU’, kemudian secara bergantian Rais ‘Aam dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan merupakan figur yang paling dihormati di kalangan NU.
Rais Am adalah pemimpin tertinggi dan ketua umum yang sebenarnya dalam tradisi NU, sedangkan Ketum Tanfidziyah adalah pelaksana ibarat kyai pengasuh pesantren dengan lurah pondok. Namun ketika NU bermetamorfosis sebagai partai politik tahun 1955, peran Ketua Umum (tanfidziyah) menjadi jauh lebih menonjol, bahkan sangat populer mengalahkan Rais Am.
Secara aturan sudah seharusnya Ketum PBNU dan jajaran tanfidziyah selaku pelaksana wajib taat kepada titah Rais Am tanpa ada tawar-menawar, karena didalam Anggaran Dasar NU Bab VII pasal 14 ayat 3 disebutkan jelas bahwa “Syuriyah adalah pemimpin tertinggi Nahdlatul ulama”. Selanjutnya, Pasal 58 ART ayat 1 A menyebutkan bahwa “kewenangan Rais Am adalah : Mengendalikan kebijakan umum organisasi”.
Namun, perkembangan situasi zaman kemudian berubah, dimana saat ini terasa kedudukan Ketum menjadi sangat dominan, karena merasa dipilih dalam muktamar, bahkan kadang terlihat berseberangan dengan Rais Am, misalnya dalam kasus Ahok di Jakarta yang silam. Ini adalah fenomena yang melawan “khittah” struktur hubungan tanfidziyah dan syuriyah.
Fenomena itu kemudian mendorong PWNU Jawa Timur mengusulkan dalam Munas di Jakarta bulan September 2021 untuk mengubah AD ART tentang pemilihan Ketua Umum PBNU dan tingkatan dibawahnya agar tidak lagi dipilih, melainkan diangkat oleh Rais Am sebagaimana zaman awal pendirian NU oleh Hadrarussyaikh KH Hasyim Asy’ary atau minimal dipilih oleh AHWA sebagaimana Rais Am.
Perubahan ini dipandang perlu untuk mengakhiri gejala timbulnya dualisme kepemimpinan dalam tubuh NU, dan menjadikan hubungan yang lebih harmonis layaknya pengasuh dan lurah pondok. Konsep AHWA juga diyakini oleh PWNU Jatim sebagai langkah tepat mencegah isu money politics di arena muktamar dan memperkuat posisi syuriyah sebagai pengendali tertinggi organisasi dan tidak menjadikan posisi Ketum sejajar Rois Am karena sama-sama dipilih oleh forum muktamar. Wallahu a’lam. (*)
*) Penulis adalah Pengasuh Ponpes ANNUR 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jatim , Wakil Sekjend MUI Pusat, Wakil Ketua PP RMI PBNU 2004-2015, dan Ketua Himasal Jatim 2015-2019.