Jakarta (Radar96.com) – Ketua PBNU Robikin Emhas bersyukur dengan
silang sengketa maju-mundurnya waktu pelaksanaan Muktamar ke-34 NU yang berakhir seperti ungkapan populer di lingkungan NU, yakni “gegeran” (pertengkaran) yang berakhir “ger-ger-an” (gelak tawa).
“Alhamdulillah. Muktamar ke-34 NU akan diselenggarakan pada tanggal 23-25 Desember 2021, di Provinsi Lampung, sebagaimana Keputusan Konferensi Besar (Konbes) NU tanggal 26 September 2021,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Rabu.
Hal itu disampaikan melalui PBNU dalam surat tertanggal 7 Desember 2021 yang ditujukan kepada PWNU dan PCNU se-Indonesia, termasuk PCINU di seluruh dunia.
Surat PBNU yang ditanda-tangani Rais ‘Aam KH Miftackhul Akhyar, Katib ‘Aam KH Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum KH Said Aqil Siroj dan Sekretaris Jenderal A Helmy Faishal tersebut terbit menyusul adanya perubahan kebijakan pemerintah terkait PPKM di masa Natal tahun 2021 dan Tahun Baru 2022.
Pemerintah tidak lagi memberlakukan PPKM Level 3 untuk seluruh Indonesia, namun bersifat terbatas pada sebagian daerah yang memang masih Level 3, sedangkan daerah lainnya kembali kepada PPKM sesuai level yang ada, seperti Bali yang Level 2 atau Jatim yang Level 1.
“Dengan pemberitahuan waktu pelaksanaan muktamar ke-34 NU ini, maka semua wacana maju atau mundurnya muktamar ke-34 telah berakhir.
Seperti ungkapan populer di lingkungan NU, yakni “gegeran” yang berakhir “ger-ger-an”,” katanya.
Ia mengharapkan doa masyarakat agar Muktamar ke-34 NU berlangsung lancar, bermartabat, dan menghasilkan keputusan-keputusan yang dapat meninggikan harkat dan martabat umat manusia dan memajukan peradaban dunia.
Sementara itu, Wakil ketua PWNU Jatim, Dr .H . Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), menilai silang sengketa yang menyertai Muktamar NU dalam 3-4 kali muktamar mengajarkan pentingnya untuk menghentikan “dualisme” kepemimpinan di tubuh NU.
“Struktur kepengurusan di NU bisa dibilang memang agak berbeda dengan organisasi lainnya. Jika diartikan secara harfiah, NU memiliki dua ‘Ketua Umum’ dengan adanya posisi Rais ‘Aam dan Ketua Umum itu sendiri. Bagaimana bisa?,” kata Wakil Sekjend MUI Pusat itu.
Gus Fahrur yang juga pengasuh Pondok Pesantren An-Nur 1 Bululawang Malang, Jatim itu menjelaskan Rais ‘Aam (atau kadang ditulis Rais Am) diambil dari bahasa Arab yang berarti Ketua Umum. Sementara itu NU memiliki Ketua Umum Tanfidziyah (pelaksana) yang beranggotakan pengurus harian seperti organisasi lainnya.
“Tetapi dalam tradisi NU, sesungguhnya Rais Am adalah jabatan pemimpin tertinggi NU ,sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar NU Bab VII pasal 14 ayat 3 bahwa: Syuriyah adalah pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama. Selanjutnya dalam Pasal 58 ART ayat 1 A disebutkan bahwa kewenangan Rais Am adalah: mengendalikan kebijakan secara umum,” katanya.
Pada awal berdiri, yang justru dikenal publik adalah para syuriyah itu, hingga Muktamar NU kedelapan di Jakarta pada tahun 1933. Tak ada rapat khusus tanfidziyah, meski saat itu telah ada kepengurusannya. Barulah di Muktamar NU setahun kemudian, diadakan rapat tanfidziyah secara khusus dan jabatan ketua Tanfidziyah diangkat oleh Rois Am.
Mengutip Presiden Hoopd Bestuur Nahdlatoel Oelama (sekarang istilahnya Ketua Umum PBNU) Mahfud Shiddiq, katanya, syuriyah berarti ruh, sedangkan tanfidziyah jasad atau jasmani. Kedua kelompok ini tidak boleh terpisah dari NU. Tanfidziyah tidak bisa melakukan pergerakan organisasi tanpa sepengatahuan syuriyah. (nu.or.id , 17 /2/ 2018).
“Sejak awal, Islam melarang keberadaan dua pemimpin sederajat bagai dua matahari kembar karena jelas akan menyebabkan kekacauan. Rasulullah SAW mengisyaratkan bahaya dualisme kepemimpinan dengan mengingatkan agar menciptakan kondisi kepemimpinan tunggal dengan cara mematuhi seorang pemimpin yang sah di zamannya,” katanya.
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW bahwa ia bersabda, “Jika kalian mengangkat Abu Bakar RA, niscaya kalian akan menemukan pemimpin yang kuat dalam agama Allah SWT dan lemah fisiknya. Tetapi jika kalian mengangkat Umar RA, niscaya kalian mendapati orang yang kuat agamanya dan kuat fisiknya. Sedangkan jika kalian mengangkat Ali RA, niscaya kalian menemukan pemimpin yang dapat memberi petunjuk dan pemimpin yang mendapat petunjuk (dari Allah)” (Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H, halaman 97).
Dalam kitab yang sama, Imam Al-Mawardi menjelaskan pengangkatan dua atau tiga pemimpin pada periode pemerintahan yang sama dan untuk wilayah tertorial yang sama tidak boleh menurut ijmak ulama.
“Sejarah telah membuktikan bahwa dualisme kepemimpinan berujung pada perebutan pengaruh dengan segala cara, chaos atau kacau-balau, karena dalam dualisme kepemimpin tentu terdapat konflik kepentingan yang hampir tidak mungkin didamaikan,” katanya.
Oleh karena itu, Muktamar Lampung perlu melakukan penegasan kembali pola kerja dan wewenang lembaga Syuriyah dan Tanfidziyah agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan dalam pucuk pimpinan NU.
“Hemat saya, sekiranya dapat dilakukan peninjauan kembali AD ART pemilihan Ketua Tanfidziyah agar dikembalikan kepada sistem pengangkatan ketua umum PBNU oleh Rais Aam dan jajaran dibawahnya agar kinerja Syuriyah dan Tanfidziyah sepenuhnya dapat terkoordinasi dengan baik dan tidak terdapat dualisme kepemimpinan di NU,” katanya. (*/pna)