Surabaya (Radar96.com) – Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) atau Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia di bawah naungan Nahdlatul Ulama Jawa Timur, KH Abdussalam Shohib, mengingatkan perlu tindakan tepat untuk menyelesaikan masalah pelecehan seksual yang terjadi di Bandung oleh seseorang guru (ustadz) dari sebuah rumah tahfidz, agar jangan sampai menjadi stigma negatif bagi pesantren pada umumnya.
“Cara yang harus dikedepankan adalah melakukan pendampingan terhadap korban, baik secara hukum, moral, sosial, serta memastikan masa depannya. Kita tidak perlu saling menyalahkan dan menuduh satu sama lain, karena itu tidak menyelesaikan masalah. Sekarang terpenting adalah masalah depan korban yang harus mendapat perhatian utama,” tutur Gus Salam, di Gedung PWNU Jawa Timur, Minggu (12/12/2021).
Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang itu mengungkapkan masalah pelecehan seksual yang terjadi di Bandung oleh seseorang guru (ustadz) dari sebuah rumah tahfidz, jangan sampai menjadi stigma negatif bagi pesantren pada umumnya, sebab Rumah Tahfidz tidaklah sama dengan pondok pesantren yang selama ini identik dengan NU. Karena itu, Rumah Tahfidz tidak punya kaitan dengan RMI atau bukan pondok pesantren yang berkarakter Ahlussunnah Waljamaah
Untuk itu, RMI Jawa Timur segera mengambil langkah strategis melakukan koordinasi intensif dengan pihak internal di lingkungan NU, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) NU, Lembaga Kesejahteraan Keluarga (LKK) NU. Selain itu, juga dengan pihak eksternal seperti LBH, KPAI, Kementerian Agama dan aparat lain yang berwenang.
“Mari kita semua terbuka agar kejadian serupa tidak terulang bagi korban. Baik bagi korban langsung atau pun keluarga korban, mohon untuk tidak takut melaporkan. Kami pastikan, kami akan memberi pendampingan,” tutur Gus Salam.
Menurut dia, kejadian tersebut, bagi NU khususnya RMI, adalah momentum untuk introspeksi dan mencari solusi atas permasalahan yang ada. “Salah satunya kami akan menerbitkan Sertifikat Pesantren Sehat dan Aman,” tutur Gus Salam.
Terkait pandemi Covid-19, Gus Salam menambahkan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bisa menjawab tantangan zaman. Dengan tetap menaati protokol kesehatan, ponpes menjadi alternatif lembaga pendidikan yang mengedepankan akhlak dan adab di masyarakat.
“Alhamdulillah, di tengah situasi sulit seperti pandemi ini, pondok pesantren terus, bahkan semakin mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakat dalam mendidik generasi bangsa. Konsekuensi logisnya tentu banyak tantangan yang harus direspons dengan baik dan terukur,” tutur Gus Salam.
Ia mencontohkan, salah satu tantangan itu adalah munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang menamakan diri pesantren untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tapi di dalam terjadi praktik-praktik yang bertolak belakang dengan tujuan utama didirikannya pondok pesantren.
Sementara itu, KH Romadhon Khotib dari LBM NU Jawa Timur yang juga Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa Timur mengatakan, para pelaku tindak pelecehan seksual sepantasnya mendapat hukuman terberat. Bila perlu dihukum seumur hidup atau hukuman mati.
“Dalam Bahtsul Masail yang kami adakan, para ulama dengan merujuk pada kesepakatan Empat Mazhab (Imam Syafi’i, Imam Ahmad ibn Hanbali, Imam Malik dan Imam Hanafi). Khususnya, pendapat ulama Syafi’iyah sepakat memberi hukum seberat-beratnya, seperti hukuman mati. Sedang kalau hukuman kebiri, para ulama tidak merekomendasi,” tuturnya. (*/pna)