Jakarta (Radar96.com) – Kepala Sub Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, H Aceng Abdul Aziz, menegaskan bahwa menafsir ulang teks-teks agama demi sikap moderat adalah hal yang tidak akan terjadi.
Ia berpendapat bahwa Islam sejatinya merupakan agama yang sangat moderat sedari awal. Dari itu, ia mengingatkan agar seyogianya seorang Muslim haruslah memperbaharui sikap dan cara pandang guna mengiplementasikan nilai-nilai luhur yang menjadi dasar dari ajaran Islam.
“Tetapi yang perlu kita selalu perbaharui adalah cara pandang, cara bersikap kita sebagai orang beragama untuk tetap memelihara bagaimana segala, perilaku kita, tingkah laku kita, pikiran kita dalam mengimplementasikan ajaran kita, akidah kita, mu’amalah kita itu, di dalam konteks kemashlahatan bersama,” tegasnya.
Ia menyampaikan hal itu saat mengisi Workshop Moderasi Beragama bertajuk “Penguatan Pemahaman Moderasi Beragama Ustadz Pendidikan Pesantren” yang diadakan Yayasan Talibuana Nusantara bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Direktorat Pendidikan Islam Kemenag RI, di Jakarta Selatan (2/12/2021).
Dalam acara yang dihadiri oleh Ketua Yayasan Talibuana Nusantara, Endin AJ Soefihara; Dekan Fakultas Islam Nusantara Unusia H Ahmad Suaedi; dan Winuhoro HB itu, Aceng mengemukakan fakta bahwa dewasa ini, masyarakat memiliki minat yang sangat tinggi dalam mendedikasikan diri mereka di jalur ponsok pesantren.
Pasalnya, ia berpendapat bahwa ustadz maupun kyai saat ini telah dikategorikan sebagai pendidik professional. “Makanya inilah yang sedang diusahakan oleh Kementerian Agama. karena ustadz pesantren ini istilah baru, maka dia harus seperti guru perlakuannya. Kalau guru disertifikasi, maka ustadz pesantren dalam tanda petik harus disertifikasi walaupun nanti akan berbeda caranya, misalnya diakui kompetensinya,” ungkapnya.
Meski begitu, Aceng mengaku kerap menemui beragam persoalan yang terjadi di lapangan. Salah satu yang ia temukan, meski banyaknya tenaga pengajar yang memiliki kompetensi sebagai pengajar di pondok pesantren, ironisnya, mereka tidak mempunyai latar belakang pendidikan.
“Karena banyak di pesantren kompetensinya oke, tapi dia tidak punya latar belakang pendidikan,” ucapnya. Ia pun berharap agar pendidikan Islam di Indonesia yang menurutnya sangat luar biasa, mampu menjadi arus utama di tengah masyarakat yang religius dalam mementingkan dan memperjuangkan agama dalam bingkai keberagaman.
“Maka apabila paham keagamaannya tidak relevan dengan paham kebangsaan dan tidak dalam satu tarikan napas, semisal paham keagamaan di kanan dan paham kebangsaan di kiri. Kalau kita paham keagamaan dan kebangsaan itu menjadi satu tarikan napas dan tidak dipisah-pisah, nah ini akan menjadikan warna kemasyarakatan kita, keberagamaan kita, dan kebangsaan itu dalam posisi yang moderat sebagaimana yang kita inginkan dan cita-citakan,” lanjut dia.
Menurutnya program ini sebetulnya tidak baru dan tidak ada ide-ide yang spektakuler. “Tapi itu di dalam Aswaja itu kan ada nilai-nilai yang disebut mabadi khaira ummah,” imbuhnya.
Tiga Penyebab
Sebelumnya, Menteri Agama RI 2014-2019 H Lukman Hakim Saifuddin menyebut tiga penyebab pentingnya penguatan moderasi beragama di Indonesia. Penyebab itu merupakan fenomena keberagamaan ekstrem yang cukup menonjol belakangan ini.
“Setidaknya ada tiga hal yang menjadi latar belakang sekaligus urgensi mengapa penguatan moderasi beragama ini penting. Ini tiga hal yang paling cukup menonjol sebagai fenomena yang belakangan sering kita jumpai ada di tengah-tengah kita,” uajrnya dalam Focus Group Discussion Uji Publik Peta Jalan Moderasi Beragama II, di Jakarta, pada Selasa (19/10/2021).
Penyebab pertama, kata LHS, pentingnya penguatan moderasi beragama karena saat ini muncul fenomena paham serta berbagai tindakan pengamalan keagamaan yang justru mengingkari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal, kata dia, semua agama hadir ke muka bumi bertujuan untuk menjaga, memelihara, dan melindungi harkat, martabat, serta derajat kemanusiaan.
Namun, justru belakangan ini muncul fenomena orang beragama yang eksklusif. Hal ini bertentangan inti ajaran agama yang mengajarkan keterbukaan atau inklusivitas.
“Setelah eksklusif menjadi segregatif, memisah-misahkan. Padahal beragama itu mestinya integratif, karena agama mengajarkan agar kita menyatukan keragaman atau perbedaan yang ada di tengah-tengah kita. Keragaman itu hakikatnya given, sesuatu yang memang begitulah Tuhan menghendakinya,” terang putra Menag KH Saifuddin Zuhri ini.
Setelah perbuatan segregatif itu, lalu muncul sikap beragama yang konfrontatif atau mengajak pada permusuhan. Sementara dalam beragama, lanjut dia, harus bersikap kooperatif atau bersinergi, saling mengisi, dan melengkapi.
“Tapi ini kok justru malah konfrontatif, menghardik ini-itu, mencaci, mencela, membangun permusuhan, bahkan menggunakan cara-cara kekerasan terhadap yang berbeda. Ini sesuatu yang justru mengingkari inti atau esensi pesan utama ajaran pokok agama itu sendiri,” tegasnya.
Kalau perilaku eksklusif, segregatif, dan konfrontatif dikedepankan maka pola beragama menjadi destruktif atau merusak, bukan justru konstruktif atau membangun. Padahal tujuan beragama untuk membangun kemaslahatan bersama.
“Ini satu fenomena yang menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan keberagamaan kita yang sebenarnya tidak hanya konteks Indonesia saja, tetapi juga dunia kita melihat adanya fenomena seperti ini,” terang Lukman.
Pemaksaan klaim kebenaran Tantangan kedua yang menjadikan penguatan moderasi beragama di Indonesia harus dilakukan adalah karena muncul fenomena pemaksaan kehendak klaim kebenaran dengan cara kekerasan.
Menurut LHS, setiap penganut agama tentu secara subjektif memiliki pemahaman bahwa ajaran sendirilah yang paling benar. Namun fenomena keberagamaan yang dimaksud Lukman ini merupakan klaim kebenaran yang dibarengi dengan upaya pemaksaan kehendak terhadap perbedaan.
“Muncul klaim kebenaran yang dibarengi dengan pemaksaan terhadap yang berbeda, bahkan dengan penggunaan kekerasan. Ini lagi-lagi mengingkari inti pokok ajaran agama itu sendiri, karena dalam agama tidak ada paksaan apalagi menoleransi penggunaan cara-cara kekerasan,” tutur penggagas awal Moderasi Beragama itu.
Ketiga, kata LHS, muncul fenomena paham, tindakan, atau pengamalan keagamaan yang secara langsung mengoyak dan merusak ikatan kebangsaan. Bahkan, meruntuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal dalam konteks keindonesiaan, berbangsa dan beragama adalah satu kesatuan.
“Ketika kita menjalankan kewajiban keagamaan, itu hakikatnya kita sedang menjalankan fungsi kita sebagai warga negara. Begitu juga sebaliknya, ketika kita menunaikan kewajiban kenegaraan sebagai bangsa Indonesia, itulah wujud dari pengamalan keagamaan kita,” katanya.
Perilaku keagamaan yang mengoyak ikatan kebangsaan itu seperti menganggap Pancasila sebagai thagut atau berhala yang harus diperangi, diruntuhkan, dan dihindari karena selalu mendatangkan hal-hal negatif.
Kemudian, atas nama agama mengharamkan hormat kepada bendera. Bahkan, menyanyikan Indonesia Raya dinilai sebagai wujud pengingkaran terhadap keesaan Tuhan atau mengusik ketauhidan.
Tujuan Moderasi Beragama Dari berbagai fenomena yang telah dipaparkan itu, Lukman lantas menjelaskan tujuan dilakukan moderasi beragama yakni sebagai ikhtiar atau upaya agar cara pandang, sikap, dan praktik keberagamaan umat beragama di Indonesia dapat menciptakan kehidupan bersama. Sebab agama hadir untuk menjunjung tinggi kemanusiaan.
Sementara manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, tidak bisa hidup sendiri. Agama lahir untuk tujuan mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan agar terpelihara dengan baik.
“Juga agar tingkat peradaban kemanusiaan sebagai makhluk sosial itu dari waktu ke waktu terus meningkat,” terangnya. Menurut Lukman, manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup bersama itu perlu dijaga cara pandang, sikap, dan praktik keberagamaannya.
Hal ini bertujuan agar benar-benar mampu mewujudkan dan mengimplementasikan inti pokok ajaran agama. “Inilah pokok-pokok dalam mengimplementasikan inti pokok ajaran agama. Dalam hal ini, melindungi harkat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan bersama. Karena dua hal ini menjadi pesan inti setiap agama,” tandasnya.
Untuk diketahui, pada kesempatan itu hadir juga Tim Ahli Kelompok Kerja (Pokja) Moderasi Beragama Kemenag RI sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid. (*)
Sumber:
*) https://nu.or.id/nasional/islam-agama-yang-moderat-sejak-awal-O4JCo
*) https://nu.or.id/nasional/lukman-hakim-saifuddin-sebut-tiga-penyebab-pentingnya-penguatan-moderasi-beragama-8Hsku