Oleh Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi
Ya, tepat 12 tahun yang lalu, tanggal 31 Desember 2009 sebelum pukul 10 pagi saya telah tiba di Pesantren Tebuireng Jombang, Jatim, mendampingi Alm Mbah KH Idris Marzuki; Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, bertakziah dan memberikan penghormatan terakhir kepada Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Suasana duka mengharu biru di sepanjang jalan menuju lokasi Pondok Pesantren Tebuireng saat itu. Pintu gerbang telah ditutup dan dijaga tentara untuk membatasi tamu. Beruntung, saya kenal dengan perwira yang bertugas di depan pintu adalah mantan Komandan Kodim 0809 Kediri; Letkol Inf Endi K yang dengan senang hati membukakan pintu untuk kami bergabung dengan para kyai berkumpul di serambi masjid.
Alunan dzikir terus menggema sepanjang waktu menunggu kedatangan jenazah almarhum KH Abdurrahman Wahid yang diterbangkan dari Jakarta ke Jombang pagi itu. Sejurus setelahnya,
jenazah pun tiba di komplek Pesantren Tebuireng Jombang yang telah sesak dengan ribuan peziarah dari berbagai penjuru kota.
Setelah dishalatkan di Masjid Ulul Albab, jenazah Gus Dur yang berada di dalam peti berselimut bendera Merah Putih itu kembali diusung dan dimasukkan ke mobil jenazah dan dibawa ke kompleks pemakaman yang jaraknya beberapa meter dari Ponpes Tebuireng.
Saya dan Kyai Idris sejak usai shalat Dzuhur sudah bergeser ke area makam dan beliau duduk di sebelah liang lahat. Sementara diluar, ribuan warga nahdliyin tampak berebut mengiringi mobil jenazah berangkat ke kompleks pemakaman.
Petugas kepolisian tampak kewalahan menghalau warga yang histeris sangat antusias ingin mendekati peti jenazah. Berjalan dengan pelan, mobil jenazah masuk ke Ponpes Tebuireng. Jenazah Gus Dur pun dishalatkan kembali di area pemakaman komplek Ponpes Tebuireng.
Sesaat kemudian, isak tangis terdengar cukup keras di sela-sela prosesi pemakaman Gus Dur sekitar pukul 13.35 WIB yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta para pejabat tinggi negara.
Suasana haru syahdu menyelimuti hati saya dan seluruh hadirin saat itu. Saya pun terpaksa mengajak Kyai Idris agak minggir menepi karena membeludaknya pentakziah berdesakan di lokasi pemakaman itu.
Begitu besar perhatian khusus Mbah Idris sejak awal sampai akhir prosesi pemakaman itu, meskipun saya tahu kedua beliau sudah tidak pernah bertemu lagi sejak Muktamar PKB Semarang 2005. Setelah serangkaian konflik internal dua kubu PKB Alwi Shihab dan Muhaimin Iskandar dan pelengseran Gus Ipul dari jabatan Sekjen PKB.
Pasca-Muktamar PKB Semarang, Mbah Idris bersama para para kyai sepuh Forum Langitan merasa kecewa dan kemudian menggagas berdirinya sebuah partai baru untuk menampung aspirasi masyarakat pesantren Nahdliyyin secara konsisten. Saya memahami betul kekecewaan para kyai dan kondisi yang berkembang saat itu karena berulang kali saya ikut mendampingi Kyai Idris dalam beberapa rapat kyai di Ploso, Langitan, Tegal Rejo dan Krapyak Yogyakarta, hingga kemudian lahirlah sebuah partai baru bernama PKNU yang berasaskan Islam Aswaja.
Saya melihat begitu tajam perbedaan ijtihad politik antara para kyai dan Gus Dur saat itu. Meskipun telah diupayakan mediasi oleh berbagai pihak, saya sendiri sempat dipanggil ke Jakarta oleh Pak As’ad Ali (Waka BIN saat itu), agar mengerem berdirinya partai baru, dengan berbagai pertimbangan dan analisa yang beliau utarakan, saya dan KH Attabik Ali diajak untuk berusaha mempertemukan tokoh dua kubu yang bersilang pendapat, namun usaha itu belum pernah berhasil dan para kyai tetap kekeuh/bersikeras menginginkan berdirinya partai baru yang khusus untuk warga NU dan berasaskan Islam Ahlussunah wal jama’ah.
Meskipun perbedaan pendapat itu kuat sedemikian rupa dan membuat para kyai sepuh menyatakan keluar dari PKB, namun sedikit pun saya tidak pernah mendengar caci maki dan hujatan. Mereka para ulama sangat bijak dan dewasa untuk berbeda dalam ijtihad politik, namun tetap saling menghargai. Para kyai sepuh ingin partai Islam berasaskan Islam, sementara Gus Dur lebih memilih partai nasionalis terbuka.
Perbedaan pendapat seperti ini di antara ulama adalah hal wajar dan sudah ada sejak zaman dahulu, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al-Maidah ayat 48, bahwa perbedaan adalah fitrah manusia dan di zaman Nabi Muhammad SAW juga sudah ada perbedaan pendapat diantara para sahabat.
Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Syaikh Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, seorang ulama mazhab Syafii, menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan rahmat bagi umat. Sebab mereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran.
Kala Rasulullah masih hidup, perbedaan pendapat memang sangat jarang terjadi. Karena Rasulullah adalah tokoh sentral, tempat rujukan segala permasalahan yang dialami para sahabat. Karena itu jika para sahabat berselisih pendapat, mereka segera berkonsultasi kepada Rasulullah kemudian beliau menjelaskan pendapat yang benar.
Sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Shahih Bukhari,
dahulu para sahabat pernah berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi: “Janganlah seseorang melakukan shalat asar kecuali di Bani Quraidhah.”
Sebagian sahabat tetap menjalankan shalat asar pada waktunya, meski belum sampai di Bani Quraidhah. Kelompok ini memaknai hadis di atas sebagai perintah untuk mempercepat perjalanan menuju Bani Quraidhah dan bukan sebagai keringanan melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan.
Sementara sebagian lain menolak dan baru menjalankan shalat ashar setelah sampai di Bani Quraidhah sesuai makna harfiah hadis.
Kemudian perbedaan dua pendapat ini disampaikan kepada Rasulullah dan beliau tidak menyalahkan atau mencaci salah satu dari kedua pendapat tersebut. Ini berarti Rasulullah membenarkan keduanya, meskipun berbeda penafsiran.
Saat ini, kedewasaan berpikir dan kejernihan sikap dalam berbeda pendapat seperti ini perlu menjadi keteladanan bagi kita semua. Bahwa sesama muslim adalah bersaudara dan tidak boleh ada kebencian terhadap siapapun karena perbedaan sikap pilihan politik atau beda pandangan, janganlah ummat Islam berlebihan dalam mengagumi atau membenci kelompok lain, karena kita telah disatukan Allah dalam iman.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ ، حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا ، أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ.
Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian.” [HR . Bukhari].
Ya, para kyai meneladani Rasulullah dan para sahabat dalam memaknai perbedaan pendapat untuk saling menghormati, bukan beda pendapat dipakai untuk saling menyalahkan, karena itu para kyai tidak pernah mencaci maki dan melontarkan hujatan karena perbedaan. Mereka sangat bijak dan dewasa .(*)
*) *Penulis adalah engasuh Pondok pesantren Annur 1 Bululawang Malang, Wakil Ketua PWNU Jatim , Wakil Sekjen MUI , Ketua Himasal Jatim 2015-2019*