Jakarta. Radar96.com.
PEMERINTAH berencana membentuk bullion bank. Hal itu terkait dengan PT Freeport Indonesia yang akan memproduksi emas 1 ton per minggu dari pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) yang sedang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) JIIPE, Gresik, Jawa Timur.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, produksi emas yang besar di dalam negeri bisa membuat Indonesia segera membentuk bullion bank atau bank yang bisa menerima transaksi emas, selain mata uang biasa.
“Sehingga kalau ditangkap dengan bullion bank ini tidak perlu dikirim ke Singapura, karena kebanyakan sekarang dikirim ke Singapura, dari Singapura masuk lagi ke Indonesia. Sehingga hampir seluruh industri perhiasan itu adalah cost-nya hanya tolling fee karena tentu kaitannya dengan insentif fiskal dengan PPN,” jelas Ketum Partai Golkar itu pada Jumat (22/07/22).
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan keberadaan bullion bank akan sangat menguntungkan. Selama ini, Indonesia sebagai negara dengan cadangan emas terbesar, justru mengandalkan bullion bank negara lain.
“Saya pribadi sangat mendukung jika Indonesia mempunyai bullion bank, karena sebagai negara dengan salah satu cadangan emas terbesar, tentu rugi jika kita gak punya bullion. Selama ini kita mengandalkan bullion bank di negara lain, makanya kita membuang-buang devisa yang selama ini digunakan impor emas karena Indonesia belum ada bullion bank,” terang Huda.
Menurutnya, konsumsi emas Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Oleh sebab itu, keberadaan bullion bank akan menghemat devisa negara.
“Konsumsi emas dalam negeri termasuk besar, nomor 8 dunia pada tahun 2020. Kebanyakan dikonsumsi dalam bentuk perhiasan emas. Makanya impor emasnya juga tinggi karena Indonesia gak punya bullion bank. Bullion bank terdekat dari Singapura. Adanya bullion bank di Indonesia bisa menghemat devisa,” ujarnya.
Kendati demikian, pemerintah patut memperhitungkan kesiapan perusahaan yang nantinya akan digunakan sebagai bullion bank. Menurut Huda, perusahaan itu harus dikelola secara baik dan profesional agar bisa setara dengan bullion bank yang telah ada.
“Namun demikian, harus dicek ulang mengenai kesiapan calon bullion bank Indonesia yaitu pegadaian. Salah satunya adalah pengelolaan pegadaian harus lebih profesional. Positifnya, pegadaian sudah memiliki laporan keuangan yang profit. Namun kalau bisa pegadaian ketika jadi bullion bank, sudah berbentuk perusahaan terbuka supaya pengelolaannya diawasi oleh publik. Sehingga pengelolaan bullion bank pegadaian nanti bisa setara dengan bullion bank lain seperti Goldman Sachs, BNP Paribas, dan lain-lain,” tegasnya.
Huda juga menekankan pentingnya kualitas emas yang disimpan dalam bullion bank Indonesia. Emas itu harus memenuhi standar kualitas internasional. Persoalan kualitas itu menjadi tanggung jawab bersama para pihak yang terlibat dalam proses produksi.
“Kemudian, emas yang disimpan dalam bullion bank nanti juga harus memiliki kualitas standar internasional. Dengan kualitas internasional, emas kita laku juga di perdagangan internasional dan kita tidak perlu lagi impor emas dari negara lain. Maka ini merupakan tugas industri penyokong emas bullion bank seperti pengolahan emas,” tegasnya.
Sementara itu, Analis DCFX Futures Lukman Leong menyatakan rencana pemerintah Indonesia untuk membuat bullion bank, belum tepat dilakukan. Ada beberapa faktor yang menjadi perhatian, mulai dari ongkos penyimpanan dan kuantitas emasnya.
“Saya kira negara berkembang (seperti Indonesia), fokus masih belum di sana, karena opportunity cost dan biaya menyimpan emas tidak murah dan sudah pasti tidak mendapatkan bunga,” kata Lukman Leong hari ini (22/07/22).
Dia menjelaskan, pembentukan bullion bank tidak lepas dari basis bisnis pegadaian (bagian dari Holding Ultramikro) di bidang gadai emas. Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meletakkan batu pertama pembangunan smelter PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Dari pabrik itu, ditargetkan ada produksi emas sebanyak satu ton per minggu. Untuk tahap awal, berkat investasi US$ 200 juta dolar, PTFI bisa memproduksi 35 ton emas.
“Nah itu, saya kira bullion bank tujuannya untuk apa dulu, kalau ada volume yang cukup dan kompetitif, kalau tidak juga tidak akan bisa berkembang,” ucap Lukman. Di seluruh dunia, tercatat ada 35 bullion bank, di antaranya BNP Paribas, Citibank, dan HSBC.
Kemendag sempat mengungkapkan keuntungan jika Indonesia punya bullion bank. Nantinya pelanggan luar negeri akan lebih suka membeli emas batangan dari bullion bank Indonesia karena harga yang kompetitif, tidak ada shipping cost untuk physical emas batangan dari luar negeri ke Indonesia dan tidak ada risiko perbedaan harga emas di pasaran. Adanya bullion bank di Indonesia akan menambah devisa negara, menggerakkan roda perekonomian, dan masyarakat bisa memperoleh bunga melalui emas yang mereka simpan di bullion bank.
Investor Ritel
Investor tradisional masih mengoleksi dengan emas fisik, sementara investor retail memilih berinvestasi emas digital. Emas dianggap sebagai safe haven, meski belakangan ini harganya sangat fluktuatif karena pengaruh eksternal.
“Saya kira emas memang terutama karena eksternal, kenaikan suku bunga dan penguatan US dollar menekan harga emas ya,” kata Analis DCFX Futures Lukman Leong hari ini (22/07/22).
Harga emas dalam negeri sangat terpengaruh dengan harga emas internasional, dimana berbagai faktor ekonomi global maupun geo politik mempengaruhi harga emas. Namun ditengah fluktuasi ini, ada kabar baik dari permintaan emas fisik oleh China dan India.
“Dari sisi kebanyakan pelaku yang membeli emas, dari non fisik banyak, masih terus menahan untuk tidak membeli sekarang, sedangkan dari sisi demand fisik agak meningkat terutama dari China dan India, yang sejak covid agak turun permintaan mereka karena faktor ekonomi,” jelas Lukman.
Adalah investor tradisional yang masih memiliki emas untuk mereka koleksi dan jadikan investasi. Dan investor modern, termasuk investor baru mulai menikmati berinvestasi emas digital. Hal ini sesuai dengan survey yang dilakukan tahun Lembaga Survei Jakpat, tahun lalu, menunjukkan sebanyak 46% responden di Indonesia memiliki investasi emas. Persentase itu menjadi yang tertinggi dibandingkan jenis investasi lainnya, seperti reksa dana (32%) dan deposito bank (30%).
“Investor tradisional seperti indonesia, kebanyakan, permintaan fisik masih cukup bagus. Digital dari purchase retailer, justru terjadi peningkatan dalam bentuk transaksi menyebabkan volatilitas. Banyak sekali yang sudah mulai mengakumulasi emas, mereka short term tidak long term,“ ujar Lukman.
Data terkini, harga emas dunia jatuh ke posisi US$1,693,90, terendah sejak Agustus 2021. Namun fluktuasi harga emas masih dianggap wajar mengingat perkembangan perekonomian dunia. Kabar baiknya, Bloomberg Intelligence memperkirakan harga emas berpeluang kembali bangkit hingga ke level US$2.000 pada pada akhir 2022. (*)