Radar96.com. Jepang berkomitmen menanam investasi di Indonesia senilai Rp 75,4 triliun (US$5,25 miliar) pada 2023. Komitmen investasi itu didapat saat Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan 10 CEO perusahaan Jepang.
Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, investasi yang masuk di Indonesia harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dalam negeri. Investasi dari Jepang diharapkan bisa membuka lapangan kerja sebesar-besarnya untuk masyarakat Indonesia. Dengan demikian, perekonomian rakyat akan terdongkrak.
“Investasi yang masuk dari Jepang itu harapannya adalah bisa menyerap tenaga kerja, supaya pendapatan masyarakat meningkat, dan mengurangi pengangguran,” ujarnya.
Menurut Ahmad, salah satu industri yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar adalah industri manufaktur. “Investasi yang masuk ini harus diarahkan ke sektor-sektor yang sifatnya industri manufaktur atau pengolahan. Atau sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja padat karya,” lanjutnya.
Selain itu, investasi juga mestinya bisa difokuskan pada hilirisasi industri. Sumber daya alam yang melimpah di Indonesia harus bisa dioptimalkan dalam penggunaan dan pengolahan. Hal itu patut dilakukan untuk menciptakan nilai tambah dan mengisi rantai produksi dari hulu ke hilir sebuah produk.
“Sekarang yang lagi menjadi perhatian adalah bagaimana bisa melakukan hilirisasi industri. Artinya dengan sumber daya alam yang kita miliki, itu semua bisa kita olah untuk menjadi barang yang bernilai tambah,” sambungnya.
Terkait energi baru terbarukan (EBT), investasi dari Jepang menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia, mengingat kemampuan pendanaan dan penguasaan teknologi Negeri Sakura itu.
“EBT kan kita harus ada teknologinya. Tentunya kita harapkan datang dari investasi. Salah satunya di sini adalah dari negara-negara yang memang sudah maju duluan dalam hal penciptaan EBT,” pungkasnya.
Kejar Realisasinya
Komitmen investasi yang dikantongi pemerintah Indonesia dari Jepang dan China harus dikejar realisisanya agar bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan di Indonesia. Terlebih dalam kondisi krisis, para investor tentu akan berhati-hati dalam menggelontorkan uang mereka. Komitmen jangan cuma jadi seremonial tanpa hasil.
“Tentunya mau mempunyai dampak yang memang signifikan, pertama komitmen harus berubah menjadi realisasi,” kata Executive Director, Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri pada Kamis (28/07/22).
Dalam konteks ekonomi, pemerintah sudah mendapatkan komitmen. Kini tinggal pelaku bisnisnya yang bergerak. “Bagaimana komitmen ini bisa difasilitasi pemerintah kedua negara sehingga ada bisnis ke bisnis yang riil,” imbuh Yose.
Sebelumnya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto berada di Jepang untuk bertemu sejumlah pengusaha kakap negeri itu. Dari situ Airlangga mengantongi komitmen investasi senilai US$ 5,2 miliar atau Rp 77,9 triliun dari kunjungannya ke Jepang.
Sementara dari China, pemerintah China menyampaikan komitmennya untuk menambah impor CPO sebanyak 1 juta ton dari Indonesia. Selain itu, China juga akan memprioritaskan impor produk pertanian dari Indonesia. Kedua pemimpin juga membahas kerja sama pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara.
Menurut data BKPM, kontribusi investasi terbesar PMA pada kuartal 2 2022 dari China (US$2,3 miliar) dan Jepang (US$0,9 miliar).
Di tengah ancaman krisis pangan, resesi, kenaikan inflasi, perlu bagi Indonesia untuk menjaga kestabilan perekonomian. Dari sisi investasi, pemerintah juga perlu memastikan bahwa Indonesia siap dan kompeten sebagai tujuan investasi.
“Investor akan menjalankan bisnis dengan hati hati, melihat tempat yang bisa memberikan kepastian yang lebih baik, artinya Indonesia harus mempersiapkan diri,” tandas Yose.
Presiden Jokowi di Jepang kembali menegaskan, bahwa Indonesia adalah negara tujuan investasi terbaik. “In short, kualitas baik, harga bersaing, itulah yang kita harapkan, dan saya yakin Indonesia masih merupakan salah satu tempat investasi terbaik,” kata Jokowi dalam pertemuan tersebut.
Sementara itu, menanggapi permintaan insentif pajak ekspor oleh pengusaha Jepang, Menko Airlangga menjawab permintaan tersebut.
“Sebenarnya dari sisi besaran pajak, Indonesia tidak kalah bersaing dengan negara lain, contohnya Thailand. Namun, karena ada besaran perbedaan pajak daerah, maka terkesan pajak di Indonesia lebih tinggi. Ini yang sedang kita kaji di pemerintah pusat,” jelas Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini. (OL-4)