Jakarta. Rada96.com.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan eksternal yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional. Mulai dari pandemi yang belum selesai, perang Rusia-Ukraina dan juga perlambatan ekonomi negara maju yaitu Amerika Serikat dan China.
“AS, China, Eropa adalah negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi, kalau mereka melemah, permintaan ekspor turun dan harga komoditas turun,” kata Sri Mulyani pada Senin (01/08/22) hari ini.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia Januari–Juni 2022 mencapai US$141,07 miliar atau naik 37,11 persen dibanding periode yang sama tahun 2021. Sementara ekspor nonmigas mencapai US$133,31 miliar atau naik 37,33 persen.
Namun menurut ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, perekonomian Indonesia masih ditopang konsumsi dalam negeri yang kuat. “Indonesia ekonominya cenderung tidak terlalu open. Sekitar 50% lebih ekonomi Indonesia ditopang konsumsi dalam negeri. Jadi dampaknya harusnya tidak signifikan. Ditambah permintaan batubara tetap kuat walau china melambat. Karena permintaan Eropa naik di tengah penurunan impor energi dari Rusia,” kata pria yang akrab disapa Oce ini.
Hal lain yang dikhawatirkan adalah laju inflasi dalam negeri. BPS melaporkan laju inflasi domestik bulan lalu adalah 0,64% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Lebih tinggi dibandingkan Juni 2022 yang sebesar 0,61%. Namun secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94% yoy, lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi inflasi, yaitu harga bahan pokok, transportasi dan konsumsi rumah tangga seperti listrik dan bahan bakar.
“Lebih lanjut kami masih memprediksikan inflasi akan terus naik secara substansi maupun mendasar pada semester kedua tahun 2022. Ini lebih disebabkan meningkatnya permintaan (demand-pull inflation) menyusul dari pelonggaran PPKM yang membuat masyarakat lebih leluasa bergerak dan kecepatan uang berputar,” kata Oce.
Meski trend inflasi diperkirakan akan terus naik, namun pihaknya optimis inflasi akan berada pada 4,60% di akhir tahun, sedikit di atas kisaran Bank Indonesia yaitu 3%+1.
Oce berpendapat, kondisi perekonomian Indonesia masih akan baik. Apalagi jika dibandingkan dengan awal pandemi “Saya rasa tidak akan separah ketika pandemi Covid-19. Karena walau melemah namun perbaikan demand tetap ada,” tandas Oce.
Suplai melimpah
Sementara itu, Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mengungkapkan, stok komoditas Indonesia memang dalam kondisi aman. Sektor agrikultur Indonesia mencatatkan kinerja cukup baik dengan kelimpahan suplai. Di sisi lain, input produksi banyak negara maju mengalami penurunan.
“Karena selama pemulihan Covid-19 dari sisi input produksi negara-negara besar tidak hanya Jepang itu mengalami kelangkaan. Sementara di Indonesia kita over supply,” ujarnya.
Padahal, mereka membutuhkan pasokan komoditas untuk pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi. Hal itu kemudian memunculkan wacana untuk ekspor dari Indonesia ke negara lain.
“Jadi sektor pertanian kita over supply, kemudian pupuk kita juga over supply. Bahkan ada keinginan untuk ekspor ke Afrika dan juga ke Amerika Latin,” tambahnya.
Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia itu menyarankan pemerintah tidak terlena dengan suplai melimpah dalam negeri. Menurutnya, pemerintah harus mewaspadai permintaan komoditas dalam negeri yang juga menunjukkan kenaikan.
“Cuma memang kalau dari sisi ekspor saja, kita juga harus hati-hati. Jangan sampai ini terlalu agresif kita lakukan. Nanti ketika kita butuhkan justru langka. Kita sekarang dari sisi demand sedang bertumbuh nanti jangan sampai demand optimal kita langka suplai input-nya,” tegasnya.
Faisal mengungkapkan hasil simulasi yang menunjukkan adanya kemungkinan kerugian yang dialami jika Indonesia terlalu agresif melakukn ekspor.
“Hasil simulasi menunjukkan bahwa kalau kita ekspor komoditas terlalu agresif, pada kuartal kedua tahun 2023, mulai langka dan akhirnya justru berpengaruh negatif buat perekonomian,” tandasnya. (*)