Jakarta, Radar96.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, perekonomian Indonesia tumbuh impresif di angka 5,3% persen pada tahun 2022 berkat konsumsi yang kuat serta ekspor dan investasi yang berjalan baik.
Selain ekonomi yang tumbuh positif di tengah tantangan global, Indonesia juga menjadi mesin ekonomi utama di Asia Tenggara yang melingkupi 40 persen populasi Asia Tenggara dan 35 persen dari PDB Asia Tenggara.
“Akses ke Indonesia berarti masuk di salah satu kawasan paling stabil secara politik dan ekonomi di dunia. Investor harus mempertimbangkan Indonesia sebagai pasar, basis produksi, dan pusat ekspor,” kata Menko Airlangga Hartarto secara virtual dalam pertemuan Round Table Discussion: Indonesia & Australia Trade and Investment Initiative yang diselenggarakan oleh BDO Indonesia.
Direktur IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies) Yusuf Wibisono mengatakan, agenda menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di masa resesi global ini, sebaiknya difokuskan pada tiga hal. Yaitu perekonomian daerah, insentif pada sektor informal yang menjadi penyelamat saat masa krisis dan menjaga inflasi pangan.
Investasi didorong untuk lebih ke daerah, mengembangkan sektor yang lesu karena pandemi maupun menopang perekonomian. Adapun tiga sektor yang terdampak pelemahan ekonomi dunia adalah komoditas, industri manufaktur dan pariwisata.
“Strategi terbaik yang dapat didorong untuk menjaga momentum pertumbuhan daerah di masa resesi global adalah dengan mengarahkan investasi publik yang optimal di sektor-sektor tersebut, dengan diiringi dukungan regulasi dan kelembagaan yang optimal,” kata Yusuf hari ini (03/03/23).
Kemudian, pemerintah juga diminta menjaga inflasi pangan. “Menjaga daya beli rakyat dengan mengintensifkan Bansos dan juga menjaga inflasi, terutama inflasi pangan. Fokus menekan inflasi pangan menjadi krusial karena harga pangan cenderung fluktuatif, sangat mudah melonjak ketika terjadi gangguan dalam produksi atau rantai pasok,” jelas Yusuf.
Mengintensifkan Bansos untuk menjaga daya beli rakyat menjadi penting, terutama untuk akses rakyat ke pangan.
Inflasi pangan yang tinggi akan memberi pukulan besar bagi daya beli masyarakat terutama kelas menengah-bawah dimana pangan merupakan komponen terbesar pengeluaran mereka. Jika inflasi pangan tidak bisa dikendalikan, angka kemiskinan dipastikan akan melonjak ke depan.
“Agenda menekan inflasi pangan yang terpenting adalah mengamankan produksi pangan domestik, terutama dengan menjamin ketersediaan dan stabilitas harga input pertanian di tingkat petani, terutama benih, pupuk dan pengairan,“ ujar Yusuf.
Perhatian utama harus diberikan kepada komoditas pangan utama seperti beras, kedelai, jagung, daging ayam, telur ayam, gula dan minyak goreng. “Mengamankan produksi domestik krusial karena surplus pangan kita tipis,” tandas Yusuf.
Lebih Berat
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyoroti kondisi ekonomi Indonesia pada 2023 akan cukup berat mengulang kesuksesan pada tahun sebelumnya.
Menurutnya, kondisi ekonomi Indonesia tahun lalu banyak didorong oleh harga komoditas yang melambung tinggi. Karena sektor konsumsi rumah tangga dan investasi belum mampu pulih seperti saat sebelum pandemi, meski cenderung menguat.
“Lalu kenapa bisa 5,3%? Itu banyak ditolong oleh kondisi eksternal. Harga komoditas yang membuat net surplus kita sangat besar, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi lebih dari 5%,” terangnya.
Menurutnya, Indonesia lebih harus bekerja keras untuk menyamai angka pertumbuhan ekonomi pada 2022. Hal itu disebabkan kondisi eksternal yang masih belum stabil. Beberapa negara besar mitra dagang Indonesia seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa masih belum sepenuhnya bangkit dari keterpurukan ekonomi. Hal itu sangat berpengaruh pada penurunan faktor permintaan (demand).
“Karena faktor penentunya adalah kondisi eksternal yang mana justru pada tahun mengalami tekanan dari sisi demand, terutama di negara-negara yang menjadi mitra utama, yang juga ekonomi terbesar yang mempengaruhi negara-negara emerging market seperti Indonesia, Amerika dan Uni Eropa contohnya yang mengalami penurunan demand. Artinya ekspor (Indonesia) berkurang,” tegasnya.
Kendati demikian, Indonesia masih bisa berharap pada harga komoditas di pasar global. Kendati sudah melewati masa puncak, harga komoditas diprediksi relatif lebih tinggi dibanding saat pra-pandemi.
“Itu membuat net ekspor kita tetap cukup besar pada tahun ini. Tetap surplus. Dan itu membantu pertumbuhan ekonomi pada 2023,” terusnya.(***)