Yogyakarta, Radar96.com/NUO – Realitas dunia digital saat ini yang mengarah kepada dominasi dari perihidup masyarakat, ada tiga hal yang relevan dengan operasionalisasi demokrasi di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni partisipasi masyarakat, lingkaran jaringan sosial, dan relevansi ideologi.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat mengisi Seminar Nasional dalam rangkaian Kongres ke IX Ikatan Sosiologi Indonesia di Hotel UGM Yogyakarta, Sabtu (26/8/2023).
Pertama, terkait dengan partisipasi. Menurut Gus Yahya, platform digital membuka partisipasi dengan tanpa batas. Semua orang berpartisipasi. Pengaruh dari partisipasi yang sangat terbuka itu tidak bisa diblokir, tidak terhindarkan terhadap dinamika politik, sehingga belum diketahui arahnya ke mana.
Misalnya, adanya fenomena aktor-aktor politik mengerahkan buzzer untuk bermacam-macam manuver dan agenda-agenda. Menurutnya, tidak hanya orang-orang yang dianggap kompeten tentang satu topik, tapi siapa saja bisa ikut berpartisipasi di dalam topik apa pun.
“Politisi yang jadi pemegang wewenang pemerintahan dengan orang-orang di jalanan enggak ada bedanya, partisipasinya. Dan, ini nanti akan sangat mengubah dinamika politik itu sendiri,” ujar kiai yang juga meminati kajian sosiologi itu.
Kedua, lingkaran jaringan sosial. Dalam hal ini, Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, itu melihat jika kemarin-kemarin dalam urusan politik, primadonanya adalah statistik, untuk bisa melihat secara lebih dalam terhadap dinamika yang terjadi, kini sudah mulai makin populer dengan apa yang disebut sebagai social network analysis (SNA).
“Bagaimana satu lingkaran jaringan-jaringan sosial ini bisa berpengaruh terhadap pilihan-pilihan, termasuk pilihan-pilihan politik,” jelasnya.
Ketiga, kemustahilan ideologi. Menurut Gus Yahya, ideologi menjadi semakin mustahil di tengah-tengah konteks realitas digital ini. Dunia menjadi tanpa batas sehingga masyarakat global mengarah kepada perwujudan satu peradaban global tunggal yang saling bercampur aduk dari semua elemen yang ada, sehingga ukurannya besar sekali.
“Nature dari ideologi itu selalu membawa asumsi untuk membentuk dunia ini seperti yang dirumuskan oleh ideologi itu sendiri. Jadi ideologi itu punya eskatologi, dan eskatologi itu pengandaian tentang dunia yang hendak diciptakan melalui ideologi itu sendiri,” ungkapnya.
Alumnus Pesantren Krapyak, Yogyakarta itu mencontohkan, bahwa Karl Marx ingin mewujudkan masyarakat proletar. Begitu juga ideologi Islam ingin mewujudkan khilafah universal, dan lain sebagainya.
“Di tengah-tengah masyarakat global yang begini luas, sudah tidak mungkin lagi orang berambisi membentuk dunia sesuai dengan keinginannya, karena begitu banyak elemen yang saling bercampur. Karena itu, akan semakin kurang relevan bicara tentang Pancasila sebagai ideologi negara, karena sudah terlalu banyak variabel yang ikut berperan,” katanya.
Maka, yang paling tepat, yang lebih tepat, Pancasila ini kita jadikan sebagai landasan moral, yang memotivasi dalam gerakan mengupayakan kemaslahatan-kemaslahatan bagi masyarakat, termasuk dalam politik.
“Dunia maya hari ini adalah juga dunia yang sedang dilanda perang. Secara fisik mungkin semua orang kelihatan baik-baik saja. Ada hiruk pikuk dunia maya, terutama media sosial yang penuh dengan pertengkaran, ujaran kebencian (hate speech), dan konten-konten palsu (hoax),” ujar Gus Yahya menerangkan dalam akun Facebook-nya (8/12).
Tapi, lanjut putra KH Cholil Bisri itu, korban-korban kejiwaan (mental casualties) berjatuhan tak terhitung jumlahnya. Mereka yang kurang pintar sejak lahir dan belum pernah punya pengalaman menjadi pintar, jelas merupakan kelompok yang paling rentan. Tapi bencana di kalangan berpendidikan tak kalah dahsyatnya. Kehilangan segala manfaat pendidikan, bahkan kehilangan kewarasan secara drastis.
“Apa boleh buat, ini perang. Makin maraknya pertengkaran, ujaran kebencian, dan berita palsu disoroti Davis Kushner (Penulis Jacked: The Outlaw of Grand Theft Auto serta Kontributor untuk Rolling Stone dan The New York Time) bahwa berita palsu (hoax) hanyalah gejala. Penyakit sesungguhnya adalah berkurangnya keinginan mencari bukti, mempertanyakan sesuatu, dan berpikir kritis,” katanya, mengutip Kushner (Jawa Pos/4/12/2016). (*/NUO)
Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/gus-yahya-ungkap-3-hal-penting-dalam-transformasi-digital-FMIuZ