Oleh KH Abdurrahman Navis *)
“Barang siapa melakukan hal baru dalam agama kami yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka pekara tersebut tertolak,” sabda nabi Saw.
Perkataan nabi yang lainnya adalah “Setiap bidah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka.” Berdasarkan dua sabda di atas sebagian orang (baca: kelompok) secara gebyah uyah mengklaim bahwa apapun yang tidak pernah dilakukan nabi pasti bidah. Benarkah setiap hal yang tidak ada pada zaman nabi adalah sesat, implikasinya nanti masuk ke dalam neraka?
Imam Syafi’i, pendiri madzab Syafi’iyyah, mempunyai jawaban yang tegas, “
Bidah diklasifikasikan menjadi dua ketegori: mahmudah (bid’ah yang terpuji) dan madzmumah (bid’ah yang jelek). Maka, setiap yang sesuai dengan hadits/sunnah itulah bid’ah mahmudah dan yang bertentangan dengan sunnah itulah bid’ah madzmumah.
Secara lebih terperinci, Asy-Syafi’i mendeteksi bidah yang sesat dengan gejala-gejala sbb: tidak berlandaskan Alquran, hadits, ijma’, dan atsar. Bila ciri-ciri tersebut terdapat dalam praktik ibadah umat, maka itulah bidah yang dlalalah (sesat). Namun, ketika tidak melanggar Alquran, hadits, ijma’, dan atsar, maka itu merupakan bidah yang mahmudah. Artinya, tidak sesat.
Menurut Abi Muhammad ibn Abdul Salam, secara lebih terperinci, bid’ah terbagi menjadi lima: wajib, haram, makruh, mustahab, dan mubah. Pembagian ini berdasarkan pada klasifiksi hukum syara yang tidak lepas dari kelima hukum di atas.
Contoh bid’ah yang wajib, misalnya, mengkodifikasikan Alquran dan ilmu-ilmu syariat, ketika dikhawatirkan ilmu-ilmu tersebut akan hilang sia-sia. Sedangkan mendakwahkan pada generasi setelah kita merupakan keniscayaan. Dan dibukukannya Alquran sudah memenuhi syarat tersebut. Yaitu, gugurnya para sahabat yang hafal Alquran sebagai syuhada. Untuk contoh yang lain bisa dilihat sendiri pada kitab I’anah Al Thalibin, juz I, hal 271, cetakan Darl Fikr.
Sekarang, mari kita ”preteli” hadits di atas dengan menggunakan ilmu balaghah. Dalam ilmu ini dijelaskan bahwa setiap kata benda (dicetak miring sebagai penekanan) pasti mempunyai sifat. Tidak ada kata benda yang tidak bersifat. Sifat itu pasti berlwanan. Misalnya, perempuan sifatnya cantik dan jelek.
Dan, kedua sifat yang berlawanan tidak mungkin berada dalam satu waktu dan benda secara bersamaan. Harus salah satunya. Kalau tidak cantik, ya jelek. Tidak bisa cantik dan jelek bersamaan. Satu benda tidak mungkin mempunyai sifat yang betentangan dalam satu waktu secara bersamaan. Tidak mungkin, kembali pada contoh wanita lagi, seorang wanita duduk dan berdiri secara bersamaan.
Sekarang mari kita mulai menganalisis bid’ah yang terdapat pada hadits tersebut. “Setiap bid’ah sesat dan setiap yang sesat masuk ke dalam neraka.”
Bid’ah adalah kata benda maka pasti mempunyai sifat. Tidak mungkin ia tidak punya sifat, demikian dalam ilmu balaghah. Sedangkan sifat itu bisa berupa sifat yang jelek, dan bisa pula sifat yang buruk.
Lalu kenapa sifat itu tidak disebutkan? Ilmu balaghah yang menjawabnya, membuang sifat dari benda yang disifati.
Maka, kalau kita tulis kata sifat itu akan ada dua kemungkinan. Pertama, sifat yang baik:
”Semua bidah yang baik itu sesat, dan semua yang sesat masuk neraka.”
Mungkinkah hal yang baik masuk neraka. Hal ini sangat tidak mungkin. Maka, yang bisa dipastikan kemungkinan kedua: “Semua bidah yang jelek itu sesat, maka yang sesat masuk neraka.”
Pembuangan kata sifat terjadi juga pada Alquran (Al Kahfi: 79). Dimana pada ayat itu tidak disebutkan kapal yang dirampas raja, apakah yang jelek atau yang masih bagus? Logikanya, raja tidak akan merampas kapal yang sudah jelek. Bahasa Jawa-nya ueelek. Sebaliknya, pasti raja merampas kapal yang bagus. Maka, sama seperti kata bid’ah (pada: kata sifat) pada Al Kahfi: 79 tersebut juga tidak disebutkan kata sifatnya.
Jadi, menurut hemat penulis jangan mudah menyesatkan golongan lain apalagi mengklaim bahwa tiket masuk surga hanya haknya sedangkan sekte lain tidak lebih dari kayu bakar neraka. Sebab, memasukkan ke surga atau neraka itu adalah hak prerogatife Tuhan. Ada lelaki yang masuk surga hanya karena memberikan minum pada anjing yang kehausan.
Sumber: Bentara Budaya & Agama.
Referensi: Bakar, Abu. I’anah Al Thalibin. Juz I.
Baerut: Darl Fikr. Al Akhdhari, Al Syekh Abdirahman ibn Muhammad. Taqrirat Al Jawharil Maknun.
Ponpes Lirboyo, Kediri: Hidayatul Mubtadi-ien. Huda, Nuril A.N. K.H., Drs. 2007. dkk.
Ahlusunnah Wal Jama’ah (aswaja): Menjawab Persoalan Tradisi dan Kekinian.
Cetakan-2. Jakarta: Gaung Press Persada.
*) Penulis KH Abdurrahman Navis adalah Penasehat Aswaja Centre PWNU Jatim
*) Sumber: https://aswajanucenterjatim.or.id/bidah-sesat-surga-dan-neraka.html