Oleh Mohammad Subhan*
Sekitar tahun 2012, kakak ipar pulang dr menunaikan ibadah haji. Dia berbisik pada istri saya: “Dik, naik haji itu enak di usia muda. Bisa maksimal ibadahnya.” Lalu istri menceritakannya pada saya dan saya meresponnya biasa saja, bahkan cenderung mencibir. “Ya mesti saja, anak kecil juga tahu. Sejak dulu semua juga tahu. Masalahnya, apa situ mau mbayari?” pikir saya kala itu.
Saya punya tiga alasan untuk itu.
Pertama, memang kami belum punya uang Rp 50 juta untuk daftar dua porsi haji berdua dengang istri. Uang sejumlah itu cukup besar bagi keluarga kami yang belum sepenuhnya setabil dalam ekonomi.
Kedua, antrian haji masih panjang. Kami menunggu habisnya antrian saja, agar tdk
lama-lama menunggu. Toh di mana-mana antrian itu ada habisnya. Masak antrian haji tdk ada habisnya?
Lalu muncul alasan ketiga: kalau sudah dipanggil oleh Tuhan alias sudah ditakdirkan untuk berangkat, pastilah berangkat, tidak akan ada sulitnya.
Setahun kemudian, alhamdulillah, saya ditakdir untuk berangkat umroh sendirian. Gratis jatah dari kantor atas kerja sama dengan sebuah travel perjalanan haji dan umroh. Lima tahun kemudian, alhamdulillh lagi, istri ditakdir berangkat umroh juga sendirian. Setahun kemudian (2019) kami daftar haji untuk dua orang. Dapat antrian tahun 2044. Saya hitung-hitung, saat itu umur saya sudah 74 tahun. Saya bayangkan, bagaimana rasanya naik haji di usia tua seperti itu?
Tidak hanya itu, juga berkelebat bisikan dalam pikiran: itupun kalau masih hidup!
Di sini penyesalan mulai terasa. Ternyata antrian haji itu bukan semakin habis, tapi semakin panjang. Semakin lama daftar maka akan semakin lama pula berangkatnya. Tidak usah beda tahun, beda bulan saja sudah akan terpaut beda jauh tahun berangkatnya.
Meski mulai ada penyesalan, tapi ada juga alasan penghiburnya: ya karena kami memang tidak punya uang sebelumnya.
Tanggal 24 Oktober lalu kami, saya dan istri, tiba di Madinah untuk ibadah umroh. Pada masa-masa awal sempat merasa tersiksa. Sebab segala sesuatunya jauh, jalan kaki, itupun masih ditambah dengan antri.
Lalu terbayang kalimat kakak ipar dulu: “Haji itu enak di usia muda.” Kali ini saya sama sekali tidak membantah. Saya senyum-senyum sendiri mengingat kalimat itu.
Batin saya langsung bilang: “Ternyata tidak hanya haji, umroh pun enak di usia muda.” He he he.
Tadi malam kami tiba di rumah. Tadi pagi dikunjungi dua teman ngopi, teman seusia, teman sejak kecil yang sering kali memiliki pemikiran yang sama. Dalam urusan ekonomi saya kalah jauh dari keduanya. Keduanya sdh daftar haji jauh lebih dulu daripada saya. Tapi keduanya belum pernah ke Tanah Suci.
Lalu saya ceritani kisah “Ke Tanah Suci itu Enak di Usia Muda”.
Bukan apa-apa. Di sana itu banyak butuh jalan kaki, menahan kencing karena tempat toiletnya jauh dan selalu antri, makan makanan yg bisa jadi tidak sesuai selera, berdesakan, antri panjang, bertemu dengan orang-orang yang berbeda karakter dan budaya, dst. Kalau masih muda semua itu dianggap biasa. Tapi kalau sdh tua tentu akan menjadi penderitaan tersendiri.
Keduanya tertarik cerita saya. Malah salah satunya bilang: “Ya sudah, insyaallah tahun depan aku berangkat. Istri juga shdah sering ngajak tapi tidak saya hiraukan.” Alhamdulillah, rupanya masukan saya diterima.
Lalu kami berdiskusi tentang perjalanan hidup di dunia. Termasuk tentang naik haji ke Tanah Suci.
Oleh karena haji itu rukun Islam yg kelima dan ada syarat hanya bagi yang mampu, lalu target naik haji atau ke Tanah Suci juga ditempatkan di posisi paling akhir. Bahkan terbayang kalau semua kebutuhan hidup sudah tercukupi, sudah tidak ada lagi beban hidup, barulah memikirkan naik haji.
Perjalanan hidup itu adalah: setelah menikah biasanya ingin membangun rumah, lalu menyekolahkan anak, lalu membeli kendaraan, investasi, dst.
Nah, di titik investasi ini biasanya arah perjalanan akan berputar-putar atau bahkan kembali ke titik nol lagi.
Saat punya uang cukup, biasanya lupa untuk daftar haji atau umroh, tapi asyik dengan membeli mobil, membeli tanah, membangun kos-kosan, rumah kontrakan, menaikkan status keluarga, dst.
Lalu apa yang terjadi? Akhirnya kembali lagi ke selera awal: naik haji atau umroh saat sudah tua saja, he he he.
Takutnya apa kalau kembali ke selera awal?
Kalau umur sudah tua, badan sudah rapuh, penyakit sudah berdatangan, sudah istiqamah duduk di atas kursi roda, beser (tidak kuat menahan kencing), stroke, dst, baru ke Tanah Suci, tentu penyesalan yang akan dirasakan. Sebab tidak bisa menikmati perjalanan dan ibadah yang butuh banyak tenaga bersama orang dari seluruh dunia, di negeri orang.
*Wakil Pemimpin Redaksi Radar96.com.