Jakarta, Radar96.com – Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA) Herry Mendrofa menilai masa kampanye akan diwarnai dengan penegasan Capres-Cawapres terhadap pembangunan identitas politik melalui konsentrasi isu.
“Isu-isu ini kan menjadi gimik politik, sekaligus alat mereka untuk menaikkan elektabilitas dan branding mereka yang kemudian menjadi identitas politik,” terangnya di Jakarta, Rabu (29/11/23).
“Kalau menurut saya ini style masing-masing Capres-Cawapres, isu-isu yang mereka bangun dan bawa ya sesuai dengan tema,” imbuhnya.
Herry melihat yang terpenting dalam narasi kampanye program setiap Paslon adalah substansi. “Yang terpenting adalah substansinya. Mas Ganjar berbicara tentang desa, tentunya itu akan kontinuitas apa yang dibangun oleh Presiden Jokowi di desa, dana desa, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Konsentrasi Ganjar pada isu desa dinilai menjadi upaya untuk memunculkan citra dan identitas sebagai Capres pro desa. “Ganjar kalau konsen ke desa ya itu akan terus digarap. Saya kira itu wajar-wajar saja seandainya ditafsirkan sebagai gimik politik sekaligus identitas presiden itu ke depan,” tegasnya.
Herry menambahkan, Ganjar-Mahfud MD juga membawa semangat untuk melanjutkan perkara yang baik dari pemerintahan saat ini. “Dan itu kontinuitas. Ini prinsip bagaimana apa yang terbaik dari Presiden Jokowi itu dilanjutkan oleh Ganjar-Mahfud MD,” sambungnya.
Herry menuturkan, masa kampanye ini akan menjadi peneguhan identitas politik dari setiap Paslon yang selama ini masih belum terbaca oleh publik. “Selama ini kita mungkin bisa lihat belum tampak Capres atau Cawapres arahnya ke mana, konsen ke mana, spesialisasi di mana,” ujarnya.
Minim Dampak
Sementara itu, pakar otonomi daerah Prof Dr Djohermansyah Djohan mengatakan, butuh komitmen besar untuk membangun Indonesia dari desa. Lebih dari sekadar jargon-jargon politik.
“Jadi itu kalau kita lihat empirik, praktik yang terjadi di masa pemerintah Presiden Jokowi, dua periode, ternyata hasilnya itu jauh panggang dari api,” kata Prof Djo ketika dihubungi hari ini (29/11/23).
Dalam catatannya, program Dana Desa senilai Rp 1 miliar per desa oleh Presiden Jokowi, sejak 2015 sampai dengan Maret 2021, hanya bisa menurunkan tingkat kemiskinan sebesar 1,11%.
“Kita memberi bantuan dana saja tidak cukup dalam pembangunan, tidak. Harus diberi kapasitas penguatan tata kelola pemerintah dan pembangunan desa,“ imbuhnya.
Seberapapun banyaknya Dana Desa, jika tidak dikelola dengan baik, pasti akan menguap, dan tidak memberi manfaat bagi warga desa itu sendiri.
“Tata kelola dan pembangunan harus kita siapkan. Jadi uang itu dikelola dengan cara pengelolaan keuangan yang akuntabel, transparan, juga dikelola dengan penuh manfaat bagi masyarakat desa, bukan bagi elite desa, kepala desa dan perangkatnya,“ tegasnya.
Selain itu, ia mengusulkan agar desa bisa kembali pada kearifan lokal masing-masing, menggunakan lagi sistem musyawarah mufakat, dan memenuhi kebutuhannya tanpa arahan berlebih dari pusat.
“Dana desa dikucurkan pusat 1 M sudah ditandai untuk ini-itu. Padahal kebutuhan di desa itu tidak (begitu), dan tidak boleh pakai uang, kalau bukan untuk digariskan pemerintah pusat. Misalnya, mereka butuh pupuk atau jembatan rusak supaya anak sekolah tidak gelantungan, kan desa yang tahu. Itu harus kita betulkan, jangan seragam. Berikan ikhlas, agar desa sesuaikan dengan kebutuhan desanya.” beber Prof Djo.
Sebelumnya, calon presiden Ganjar Pranowo membuka rangkaian kampanye politik di sebuah desa di Merauke. Dia ingin menyampaikan pesan kuat tentang komitmen Ganjar-Mahfud untuk mendahulukan desa dalam pembangunan.
Dia menerima sejumlah masukan dan kritik membangun, bagaimana agar program-program di desa nanti lebih tepat sasaran dan bermanfaat.
“Kita akan membangun dari desa. Kalau Indonesia mau dibangun jadi lebih baik, desa-desanya harus menjadi lebih baik terlebih dahulu,” kata Ganjar dalam kampanyenya. (*)