Oleh Ahmad Zainul Hamdi
Tidak ada ilmu yang paling dipuji sekaligus dimaki saat pemilu selain ilmu statistik.
Siapa politikus yang tak memanfaatkan ilmu ini ketika mencalonkan diri dalam posisi apa pun yang mensyaratkan dukungan suara pemilih? Mungkin cuma dua: mereka yang sangat yakin menang atau sangat yakin kalah, dan mereka yang mencalonkan diri sekadar untuk senang-senang.
Begitu juga dengan parpol, ilmu ini digunakan untuk mengetahui posisinya dalam perebutan kursi kekuasaan. Melalui ilmu statistik, parpol merancang berbagai strategi, mulai dari pemenangan, kemungkinan koalisi, hingga berbagai strategi jalan keluar jika terlempar dari pusat kekuasaan.
Menyalahkan ilmu statistik
Namun, ilmu statistik kini juga sedang dimaki-maki, terutama oleh mereka yang posisinya berbeda dengan hasil hitung statistik. Lihatlah di jagat media hingga perbincangan di warung kopi. Mereka yang merasa ”tidak diuntungkan” hasil survei menyerang ilmu statistik seakan ilmu ini perwujudan kekuatan setan yang akan menghancurkan segala tatanan.
Yang bersuara tak tanggung-tanggung. Mulai dari politikus yang sejak awal memanfaatkan ilmu ini hingga para pendukung yang sama sekali tak mengerti bahwa tokoh yang mereka dukung selama ini memanfaatkan ilmu statistik melalui lembaga survei yang dipilihnya. Sebegitu emosinya, mereka menuntut agar semua lembaga survei ditutup, dilarang melakukan survei, atau memublikasikan hasilnya.
Dulu, di era Orde Baru, ketika pemilu berjalan sangat tertutup dan tak ada pihak di luar pemerintah yang memiliki akses terhadap proses penghitungan suara, kehadiran lembaga survei sangat dirindukan para aktivis demokrasi. Lembaga survei yang menyajikan data yang dihimpun dan dianalisis berdasarkan ilmu statistik adalah bagian dari demokrasi.
Bagaimanapun, proses penghitungan suara nasional butuh waktu yang lebih lama dan proses berjenjang. Setiap proses ini rentan kecurangan. Data yang disajikan lembaga survei akan jadi pembanding sekaligus kontrol dari berbagai kemungkinan kecurangan ini
Namun, memang tak mudah menerima kebenaran jika itu menyakitkan.
Bagi mereka yang capaian posisi politiknya sesuai dengan data yang disajikan, ilmu statistik disanjung sebagai ilmu sejati. Tapi, bagi mereka yang ekspektasi dan capaian politiknya tak sesuai dengan ilmu ini, ilmu statistik didelegitimasi sebagai ilmu palsu.
Apakah mereka dua kelompok yang berbeda? Tidak selalu. Tak jarang kelompok itu dihuni orang-orang yang sama. Bedanya, kelompok itu memuji statistik saat menang, tapi saat kalah, mereka mencacinya.
Tulisan ini sama sekali tak hendak mengatakan bahwa ilmu statistik menyandang keagungan setara wahyu Tuhan yang memiliki kebenaran mutlak. Setiap ilmu tak pernah bisa keluar dari kutukannya sekadar pembawa kebenaran relatif.
Kesimpulan yang dihasilkan melalui ilmu statistik juga bisa salah, baik disebabkan oleh kesalahan metodologi maupun ketidaktepatan analisis. Namun, kesalahan sebuah ilmu tak menggugurkan statusnya sebagai ilmu yang memberi garansi kebenaran yang lebih bisa dipercaya daripada kata-kata yang keluar dari lisan orang yang tak menguasai bidang ilmu tersebut. Seorang ilmuwan bisa melakukan kesalahan pada satu kasus, tetapi bukan berarti bahwa semua analisis ilmiah di bidangnya berstatus salah.
Tulisan ini juga tak naif untuk menerima kemungkinan ada lembaga survei yang bekerja secara partisan dengan menghasilkan data yang mendukung sebuah hasil yang sejak awal sudah disiapkan. Itu sebabnya dibutuhkan asosiasi lembaga survei, dengan para pakar di bidangnya bisa menjaga kredibilitas dan keandalan sebuah hasil survei. Juga, diperlukan akreditasi dan berbagai aturan main yang disepakati sehingga tidak setiap pihak bisa mengaku sebagai lembaga survei dan mengeluarkan datanya.
Dengan cara ini, publik bisa ikut mengontrol kejujuran sebuah lembaga survei. Misalnya, jika ada puluhan lembaga survei yang memublikasikan datanya dalam kasus yang sama dengan hasil yang kurang lebih sama. Kemudian, ada satu-dua yang memiliki data berbeda dengan tingkat perbedaan yang signifikan. Para pakar di bidangnya akan mempertanyakan data anomali tersebut. Dengan cara inilah publik bisa mendapatkan edukasi yang tepat sehingga turut mengontrol dengan sehat.
Namun, kini, hampir setiap mulut membuat beragam narasi tentang data yang dihasilkan oleh ilmu statistik. Situasi ini yang digambarkan Tom Nichols dengan istilah the death of expertise (matinya kepakaran).
Ini sebuah situasi di mana atas nama otonomi individu dan kebebasan, setiap orang, bahkan mereka yang tak mengerti apa pun, merasa berhak menolak, bahkan mengejek, pendapat seorang pakar. Situasi ini ada kaitannya dengan internet dan kecanggihan teknologi informasi, dengan setiap orang memiliki akses terhadap informasi apa saja, tetapi tidak mau belajar apa pun.
Matinya demokrasi
Di era matinya kepakaran, setiap opini dianggap memiliki nilai yang sama hanya karena si A dan si B sama-sama memiliki hak untuk berpendapat. Kredo di era matinya kepakaran adalah ”tidak ada suatu pendapat yang disebut sebagai benar karena semua pendapat harus dianggap sebagai benar. Karena semuanya bisa diketahui, maka setiap opini atas suatu masalah, tak peduli dikeluarkan oleh ahlinya atau tidak, harus dianggap memiliki nilai yang sama”.
Di era matinya kepakaran, kita kehilangan apa yang disebut Nichols sebagai metakognisi. Metakognisi adalah kemampuan untuk mengetahui bahwa kita tidak tahu tentang sesuatu sehingga harus diam. Metakognisi juga merujuk pada kemampuan melihat kembali apa yang sedang kita lakukan, dan menyadari bahwa yang kita lakukan adalah salah.
Antiintelektualisme yang menandai era matinya kepakaran bukanlah cara yang baik dalam membangun demokrasi. Di buku How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mengilustrasikan bagaimana demokrasi bisa mati.
Kematangan demokrasi harus dibangun di atas kedewasaan berpikir, bukan luapan emosi yang tak terkendali, baik karena kegirangan maupun kekecewaan. Demokrasi yang dibangun di atas landasan emosi kekecewaan atau kegirangan sambil merawat kebodohan publik dan mendelegitimasi institusi pelindung demokrasi akan berujung pada matinya demokrasi itu sendiri. (*)
*) Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Sunan Ampel
*) Sumber Tulisan dari kiriman penulis, tapi penulis juga menyertakan pemuatan tulisan di:
https://www.kompas.id/baca/opini/2024/02/22/statistik-dan-matinya-kepakaran