Mahasiswa dan mahasiswi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tampaknya rutin mengunjungi Gedung Museum NU, Jalan gayungsari 24, Surabaya, bahkan hampir setiap dalam dua bulan terakhir yakni 5 Oktober dan 11 November 2024. Intinya, mereka ingin mengetahui sejarah berdirinya NU.
“Kami sengaja datang ke Museum NU untuk melihat sejarah NU, terutama sejarah dibangunnya Gedung Museum NU itu sendiri,” kata seorang mahasiswi Unair kepada petugas keamanan Museum NU, Dwi, di museum itu, Senin (11/11/24).
Mereka berenam, empat mahasiswi, dua mahasiswa. Masing-masing Aisyah Rizqi, Safira, Alivah Maulidya, Desla Dwi Reyvaldi, Khonsa Nur Aini, Raya Restu Abi dan Sabila Khairin Nisa. Kuliahnya di berbagai fakultas.
“Penggagasnya almaghfrulah Gus Dur (KH Abdurahman Wahid), pembangunan dan isinya oleh Cak Anam (almarhum Drs H Choirul Anam), peresmiannya oleh Rais Aam PBNU almaghfrulah Mbah Sahal (KH M Sahal Mahfudz). Ketiganya sudah kapundut/wafat,” jelas Mokhammad Kaiyis, pengelola Museum NU kepada 6 mahasiswa.
Lalu, apa yang urgen dari keberadaan Museum NU ini? Demikian pertanyaan yang lain. “Setidaknya, dengan adanya Museum NU, generasi penerus bisa mengikuti jejak perjuangan para kiai. Mereka tahu, mengapa NU harus berdiri? Bagaimana fikih NU tentang Kebangsaan? Bagaimana NU menyikapi perbedaan atau keberagaman di negeri ini? Semua jejak itu ada di Museum NU,” tegas Kaiyis.
Mahasiswa yang rata-rata masih semester awal ini, sempat tertegun ketika dijelaskan tentang peran penting Kiai NU dalam pertempuran 10 November 1045 yang, sekarang dikenal dengan Hari Pahlawan.
Dulu, sejarah perjuangan NU di sekolah-sekolah, selalu dipinggirkan, sekarang zaman keterbukaan, fakta-fakta sejarah tidak bisa ditutupi lagi. Termasuk peran penting Kiai NU dalam menerbitkan fatwa Resolusi Jihad, membakar semangat tempur arek-arek Suroboyo melawan kolonial.
“Itu terkait kebangsaan, kemerdekaan. Yang terkait dengan keagamaan, tahun 1926, menjelang NU lahir, sudah mengirimkan delegasi khusus ke Arab Saudi, namanya Komite Hijaz. Di lantai 2 Anda bisa membaca jawaban Raja Saud tentang tuntunan Komite Hijaz. Perlu tahu, orang Islam di dunia ini, bisa berhaji di Arab Saudi dengan bebas, di antaranya karena jasa kiai-kiai NU,” tegas Kaiyis.
Sebelumnya (5/10), 76 mahasiswa FISIP UNAIR juga berkunjung mencermati geopolitik dan geostrategi kiai-kiai NU, baik secara global maupun domestic.
“Bagi NU, Surabaya adalah kota ‘istimewa’. Bahkan Kantor PBNU Tempoe Doeloe berada di Surabaya, tepatnya kawasan Bubutan yang kini menjadi Kantor PCNU Surabaya. Plakat Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) terpampang di atas bangunan tua tersebut. Hoofdbestuur, artinya kantor pusat,” kata Kaiyis.
Sebanyak 76 mahasiswa itu dari jurusan Hubungan Internasional FISIP UNAIR itu, yang mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) bertajuk ‘GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI, pengaruh agama terhadap geopolitik Indonesia’. Mereka dikawal dosen Agastya Wardhana SHub Int, MHum Int.
Mokhammad Kaiyis, pengelola Museum NU, menyambut kedatangan mereka. “Terus terang, kami agak kaget. Selama ini baru kali ini kedatangan mahasiswa Unair. Mungkin ini pertama kali. Bisanya mahasiswa UIN (Universitas Islam Negeri) Surabaya dan mahasiswa Kristen PETRA. Selamat datang, marhaban, ahlan wa sahlan bihudurikum,” demikian sambutan Kaiyis.
Agastya Wardhana dalam sambutannya menegaskan, bahwa, mahasiswa Unair jurusan Hubungan Internasional (FISIP) ini memang perlu digiring ke Museum NU, karena untuk memperoleh gambaran jelas tentang sejarah NU, termasuk artefaknya yang ada di Museum NU. Selain NU, mahasiswa juga akan bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah.
“Kami punya kerjasama dengan Ukrainian Catholic University (UCU), dan kali ini mahasiswa kami akan mendapat penjelasan sejauh mana pengaruh agama terhadap geopolitik Indonesia? NU adalah komunitas muslim Indonesia yang moderat. Anggota Ormas NU terbesar di Indonesia,” demikian Mas Agas panggilan akrab mahasiswa.
Kebetulan, sejumlah mahasiswa dari Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora IAIN Kiai Haji Achmad Siddiq atau UIN KHAS Jember Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di Museum Nahdlatul Ulama (NU) ikut menjadi narasumber. “Terimakasih, ini juga mahasiswa yang bergelut dengan sejarah, termasuk sejarah Islam masuk Indonesia,” tegas Kaiyis.
Anggota Dewan Kehormatan PWI Jatim ini, kemudian menjelaskan, bahwa komitmen kebangsaan NU tidak diragukan lagi. Menjelang NU lahir, kiai-kiai NU sudah berjuang untuk mengamalkan moderasi beragama, seperti pembentukan Komite Hijaz ke Kerajaan Arab Saudi.
“Saat itu, Arab dalam kekuasaan Raja Saud. Para masyayikh NU mengirim delegasi (Komite Hijaz) agar tanah suci itu tidak hanya dikuasai Wahabi saja. Akhirnya, Raja Saud menerima usulan kiai-kiai NU, sampai sekarang haromain (Makkah-Madinah) 4 mazhab boleh berkembang,” tegas Pemred Duta Masyarakat ini.
Yang menarik, ketika dibuka sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa mempertanyakan tentang peran NU dalam menyikapi radikalisme, termasuk keberadaan LDII, HTI, FPI yang sering menuding kelompok lain sesat. Atau bahkan mereka ini sibuk mengerek system khilafah, emoh terhadap Pancasila sebagai dasar negara. “Mana keseriusan NU dalam menghadapi masalah ini?” tanyanya.
Kaiyis, mantan wartawan Majalah Editor Jakarta ini, menjelaskan, bahwa, program deradikalisasi sudah menjadi domain pemerintah. “Memang, kesannya menjadi proyek. Deradikalisasi terasa tidak menyentuh akar masalah. Mengapa? Karena radikalisme itu dibangun atas nama ilmu, maka, untuk menjinakkan mereka, mestinya juga dengan ilmu. Kita punya banyak Ma’had Aly, alumninya jago-jago kalau hanya untuk menjinakkan hujjah para radikalis. Tetapi ini tidak pernah dimanfaatkan. Nanti kita buat semacam rekomendasi agar pemerintah menyentuh akar masalahnya,” pungkas Kaiyis.
Museum NU menyimpan akta pendirian NU pada 31 Januari 1926. Ada juga dampar (meja kecil) untuk tempat menandatangani akta pendirian NU itu, bahkan museum juga menyimpan dokumen surat-surat Koperasi NU “Syirkatul Amaliah” tahun 1918 dan juga surat balasan Raja Hijaz terhadap surat Komite Hijaz yang sama-sama menjadi embrio berdirinya NU.
Selain itu, ada pula foto-foto Sekolah Nahdlatul Wathon di Jalan Kawatan, Surabaya, dan Gedung Tashwirul Afkar yang berdiri tahun 1916 yang juga merupakan embrio berdirinya NU.
Di museum juga tersimpan surat pengangkatan KH Hasyim Asyari (Rais Akbar Syuriah PBNU) dan KH Wahid Hasyim sebagai pahlawan nasional. Ada pula foto KH Hasyim Asy
ari saat ditangkap Jepang pada tahun 1944 dan akhirnya dipenjara tiga bulan di Penjara Mojokerto dan tiga bulan di Penjara Koblen Surabaya, karena tidak mau tunduk 90 derajat ke arah matahari.
Selain itu, paspor haji tahun 1904 milik tokoh pengusul nama NU, yakni KH Mas Alwi Abdul Aziz asal Ampel Sawahan, Surabaya, juga ada. Museum NU juga menyimpan fotokopi dari naskah Resolusi Jihad tertanggal 22 Oktober 1945 yang memotivasi arek-arek Surabaya dalam Pertempuran 10 November 1945.
Tidak hanya itu, fotokopi dari naskah Resolusi Mengutuk Gestapu 5 Oktober 1965, naskah stensilan tentang Khittah Nahdliyyah 1984 stensilan, dan Majalah BERITA NO (Nahdlatoel Oelama) juga tersimpan.
Lambang NU pertama buatan KH Ridlwan Abdullah serta surban dan jas KH Wahab Hasbullah saat di Kantor PBNU I di Bubutan, Surabaya, juga dapat dilihat di Museum NU.
Selain itu, tasbih, topi, surban, dan jubah hitam milik KH Achijat Chalimy (pengusul Khittah NU 1926) dan seragam Laskar Hizbullah milik KH Hasyim Latief juga ada.
Ada juga model seragam Fatayat NU tahun 1950, foto pengurus IPNU pusat periode pertama, dan foto kolumnis NU H Mahbub Djunaidi (1933-1995).
Museum NU yang diresmikan almarhum mantan Ketua Umum PBNH KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 24 November 2004 itu dibuka untuk umum selama seminggu sejak pukul 09.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. (*/duta.co.id)