Oleh Nadirsyah Hosen *)
Rupanya masih banyak yang ‘bingung’ dengan keputusan pemerintah Indonesia dalam menentukan 10 Dzulhijjah atau Idul Adha. Siapa tahu catatan di bawah ini bisa sedikit membantu menjelaskan.
Pertama, Kenapa tidak ikut keputusan pemerintah Arab Saudi?
Di Indonesia, meskipun NU dan Muhammadiyah berbeda dalam hisab-rukyah, namun mereka sepakat bahwa Idul Adha itu bersifat lokal. Untuk menentukan tanggal 10 Dzulhijjah, maka harus tahu tanggal 1-nya. Dan tanggal 1 Dzulhijjah itu bersifat lokal alias bisa berbeda-beda tergantung posisi bulan di masing-masing negara (sesuai dengan hisab atau rukyahnya). Kalau terjadi perbedaan dalam menentukan tanggal 1 Dzulhijjah maka tanggal 10-nya juga berbeda.
Walhasil, Idul Adha, seperti Idul Fitri, berbeda-beda waktunya di berbagai negara. Mereka berpendapat tidak ada hubungan antara wukuf tanggal 9 di Arafah dengan Idul Adha tanggal 10 di Saudi. Wukuf memang berkaitan dengan Hari Arafah (dan tempatnya di Arab Saudi) sedangkan Idul Adha dilaksanakan tanggal 10 di seluruh dunia (tidak terikat pada pelaksanaan Idul Adha di Saudi).
Berbeda dengan wukuf, Idul Adha itu ibadah yang tidak terikat dengan tempat tertentu. Idul Adha tidak termasuk dalam rangkaian ibadah haji. Dengan kata lain, Idul Adha itu tidak termasuk bagian dari rukun dan wajib haji.
Ada kelompok lain (Dewan Dakwah Islamiyah, Partai Keadilan Sejahtera, Hizbut Tahrir dan yang lainnya) memandang bahwa Idul Adha itu bersifat global alias mengikuti ketentuan Pemerintah Saudi. Menurut mereka, untuk tahu tanggal 10, maka harus tahu tanggal 9 Dzulhijjah. Nah, karena 9 Dzulhijjah itu hari Arafah, maka mereka mengikuti keputusan pemerintah Saudi akan kapan Hari Arafah itu. Patokannya sederhana, satu hari setelah wukuf di Arafah adalah Idul Adha.
Konsekuensinya, meskipun tanggal 1 Dzulhijah di Australia, di Jerman dan di belahan lain berbeda dengan tanggal 1 Dzulhijjah di Saudi (karena perbedaan posisi bulan di masing-masing negara itu), namun tanggal 10 Dzulhijjah-nya “tiba-tiba” jadi sama. Untuk lebaran haji ini mereka tidak pakai hisab dan rukyah, pokoknya ikut saja apa keputusan Saudi.
Akhirnya kalender mereka jadi membingungkan: untuk 11 bulan lainnya mereka ikut peredaran bulan di lokasi masing-masing, tapi khusus bulan Dzulhijjah mereka ikut kalender Saudi.
Boleh jadi di sebuah negara bulan Dzulqaidah baru tanggal 28, tapi karena memaksa diri ikut Saudi, keesokan harinya lansgung lompat ke 1 Dzulhijjah padahal jumlah hari dalam 1 bulan harus minimum 29). Atau sebaliknya, boleh jadi ada negara yg menurut hisab atau rukyah lokal sudah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, tapi terpaksa mundur menjadi tanggal 28 atau 29 Dzulqaidah; atau mereka sudah masuk tanggal 9 Dzulhijjah tapi “terpaksa” mundur sehari jadi 8 Dzulhijjah. Ini semua dilakukan agar 10 Dzulhijjah bisa sama dengan kalender Saudi. Tentu saja ini semua bertentangan dengan kaidah ilmu pengetahuan!
Kalau dibikin simulasi virtual jadi “seru”….peredaran atau posisi bulan di wilayah Indonesia, misalnya, tiba-tiba “lompat” karena harus sesuai dg kalendar Saudi. Nah, jadi sekarang yang mana yang sesuai dengan logika kita? Yang kalender dan peredaran bulannya di-adjust mengikuti Saudi atau yang mengikuti peredaran bulan berdasarkan kalender lokal? The choice is yours.
Kedua, Kapan puasa sunnatnya?
Nah, sekarang puasanya tanggal berapa dong? Ya jelas puasanya tetap tanggal 9 Dzulhijjah. Ini berarti di tempat lain, 9 Dzulhijjah itu bisa hari minggu, senin atau selasa, tergantung keputusan otoritas masing-masing wilayah menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah-nya. Jadi, titik kesamaannya ada di sini: puasa sunnah itu tanggal 9 Dzulhijjah.
Permasalahan baru muncul kalau penanggalan ini kita konversi ke penanggalan biasa (artikel ini ditulis pada tahun 2018 atau ditulis pada hari Senin, tanggal 20 Agustus 2018) : hari senin atau selasa puasanya? Tanggal 20 atau tanggal 21 Agustus 2018? Sekali lagi, kita tidak berpuasa mengikuti penanggalan konversi tersebut. Kita berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah! Kalau di Saudi tanggal 9 Dzulhijah jatuh hari senin (20 Agustus) dan di Indonesia jatuh hari selasa (21 Agustus) maka tidak ada masalah selama kita berpuasanya tetap tanggal 9 Dzulhijah (baik menurut Saudi atau menurut Indonesia).
Problem ini muncul karena kita masih terjebak pada logika konversi tadi. Dengan kata lain, cara berpikir kita masih merancukan antara penanggalan syamsiyah dan qamariyah. Maka seolah-olah kita harus berpuasa tanggal 20 atau 21 Agustus. Logika sederhana begini: tanggal 1 Muharram adalah tahun baru kita. Kita semua tahu ini. Nah, apakah tanggal 1 Muharram itu jatuh pada hari kamis atau rabu (tergantung lokasi masing-masing), tidaklah menjadi persoalan selama kita memasuki tahun baru pada tanggal 1 Muharram. Ok clear yah?
Ketiga, bukankah ada hadits Nabi yang menyuruh kita berpegang pada keputusan Amir Mekkah?
Ada sebuah hadits dari Husain bin Al Harits Al Jadaly ra. yang menyatakan: “Bahwa Amir (gubernur di masa Rasul) Makkah berpidato dan menyatakan bahwa: ‘Rasulullah saw. memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan rukyah. Jika kita tidak melihatnya sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya bulan) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang itu’.” (HR Abu Dawud)
Hadis di atas layak dibahas lebih lanjut. Sunan Abi Dawud meriwayatkan hadis tsb dalam bab “puasa”, dan dalam sub-bab “kesaksian dua lelaki dalam me-ru’yat hilal syawal”. Ini saja sudah menimbulkan kerancuan. Kalau hadis di atas dipahami dalam konteks ibadah haji, mengapa Imam Abu Dawud tidak meletakkan hadis tsb dalam bab Haji?
Kontroversi muncul akibat kata n-s-k yang dua kali disebut dalam matan hadits tersebut (an nansuka dan nasakna). Pengarang ‘Aunul Ma’bud memahami kata tsb sebagai manasik haji, sedangkan ulama lain (misalnya pengarang kitab Nailul Authar) memahaminya sebagai ibadah, yaitu puasa Ramadhan.
Penjelasan ‘Aunul Ma’bud memang membingungkan. Selain menganggap hadis ini bicara manasik haji, kata rukyat dalam matan ini –yang dipahami oleh Imam Abu Dawud sebagai rukyat hilal syawal– digeser artinya sebagai rukyat hilal dzulhijjah. Penjelasan seperti ini ditolak oleh ulama lainnya.
Jadi, menurut sebagian ulama, hadits di atas tidak bisa digunakan sebagai argumen untuk menaati keputusan Amir Makkah dalam hal Idul Adha. Hadis tentang bulan Ramadhan kok mau dijadikan justifikasi untuk Idul Adha? Begitu kira-kira jalan pikirannya.
Keempat, apa pendapat ulama Saudi?
Mengenai puasa Arafah juga bersifat “lokal”, fatwa dari Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang tercantum dalam Majmu Fatawa wa Rosail Fadhilah al Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin jilid 20 halaman 47-48. Syekh Utsaimin berpandangan Idul Adha mengikuti keputusan pemerintah setempat, bukan mengikuti keputusan pemerintah Saudi Arabia.
Nah, kalau ulama Saudi sendiri berfatwa mendukung idul adha lokal dan puasa arafah lokal, maka mengapa kita masih ngotot mau mengikuti Saudi. Lha wong Asy-Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin saja enggak mau kita mengikuti Saudi heheheh.
Jadi, keputusan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Pemerintah Indonesia untuk ber-Idul Adha Rabu, 22 Agustus 2018 itu sudah tepat dan sudah sesuai dengan ketentuan ilmiah serta kaidah agama. Kalau masih ada yang berbeda pandangan, ya kita saling menghormati saja. Yang penting bisa nyate bareng hehehhe.. (*/NUO)
*) Penulis adalah Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zealand, Dosen Senior Monash Law School
*) Artikel ditulis atau dimuat di NU Online per hari/tanggal Senin, 20 Agustus 2018