Oleh KH Ahmad Ishomuddin dan Ahmad Muntaha AM
Jakarta (Radar96.com) – Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Ishomuddin menegaskan bahwa Kehidupan multikultural di Indonesia dewasa ini banyak menghadapi isu-isu yang cenderung dapat memecah belah persatuan, salah satunya adalah isu agama.
Misalnya, peristiwa pembakaran masjid di Tolikara, pengeboman di kampung Melayu Jakarta Timur, hingga pembantaian satu keluarga di Sigi Sulawesi Tengah. Tragedi ini seolah menjadi indikator sulitnya hidup berdampingan di tengah pluralisme bangsa.
Kiai Ishom menyatakan Indonesia adalah rumah besar bersama untuk setiap warga negara yang memiliki identitas yang berbeda-beda, baik identitas suku, ras, maupun agama.
“Apabila ada yang berpikir dikotomi, maka hal itu akan membawa kepada konflik,” katanya dalam diskusi virtual Fatwa-Fatwa Nahdlatul Ulama Terkait Hubungan Antar Agama, Selasa (15/12/2020).
Menyikapi hal tersebut, Nahdlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia terus berupaya dan senantiasa hadir berkontribusi di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai fatwanya yang moderat.
Menurutnya, Nahdlatul Ulama memandang keberagaman agama sebagai sebuah entitas kekayaan bangsa harus dijaga tanpa dikotomi. Bangsa Indonesia harus meletakkan hak dan kewajiban non-muslim sejajar dengan apa yang dimiliki oleh umat Islam, serta menghilangkan tanda mayoritas dan minoritas sebagai bentuk solidaritas antar warga negara.
Salah satu penjagaan Nahdlatul Ulama dalam konteks kewarganegaraan di antaranya sepakat dengan tidak digunakannya kata kafir. Kata yang berkonotasi negatif ini, diganti dengan non-muslim. Istilah kafir dipandang sebagai stigma yang buruk dan hanya Allah yang dapat menentukan kekafiran seseorang.
“Empat model kafir yang terdapat dalam kitab empat madzhab yakni al-Hanafiyah, as-Syafiiyyah, al-Malikiyyah, serta al-Hanabillah sudah tidak relevan dengan konteks keindonesiaan. Oleh karena itu untuk konteks kehidupan bernegara empat kategori kafir itu dianggap hanya teori belaka,” jelas kiai muda asal Lampung ini.
Ia menegaskan bahwa mengubah istilah kafir dengan non-muslim dalam konteks kewarganegaraan merupakan sebuah terobosan teologi yang modern dan moderat. Hal ini akan mampu mendorong masyarakat untuk saling menghargai perbedaan beragama dalam hal-hal yang dapat disepakati, serta menjunjung tinggi nilai toleransi terhadap hal-hal yang menyangkut akidah.
“Terhadap sesama orang yang beragama Islam dapat dikatakan: ‘Bagi kami amalan kami dan bagimu amalanmu’. Adapun dengan non-muslim: ‘Bagimu agamamu dan bagiku agamaku’. Kita tetap dapat bekerjasama dalam hal yang bisa dikerjasamakan dan tetap toleransi terhadap hal-hal yang memang tidak mungkin untuk menyepakati, terutama dalam hal keyakinan masing-masing,” lanjutnya.
Bangsa Indonesia diharapkan dapat hidup rukun dan dapat melakukan interaksi antar agama tanpa adanya rasa saling curiga. Mengedepankan sisi kemanusiaan demi menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap memegang teguh akidah masing-masing.
Vonis Kafir yang Disesalkan Rasulullah
Sementara itu, Founder Aswaja Muda, Ahmad Muntaha AM, menegaskan bahwa vonis kafir atau takfîr secara serampangan merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sendiri berulangkali memperingatkan umatnya agar tidak serampangan menuduh kafir terhadap sesama.
Bila keliru, maka justru tuduhan itu akan kembali kepadanya, sebagaimana diriwayatkan:
“Diriwayatkan dari Ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ketika seseorang mengucapkan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’, maka ucapan itu akan kembali kepada salah satunya. Bila orang yang dituduh memang kafir maka sudah jelas, bila tidak maka dosa tuduhan itu kembali kepadanya’.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat lain lebih tegas Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Dan siapa saja yang menuduh kufur seorang mukmin maka ia seperti membunuhnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam sangat menyesalkan vonis kafir serampangan sebagaimana terjadi pada masa hidupnya. Tepatnya tahun kedelapan dari hijrahnya ke Madinah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Abu Qatadah Al-Anshari ke gunung Adham dekat kota Makkah untuk mengecoh musuh.
Di sana kemudian mereka bertemu ‘Amir bin Al-Athbat yang segera mengucapkan salam kepada mereka. Di luar dugaan, salah seorang prajurit bernama Muhallim bin Juttsamah justru membunuhnya karena menganggapnya tidak beriman.
Akhirnya peristiwa itu pun sampai kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam dan turunlah ayat:
“Dan janganlah kalian katakana kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian: ‘Kamu tidak beriman’.” (An-Nisa: 94)
Di kemudian hari Muhallim menghadap kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam agar dimintakan ampunan kepada Allah Ta’ala atas perbuatannya. Namun bagaimana responnya? Bukan hanya menolak karena menyesalkan kesalahan Muhallim yang serampangan memvonis kafir terhadap bin Al-Athbat bahkan sampai membunuhnya, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam justru tegas bersabda: “Allah tidak akan mengampunimu.”
Muhallim beranjak pergi penuh penyesalan dan menangis sejadi-jadinya. Tujuh hari kemudian, ia meninggal dan ketika akan dikuburkan bumi enggan menerimanya. Karena bingung, orang-orang menghadap Rasulullah untuk meminta petunjuk. Lalu beliau bersabda: “Sungguh bumi menerima orang yang lebih buruk dari teman kalian itu, namun Allah berkehendak menasehati kalian atas kemuliaan kalian.” (Ismail bin Katsîr Ad-Dimasyqi, Tafsîr Al-Qur’âil Karîm, [Giza, Muassasah Qurthubah: 1421 H/2000 M], cetakan pertama, ed: Musthafa As-Sayyid Muhammad, dkk., juz IV, halaman216-218).
Dari kisah ini dapat diambil pelajaran dalam kondisi konflik pun serampangan mengafirkan orang sangat disesalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam karena merupakan perbuatan dosa, sangat berbahaya dan dapat menelan korban orang tidak berdosa. Apalagi dalam kondisi aman sebagaimana sekarang.
Karenanya, para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sangat berhati-hati dalam menilai kekufuran seseorang, sebisa mungkin dihindari meskipun sekilas tampak tanda kekufuran padanya. Bahkan kesalahan tidak memvonis kafir 1.000 orang lebih ringan daripada kesalahan memvonis kafir kepada satu orang. (Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazâli, Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, [Damaskus, Al-Hikmah: 1415 H/1994 M], halaman 210-211).
Tafsir Ayat Keras terhadap Kafir
Selain itu, Founder Aswaja Muda, Ahmad Muntaha AM, juga menegaskan bahwa di antara ayat yang sering dijadikan propaganda untuk menyeru kekerasan atas nama agama adalah ayat yang mengesankan anjuran bersikap keras terhadap orang-orang kafir, sebagaimana difirmankan:
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat. Dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Lalu bagaimana memahaminya? Benarkah ayat tersebut memerintahkan umat Islam secara mutlak agar bersikap keras terhadap orang yang berbeda agama? Sebagaimana ayat-ayat perang, ayat yang menunjukkan sikap keras terhadap orang-orang kafir harus dipahami sesuai konteksnya, yaitu konteks konflik antara umat Islam dengan mereka.
Ayat tersebut, bahkan keseluruhan ayat dalam surat Al-Fath, turun di tengah-tengah konflik antara umat Islam dengan orang-orang kafir Makkah yang menghalangi mereka untuk beribadah umrah pada 6 H. Waktu itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersama 1400 sahabatnya telah sampai di Dzul Hulaifah dan mulai ihram dari sana.
Ketika sampai di Hudaibiyyah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus Sayyidina Utsman untuk mendahului ke Makkah dan memberitahu penduduknya bahwa tujuan kedatangan umat Islam adalah untuk umrah, bukan untuk berperang. Namun Sayyidina Utsman justru ditahan dan bahkan kemudian beredar kabar bahwa ia telah dibunuh.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pun lalu membaiat para sahabat untuk menyerang Makkah—padahal tanpa dukungan peralatan perang dan hanya berbekal peralatan seadanya—. Situasi berbalik, penduduk Makkah ketakutan mendengar keseriusan umat Islam, sehingga mereka melepaskan Sayyidina Utsman dan mengajukan perjanjian damai yang kelak dikenal dengan nama Sulhu Hudaibiyyah. Perjanjian damai terwujud dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam beserta pada sahabatnya terpaksa membatalkan umrahnya, dan pulang membawa kesedihan luar biasa.
Nah, dalam kondisi ketegangan konflik seperti itu, tepatnya di Kurâ’ul Ghamîm, turunlah surat Al-Fath untuk menghilangkan kesedihan umat Islam dengan kabar gembira, bahwa kota Makkah akan segera terbebaskan. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz IV, halaman 121).
Dalam konteks konflik seperti itulah semestinya ayat keras terhadap orang kafir tersebut dipahami. Penggunaan ayat itu dalam masa damai tentu tidak tepat dan sangat kontraproduktif dengan misi besar Islam sebagai agama yang merahmati alam semesta. Sebagaimana para sahabat menjadi pribadi yang tidak hanya mengasihi kaum muslimin, namun juga kepada non-muslim yang hidup berdampingan secara damai.
Di tengah suasana damai, Umat Islam seharusnya menjalin hubungan yang rukun dan harmonis dengan orang yang berbeda agama sebagai implementasi kerahmatannya. Para sahabat sendiri yang disinggung dalam ayat di atas, dalam suasana damai ternyata juga tidak hanya mengasihi terhadap kaum muslimin saja, sebagaimana Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallâhu ‘anhu mengasihi non muslim ahli kitab yang sudah lanjut usia dengan menjamin kebutuhan hidupnya dari baitul mâl:
“Sungguh Sayyidina Umar bin Al-Khatthab radhiyallâhu ‘anu melihat seorang ahli kitab yang telah lanjut usia meminta-minta di pintu rumah orang-orang, lalu ia berkata kepadanya: ‘Bagaimana kami dapat berbuat adil kepadamu. Kami ambil upeti jizyah darimu saat kamu kaya, kemudian kami sengsarakan dirimu saat ini’. Lalu Sayyidina Umar radhiyallâhu ‘anhu menjamin kebutuhan makanan non-muslim tersebut dari baitul mâl.”
Demikianlah Sayyidina Umar radhiyallâhu ‘anhu, dalam suasana damai meneladankan kasih sayang terhadap orang yang berlainan keyakinan. Cukuplah kisahnya menjadi pelajaran bagi kaum muslimin dalam membangun keharmonisan hidup dalam masyarakat yang majemuk dan berbeda latar belakang agama, sebagaimana ditegaskan oleh Imam As-Samarqandi: “Maka kalian harus mengikuti orang-orang sebelum kalian. Karena sungguh Allah Ta’ala benar-benar memuji para sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, lalu Allah berfirman: ‘Mereka orang-orang yang penuh kasih sayang di antara mereka.’ (Al-Fath: 29). Para sahabat itu mengasihi seluruh kaum muslimin dan non-muslim dzimmi yang hidup berdampingan secara damai.” (Abdullah bin Husain Ba’alawi, Is’âdur Rafîq wa Bughyatut Tashdîq, [Surabaya, al-Hidayah, tth.], juz II, halaman 23), dan (Abul Laits Nashr bin Muhammad As-Samarqandi, Bahrul ‘Ulûm, [Bairut, Dârul Fikr], ed. Mahmud Mathraji, juz I, halaman 205).
Dengan melihat konteks ayat dan teladan para sahabat, maka sangat tidak benar menjadikan ayat tersebut sebagai alasan bersikap keras secara serampangan terhadap orang yang berbeda agama. Wallâhu a’lam.
Penulis:
*) KH Ahmad Ishomuddin adalah Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
*) Ahmad Muntaha AM adalah Founder Aswaja Muda
Sumber:
*) https://www.nu.or.id/post/read/125322/kiai-ishom-jelaskan-cara-nu-rawat-hubungan-agama-dalam-negara?_ga=2.34875425.1669853681.1619476766-1592992904.1590312561
*) https://islam.nu.or.id/post/read/128073/vonis-kafir-yang-disesalkan-rasulullah?_ga=2.68226321.1669853681.1619476766-1592992904.1590312561
*) https://islam.nu.or.id/post/read/128176/makna-ayat-keras-terhadap-kafir