Surabaya, radar96.com – Hoaks masih terus bermunculan. Mulai dari kabar give away dari Raffi Ahmad di Facebook, proses mematikan sapi dengan cara ditembak yang disinyalir terjadi di RPH Surabaya, hingga info Gibran Rakabuming Raka yang dikabarkan mundur dan diganti Anies Baswedan. Rangkaian catatan ini, kata Riesta Ayu Oktarina, pemerhati media dari Stikosa-AWS, jadi catatan suram dunia digital menjelang Pilkada 2024.
“Catatan kami, sebaran ini kuat di media sosial. Sementara banyak pengguna internet saat ini lebih suka mencari informasi di media sosial, bukan media pemberitaan,” kata Riesta yang juga dosen komunikasi di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Massa Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) pada Kamis (10/10/24).
Langkah keliru, karena mencari informasi yang tidak terverifikasi, kerap diikuti tindak sebar ulang karena referensi pengguna yang terbatas. “Dulu ada kampanye hati-hati menyebar informasi di media sosial. Tapi kebiasaan re-share itu masih kuat. Akibatnya info hoaks juga tersebar cepat,” katanya.
Diakui, media sosial memang memungkinkan informasi menyebar dengan sangat cepat. Platform seperti Facebook, Instgram, X, Tiktok, dan WhatsApp memiliki fitur berbagi yang memudahkan pengguna menyebarkan informasi tanpa verifikasi, sehingga hoaks dapat tersebar dalam hitungan detik ke banyak orang. Di sisi lain, pengguna media sosial tak selalu memiliki literasi digital yang baik.
“Banyak pengguna media sosial masih kurang memahami bagaimana memverifikasi kebenaran informasi. Mereka cenderung mempercayai dan membagikan informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka tanpa mengecek sumber atau kredibilitas informasi tersebut,” jelas Riesta.
Kondisi ini, lanjut dia, diperburuk dengan algoritma platform media sosial sering kali memperkuat informasi yang mendapatkan banyak interaksi, tanpa mempertimbangkan apakah informasi tersebut benar atau salah. Hal ini menyebabkan hoaks yang bersifat sensasional atau memicu emosi lebih mudah viral dibandingkan berita yang benar dan netral.
Lebih lanjut, Kaprodi Ilmu Komunikasi Stikosa-AWS ini juga menggarisbawahi aspek emosional manusia. Katanya, informasi yang menimbulkan emosi kuat, seperti ketakutan, kemarahan, atau harapan, lebih mungkin untuk dibagikan.
“Hoaks sering kali dirancang untuk memanfaatkan emosi ini, sehingga orang terpicu untuk menyebarkannya tanpa berpikir kritis terlebih dahulu,” kata dia.
Dalam konteks makro, hoaks akan mendapat ruang hebat saat momen politik, termasuk Pemilu 2024 lalu dan Pilkada 2024 mendatang.
“Hoaks sering kali dimanfaatkan sebagai alat untuk memperkuat polarisasi politik atau sosial. Di tengah perpecahan politik yang kuat, orang cenderung percaya pada informasi yang mendukung pandangan politik atau ideologi mereka, terlepas dari kebenarannya,” terang Riesta.