Jakarta, radar96.com – Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta, Prof Dr Nurliah Nurdin MA menilai digitalisasi dan penggunaan AI dalam pemerintahan bukan hanya modernisasi, tetapi kebutuhan untuk menyelamatkan uang negara, mempercepat layanan publik, dan mengurangi ruang korupsi (pemerintahan yang bersih), namun AI membutuhkan literasi digital yang saat ini masih rendah.

“Saat ini, AI bukan lagi pilihan, melainkan menjadi infrastruktur baru dalam tata kelola pemerintahan. Dunia bergerak cepat, sementara Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama literasi digital. Kalau literasi digital kurang baik, maka AI menjadi kurang bermanfaat,” katanya saat membuka Bedah Buku ‘E-Government di Era AI’ secara daring, Senin (17/11/2025) malam.
Bedah Buku “E-Government di Era Artificial Intelligence” karya Dr Yusuf Amrozi ST M.MT di Politeknik STIA LAN Jakarta itu dihadiri oleh civitas akademika yang terdiri dari unsur manajemen, dosen, tenaga kependidikan, serta mahasiswa dengan dua pembahas yaitu Agus Eko Nugroho SE M.Appl.Econ PhD, dan Dr Alih Aji Nugroho MPA.
Dalam paparannya, Prof Nurliah merujuk data global yang menunjukkan Indonesia berada di peringkat 77 dari 193 negara dalam “EGDI 2024” PBB (very high e-government), sedang “Digital Government Maturity Index” memosisikan Indonesia pada level Intermediate, tertinggal jauh dari negara seperti Singapura dan Estonia.
“Tiga kekuatan utama AI dalam meningkatkan kinerja birokrasi adalah mempercepat layanan publik (efficiency). AI dapat memangkas waktu layanan dari hitungan hari menjadi menit, seperti pada pengelolaan data kependudukan, notifikasi otomatis, dan pembacaan dokumen perizinan,” katanya.
Kedua, mengurangi ruang korupsi (transparency and traceability). AI menciptakan jejak digital melalui sistem pengawasan otomatis dan analitik anti-fraud pada dana desa, pengadaan barang/jasa, serta mengurangi tatap muka yang rawan pungutan liar.
“KPK mencatat kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp42 triliun per tahun (rata-rata kasus 2019-2024), namun Bank Dunia memperkirakan economic loss korupsi mencapai 2-3 persen PDB atau setara Rp350-Rp500 triliun per tahun di era AI. Jadi, digitalisasi dan penggunaan AI dalam pemerintahan menyelamatkan uang negara,” katanya.
Ketiga, kekuatan AI dalam E-Government adalah mendukung pengambilan keputusan berbasis data (data-driven policy). AI memungkinkan prediksi kebutuhan anggaran, pemetaan potensi kemiskinan, penghitungan risiko bencana, dan penyusunan kebijakan berbasis data.
“Buku yang ditulis oleh Dr Yusuf Amrozi ini memberikan fondasi penting tentang integrasi AI dalam pelayanan publik, etika, keamanan data, transparansi, dan transformasi aparatur masa depan,” ujar Prof. Nurliah.
Sementara itu, penulis buku Dr. Yusuf Amrozi menjelaskan isu e-government yang selalu aktual di tengah tuntutan layanan publik yang mudah, cepat, dan murah di era AI itu membutuhkan guideline bagi peserta didik, khususnya pada mata kuliah E-Government.
“Urgensi e-government itu karena kebutuhan peningkatan layanan publik, efisiensi tata kelola birokrasi, serta perkembangan teknologi yang memungkinkan adopsi AI dalam berbagai konteks (G2C, G2B, G2G, G2E). Tiga dimensi e-government adalah Service Dimension (kualitas layanan publik), Administrative Dimension (efektivitas dan efisiensi), dan Democratic Dimension (partisipasi, peran dan wewenang, serta transparansi),” katanya.
Selain itu, katanya, kerangka Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) menghadapi sejumlah tantangan, antara lain kualitas layanan, infrastruktur, SDM, keamanan siber, regulasi, partisipasi publik, manajemen data, hingga perencanaan strategis sistem informasi lintas pusat-daerah,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Pembahas Agus Eko Nugroho PhD menyoroti sejumlah masalah mendasar seperti Literasi digital yang masih berada pada kategori “sedang”, Integrasi digital antarwilayah dan antarinstansi yang belum optimal, serta Infrastruktur digital yang belum merata (hanya 78 persen populasi terhubung internet). (*/fpnu)


