Oleh Hilmy Firdausy *)
NU dan Afghanistan selama ini menjalin hubungan diplomasi yang cukup erat dalam rangka mewujudkan perdamaian di Afghanistan. Apa saja upayanya?
Pada tahun 2007, pemerintah Indonesia bersama Nahdlatul Ulama terlibat dalam operasi pembebasan sandera asal Korea yang ditangkap Taliban di Afghanistan. Di saat yang sama, Mullah Omar, seorang pemimpin tertinggi Taliban, mengirim surat kepada As’ad Said Ali (Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015 dan Kepala BIN 2001) terkait permohonan untuk menjadi mediator dalam dialog-dialog dan inisatif perdamaian di Afghanistan.
Dalam suratnya, Mullah Omar mempercayakan NU dan pemerintah Indonesia untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Afghanistan sebagai kelompok yang terdzalimi dan terjajah selama ini. Dalam suratnya juga, Mullah Omar bermaksud untuk menjalin persaudaraan dengan komunitas Islam di Indonesia.
Sebagai keberlanjutan agenda ini, pemerintah Indonesia lantas meminta NU untuk menjalin komunikasi lebih lanjut dengan para pemimpin di Afghanistan. Kiai Sahal Mahfudz, rais ‘aam PBNU saat itu, menyetujui permintaan tersebut dengan satu syarat; NU harus diberi kepercayaan penuh untuk menjalankan strateginya berdasarkan prinsip Islam rahmatan lil alamin yang mengedepankan lima nilai penting yang selama ini juga dipegang NU, yakni; tasamuh, tawasuth, tawazun, I’tidal dan musyawarah.
Langkah pertama kemudian dilaksanakan bertepatan dengan HARLAH NU 85 pada Juni 2011. Bersama BIN dan kementerian luar negeri, NU kemudian menginisiasi sebuah acara dialog berjudul “Consultation Forum for Peace in Afghanistan” di Jakarta pada 18 Juli 2011. Forum tersebut dihadiri oleh 20 pemimpin dan tokoh pentng Afghanistan. Antara lain: Burhanuddin Rabbani, Mohammad Muhaqqiq, Wahedullah Sabawoon, Ghulam Farooq Wardak, Fazal Ghani Kakar, Maulawi Hayatollah Talib dan tokoh-tokoh lainnya.
NU sebagai panitia acara ini sukses merumuskan satu jalan keluar keluar pertama dalam proses perdamaian di Afghanistan. Bukan hanya berhasil dalam melancarkan hubungan antara Afghanistan dengan NU dan pemerintah Indonesia, acara tersebut juga berhasil memperbaiki komunikasi di antara petinggi, tokoh dan sosok penting Afghanistan.
Sebagai sebuah traktat kesepakatan, forum berhasil mengeluarkan tiga poin penting kesepakatan;
(1) menyepakati bahwa inti agama Islam adalah rahmatan lil alamin dan bertumpu pada prinsip tasamuh, tawazun, tawasuth, dan i’tidal;
(2) setuju untuk mengakhiri konflik di Afghanistan;
(3) mengakui bahwa untuk membangun resolusi perdamaian, peran fasilitator (khususnya dari pihak eksternal) sangat diperlukan sehingga harus diterima oleh seluruh komponen bangsa
Menurut Irvan Aladip dan Dwi, dalam artikel “Faith-Based Transnational Actors and Peacebuilding: An Analysis of the Role Of Nahdlatul Ulama in Afghanistan’s Peace Process”, pernyataan bersama tersebut merupakan realisasi dari apa yang Rüland katakan sebagai transformasi konflik. Yakni satu perubahan yang terjadi di tingkat pribadi peserta forum. Sifat partisipatif dari dialog tersebut memungkinkan semua peserta untuk terlibat dan menguraikan pemikiran serta pemahaman mereka tentang budaya dan akar struktural konflik, yang selanjutnya membuka kemungkinan diskusi dan perdebatan tentang ide-ide tentang solusi alternatif untuk resolusi konflik.
Lanjut Irvan Aldip, dalam konteks ini, NU sebagai aktor transnasional berbasis agama memainkan peranan penting dalam memfasilitasi dialog dan menengahi ketegangan yang terjadi di antara para peserta. Dan terbukti bahwa dialog tersebut merupakan langkah pertama dan penting dalam upaya perdamaian Afghanistan setidaknya karena dua alasan;
Pertama, seperti yang disebutkan sebelumnya, dialog memungkinkan untuk terjadinya pertukaran informasi dan gagasan seputar upaya alternatif untuk mewujudkan perdamaian.
Kedua, lebih signifikan lagi, dialog tersebut menjadi media bagi transformasi relasional di antara para tokoh, yang berfungsi untuk mengikis segala bentuk kecurigaan sekaligus membangun kepercayaan di antara mereka.
Pasca forum tersebut, NU secara berseri melanjutkan agenda mediasi di forum-forum lainnya. Tema-tema yang dibahas pun menyentuh beberapa doktrin yang selama ini dianggap menjadi titik picu perpecahan dan konflik di Afghanistan. Salah satu yang banyak dibicarakan kemudian adalah konsepsi soal jihad dan syahid.
Satu momentum historis yang mungkin mengubah jalan cerita konflik Afghanistan terjadi tahun 2015. Pada tanggal 5 Mei, sejumlah pemimpin faksi Afghanistan, termasuk yang terafiliasi dengan Taliban, setuju untuk membentuk Nahdlatul Ulama cabang Afghanistan (NUA). NUA resmi didirikan pada Juni 2014.
Dalam rentang waktu dua tahun, NUA berhasil mengembangkan diri dan mendirikan cabang-cabangnya di 22 provinsi di Afghanistan. Setidaknya 6.000 pemuka agama bergabung dan menjadi anggota NUA kala itu. Keberhasilan ini dianggap sebuah capaian dalam proses inisiasi perdamaian di Afghanistan sekaligus bukti bahwa nilai tasamuh yang dikembangkan NU dalam diplomasi dan strategi mediasinya bisa diterima masyarakat Afghanistan.
Hubungan ini lantas diperkuat kembali dengan didirikannya “Indonesia Islamic Center” di Kabul. Didukung oleh kementerian luar negeri, lantas gagasan NU membangun IIC Kabul itu terwujud di atas tanah seluas 10.000 meter persegi. Ia adalah pusat keagamaan yang difungsikan sebagai perpustakaan, rumah singgah, sekaligus klinik guna merawat mereka yang terluka akibat konflik.
Upaya NU dan pemerintah Indonesia memediasi perdamaian di Afganistan terus berlanjut di tahun-tahun setelahnya. NU, dengan tetap berpatokan pada lima prinsip dan nilainya, termasuk tasamuh, menyebarkan ideologi perdamaian dan moderatisme di kalangan faksi-faksi dan pemimpin Afghanistan. (*)
*) Penulis adalah alumni Pascasarjana UI Syarif Hidayatullah Jakarta, Direktur di Ali Mustafa Yaqub Institute, dan alumni Ponpes Nurul Jadid Paiton-Probolinggi, Ponpes Damaran Kudus, dan Ponpes Darus-Sunnah Ciputat-Jakarta.
*) Sumber: https://harakah.id/nahdlatul-ulama-dan-upaya-perdamaian-di-afghanistan-dari-nu-cabang-afghanistan-sampai-kampanye-tasamuh-di-tanah-khurasan/?utm_source=rss (18 Agustus 2021)