Oleh A.Khoerussalim Ikhs. *)
Semua orang Nahdlatul Ulama (NU) sadar se-sadar-sadarnya bahwa jumlah kaum nahdliyin di negeri ini sangat banyak. Angka survei yang pernah dilakukan LSI mencapai lebih dari 120 juta penduduk negeri ini berhaluan ahlussunnah wal jamaah dalam beragama dan itu bisa diklaim sebagai paham mayoritas penduduk negeri ini. Itulah paham yang digawangi NU di negeri ini. Namun, jamaah NU sebanyak itu saat ini masih menjadi “pasar yang tidur” bagi NU sendiri.
Sayangnya, para aktivis NU hanya bisa geram melihat potensi besar itu karena dari sisi ekonomi yang memanfaatkan “orang lain”. Pasar NU diambil orang lain dan di saat yang sama NU belum mampu mengelola pasar potensial itu untuk tujuan-tujuan kemandirian ekonominya.
Para pengurus struktural NU dari tingkat pusat hingga ranting telah bertahun-tahun mencoba dengan berbagai cara bagaimana memanfaatkan potensi pasar besar kaum nahdliyin itu untuk kesejahteraan anggotanya (jamiyah nahdliyin). Ada yang membuat Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, Yayasan, perkumpulan, arisan dan aneka bentuk-bentuk usaha lainnya, baik dalam skala nasional hingga skala mikro di kelompok-kelompok tahlilan atau lailatul ijtima’ di ranting-ranting, di desa-desa atau bahkan musholla-musholla. Hal itu terjadi mengingat fenomena komunitas-komunitas kecil di akar rumput sangat banyak lantaran setiap badan otonom atau lembaga-lembaga yang ada di NU selalu membuat program kerjanya untuk upaya pengabdiannya pada umat.
Khusus problem ekonomi keumatan NU sepertinya hingga kini belum mampu memformulasikan diri dalam sistem ekonomi apa yang akan diterapkannya. Berulang kali, kita dengar bahwa NU akan menganut ekonomi kerakyatan, namun ketika diderivasikan lebih detail ternyata tidak membumi dan bahkan kalah dengan para oligarki yang terus bergentayangan dianut para kapitalis di negeri ini. Ekonomi kerakyatan yang seperti apa yang mau dikembangkan NU ? NU belum mampu membuat oligarki dirinya sendiri, bahkan hanya di lingkungan jamiahnya sendiri NU terseok-seok tak tahu arah.
Arus ekonomi baru yang pernah digulirkan Prof Dr KH Maruf Amin saat masih menjadi Rois Am PBNU hingga kini sudah menjadi Wakil Presiden RI nampaknya belum begitu nyata geliatnya di kalangan NU sendiri.
Sistem ekonomi apa yang hendak diformulasikan NU untuk bisa memanfaatkan jamaahnya sendiri menjadi pasar bagi produk-produk anggotanya sehingga NU yang melayani anggotanya, NU yang mandiri secara ekonomi, NU yang bisa memanfaatkan potensi besar dirinya, semua itu belumlah ada bentuk-bentuk aksi nyata di akar rumput.
Lagi-lagi sampai hari ini, pasar NU masih terus diambil orang lain, lantaran NU sendiri secara internal belum mampu memformulasikan format ekonomi dirinya. Contoh konkretnya orang-orang NU yang tahlilan atau istighosah coba tengok konsumsinya dan segala hal yg dipergunakan pada acara itu. Tenda, konsumsi, alat angkut, alat komunikasi, dan sebagainya, semuanya “produk asing”. Ayo urut coba sampai ke hulunya siapa produsen terigunya, siapa produsen air minumnya, siapa produsen alat angkutnya, siapa produsen seragamnya, dan seterusnya.
Begitu seterusnya sehingga kita terus akan menyaksikan bahwa produk-produk asing itu terus masuk ke pasar-pasar NU dengan fakta-fakta yang juga kita temukan bahwa NU lagi-lagi tak mampu memanfaatkan pasar dirinya sendiri. Ini tentu miris dan memprihatinkan, namun satu sisi lainnya kita terus tidak juga membuat solusi yang seperti apa sehingga jamaah nahdliyin yang banyak ini bisa kita kelola pasarnya.
Saya yakin jika kita mempu mengelola pasar internal saja dengan baik, maka NU pasti mampu mandiri secara ekonomi sehingga tidak perlu kita lihat lagi bahwa setiap kegiatan NU manapun selalu menggunakan proposal.
Ketika kita membuat kegiatan internal saja selalu menyodorkan proposal kepada banyak pihak di luar sana, itu artinya NU belum mampu membiayai dirinya sendiri atas kegiatannya sendiri. Kas NU kosong, baru terisi kalau ada uluran tangan donatur. Apakah begini terus kita berorganisasi ? Kapan NU punya dana abadi yang bisa untuk mengelola organisasinya sendiri ? Jika fenomena itu yang terus dipertontonkan para aktivis NU, maka kemandirian NU masih jauh panggang dari apinya.
NU harus mampu mandiri berdikari secara ekonomi setidaknya untuk aktivitas dirinya sendiri. NU harusnya mampu mengubah “social capital”-nya menjadi “financial capital” karena NU memiliki potensi jamaah yang sangat besar, bahkan konon NU merupakan ormas terbesar di dunia.
Nusa Mart Online
Nusa Mart merupakan “brand” (merek) milik PT Nusa Utama Jakarta Timur yang fokus bisnisnya pada produk-produk consumer goods atau barang-barang yang sehari-hari kita pakai, seperti sembako, toiletries , fashion, kuliner, PPOB, dan sebagainya, dengan sistem bisnis referral afiliat.
Saham Nusa Mart 51 persen dimiliki oleh LPNU Jakarta Timur secara organisatoris, sedang saham yang 49 persen dimiliki oleh insan-insan pejuang ekonomi umat NU Jakarta Timur. Sengaja dari awal saham mayoritas dijadikan milik organisasi agar ke depan NU memiliki aset-aset ekonomi dan ke depannya NU bisa mandiri.
Sisi lain ini juga bukti bahwa dengan cara inilah kita berupaya menghidupkan kembali spirit nahdlatut tujjar yang dulu digagas para masyayikh dan muasis NU seperti mbah Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, mbah KH Wahab Chasbullah, mbah KH Bisri Sansuri dan kawan-kawan itu bisa dibangkitkan kembali. Dengan saham mayoritas miliknya NU, maka potensi keuntungan terbesar akan diberikan kepada NU. Inilah cara kami semoga bisa diakui sebagai “santrinya” mbah KH Hasyim Asy’ari dan memperoleh barokahnya poro kiyai. Dengan begitu NU bukan “sekadar mendapatkan fee” dari para pengelolanya, namun NU adalah owner dan pemilik utama bisnis ini yang berhak atas keuntungan terbesar dari bisnis ini kelak.
Bisnis “Nusa Mart” diinisiasi oleh LPNU Jakarta Timur dalam rapat kerjanya di kawasan Puncak Bogor sejak awal Januari 2020. Nusa Mart mulai transaksi pertama kalinya pada 17 Agustus 2020, yang kemudian dicatat sebagai hari lahirnya Nusa Mart, sehingga kini sudah berusaha setahun.
Kini, Nusa Mart sudah beroperasi di tahun ke 2 dengan segala hiruk pikuk perjuangannya, turn offer SDM-nya hingga aneka problematika bisnis retail pada umumnya. Tidak mudah menjalankan bisnis di kalangan NU. Selain memperoleh tantangan di internal organisasi NU sendiri kita, juga harus berjibaku tarung dengan pasar eksternal yang sudah dikuasai raksasa-raksasa retail nasional.
Memasuki tahun ke 2 operasional Nusa Mart kini mendeklarasikan dirinya menjadi bisnis non aset. Nusa Mart kini beroperasi secara online dengan market place tersendiri yang bisa diunduh di google play store. Ketik saja Nusa Mart di google Play Store maka dengan mudah selanjutnya anda akan berselancar menemukan produk-produk Nusa Mart dengan harga yang terjangkau seperti anda sudah berbelanja di mini market pada umumnya selama ini.
Mimpinya para CEO Nusa Mart kita ingin hadir di era milenial dengan mensejajarkan diri kita, jamiyah Nahdlatul Ulama dan masyarakat Indonesia dan siap berkompetisi dengan para pelaku market place yang sudah ada seperti Shopee, Lazada, Blili, dan sebagainya.
Tentu ini tida mudah bagi kami yang pengalamannya di bisnis retail maupun market place masih sangat minim. Kami harus terus belajar dan terus belajar. Kami hanya yakin bahwa kita pasti bisa. Apalagi kita tahu bahwa target pasarnya Nusa Mart adalah kaum nahdliyin yang tersebar di seluruh pelosok negeri ini.
Nusa Mart hadir dengan mimpi bisa menjangkau pasarsesama kaum nahdliyin. Maka itu, warga NU selain sebagai pasar kami, juga bisa sebagai pemasok Nusa Mart. Anda yang punya produk, namun terkendala akses pasarnya, maka silakan market place Nusa Mart bisa dijadikan toko anda.
Nusa Mart akan membuatkan toko virtual untuk bisnis Anda. Dengan begitu harapannya produk-produk warga NU bisa menjangkau pasar yang lebih luas dalam skala nasional dan bisnis anda pun bisa naik kelas bersama Nusa Mart. (Info Nusa Mart : WA 081287996016).
*) Penulis adalah Ketua LPNU Jakarta Timur