Jember (Radar96.com) – Sangat historis. Kehadiran buku “Tinta Emas Perjuangan Untuk Indonesia – Kiai Shiddiq – Kisah Hidup Kiai wa Dzurriyah” (Penerbit Kompas, 2020) yang merupakan buah tangan dari almarhum Afton Ilman Huda (penulis), seolah melengkapi dokumen peran ulama dalam Histori Ke-Indonesia-an, apalagi menjelang Hari Santri 2021.
Ya, catatan historis tentang peran para ulama dalam perjuangan hampir tidak ada, karena para ulama merupakan sosok yang sangat ikhlas dalam perjuangan, namun satu dasa warsa terakhir telah hadir sejumlah penulis yang membuktikan peran ulama dalam sejarah bangsa itu fakta, bahkan para penulis pun menyertakan dokumen historis yang tak terbantahkan!.
Selain almarhum, para penulis sebelumnya diantaranya H Choirul Anam (Ansor/PKNU), Ki Agus Sunyoto (Lesbumi/almarhum), Prof H Ali Haidar (RMI/Unesa), dan bahkan beberapa peneliti asing atau Indonesianis yang menguak “masa lalu” bangsa ini yang di dalamnya ada peran kaum santri yang sangat jelas secara historis dalam perjuangan kebangsaan.
Puncaknya adalah pengakuan negara dengan penetapan Hari Santri terhitung sejak 22 Oktober 2015 dan penganugerahan gelar Pahlawan untuk sejumlah ulama. Nah, penulis buku yang masih “dzurriyah” Kiai Shiddiq (penulis wafat pada 8 November 2020) itu pun menguatkan pengakuan negara itu dengan dokumen historis yang lengkap dan kuat. Buku ini pun terasa penting pada Hari Santri 2021.
Buku setebal 294 halaman itu diawali dengan cerita tentang sosok dan amaliah/perjuangan Kiai Shiddiq (halaman 1-95), lalu disambung kisah-kisah perjuangan dzurriyah/keturunan, yakni Kiai Achmad Qusairi (halaman 100-109), Kiai Mahfudz Shiddiq (halaman 110-133), Kiai Achmad Shiddiq (halaman 134-162), dan Kiai Ali Mansur (halaman 163-173).
Dzurriyah lainnya, Kiai Dhofir Salam (halaman 174-194), Kiai Abdulloh Shiddiq (halaman 195-209), Bin Mahmud Shiddiq (halaman 210-220), Kiai Abdul Halim (halaman 221-228), Kiai yang Syadid (halaman 229-232), Kiai Yusuf Muhammad (halaman 233-249), Kiai Thoyfur (halaman 250-263), dan Kiai Hamid Pasuruan (264-284).
Bukti historis yang melengkapi kesahihan buku ini antara lain foto-foto era 1970-an atau sebelumnya dari Data Arsip Nasional maupun dokumen kegiatan NU (ejaan lama). Ada pula rujukan buku, internet, dan pidato, sehingga dokumen-dokumen yang ada sangat historis.
Kiai Shiddiq yang nama lengkapnya Kiai Muhammad Shiddiq bin Abdulloh merupakan pengasuh Pondok Pesantren Talangsari yang kini beralamat di JL KH Shiddiq, Kelurahan Jember Kidul, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Pesantren asuhannya yang didirikan pada 1915 itu kini sudah berkembang menjadi beberapa pesantren yakni Al-Fattah, Ashtra, Zainab Shiddiq, Ashri, dan Al-Ghofilin dengan beberapa lembaga pendidikan di dalamnya (TK, MI, MTs, SMP, MA, SMA).
Amaliah Kiai Shiddiq yang diceritakan antara lain kasih sayang kepada burung dan semut (halaman 3-7), sikap strengh/kuat pada hal-hal yang makruh untuk tidak dilakukan, seperti memelihara kumis, merokok, kentut sambil tertawa, tidak berpakaian di lokasi umum, dan sebagainya (halaman 8-11).
Kiai Shiddiq juga punya amaliah yang istiqamah yakni shalat berjamaah, membangunkan santri menjelang shalat subuh dengan membawa teko berisi air dan tongkat penjalin, shalat sunnah 100 rakaat setiap hari, khatam Alquran seminggu sekali, mengajar mengaji Alquran, mengajar kitab kuning (Ihya Ulumuddin, Shahih Bukhori), suka silaturahmi, suka menjodohkan atau mak comblang (halaman 13-17).
Proses pendirian Pesantren Talangsari pada 1915 juga berliku. Awalnya, Kiai Shiddiq yang juga pedagang (berdagang kitab, kain, sarung, alat pertanian) itu membeli tanah seluas 0,5 hektare (tanah dengan tanaman padi diatasnya) dengan harga Rp310, namun terkatung-katung karena usaha perdagangannya tersendat-sendat (halaman 23).
Oleh karena itu, Kiai Shiddiq pun terpaksa menawarkan tanahnya kepada orang Cina dengan harga Rp650, namun akhirnya dibeli oleh orang kaya bernama H Mohammad Alwi yang justru mewakafkan kepada Kiai Shiddiq, sehingga pesantren pun berdiri. Namun, Kiai Shiddiq tetap berdagang secara berpindah-pindah pasar sesuai hari pasaran (halaman 24-25).
Tujuan pendirian pesantren itu, Kiai Shiddiq itu datang jauh-jauh dari Lasem (Jateng) ke Gebang (Jember/Jatim) pada tahun 1900 untuk menyiarkan agama di tengah masyarakat yang masih “mo-limo” (5-M) yakni maling/mencuri, minum/mabuk, main/judi, madon/zinah, dan madat/narkoba (halaman 26-27).
Tujuan lain, Kiai Shiddiq memiliki tujuan mulia untuk melakukan kaderisasi mukmin/ulama. Sejarah membuktikan bahwa kader yang lahir dari Pesantren Talangsari itu ada yang menjadi kiai, guru, dokter, polisi, politisi, pejabat/pemerintah, pengusaha, dan bahkan ada pula beberapa ulama besar, seperti Kiai Mahfudz Shiddiq (era penjajah Jepang), Kiai Achmad Shiddiq (era 1980-an), Kiai Muzakki Syah (era 2000-an), dan lainnya (halaman 28).
Yang menarik, strategi kaderisasi ulama itu dirintis Kiai Shiddiq dengan cara unik yakni meminta para santrinya untuk mendirikan masjid di kampung halamannya, namun permintaan itu tetap disikapi Kiai Shiddiq dengan “terjun langsung” membantu santrinya melalui ajakan kiai kepada tokoh masyarakat untuk bergotong royong mendirikan masjid di atas tanah milik santrinya (halaman 31-32).
Ada sekitar 13 masjid di Jember yang didirikan dengan strategi “bina masjid” itu, namun hal itu bukan berarti tanpa kendala, karena masyarakat yang “menolak” juga ada, meski penolakan itu dilakukan secara tidak langsung, seperti dialami Kiai Imam Rozi yang menjadi takmir Masjid Ar-Rahmah di Kampung Kebonsari.
Kadang kala, ia mendapatkan kue atau nasi dari tetangga yang dipahami sebagai bagian dari tasyakuran dalam hajat tertentu. Nasi atau kue itu selalu diteskan terlebih dulu kepada ayam. Pernah ada ayam yang mati setelah makan kue tertentu, sehingga kue itu pun dibuang, karena mengandung racun dan sasarannya untuk meracuni takmir masjid.
Itulah liku-liku perjuangan yang akhirnya membuahkan hasil dengan berkembangnya jumlah santri melebihi 100 orang dan bukan hanya berasal dari daerah sekitar, namun juga datang dari Banyuwangi dan Madura, bahkan ada juga yang datang dari Kebumen dan Pasuruan atau santri-santri berdialek Jawa (halaman 37).
Keturunan Kiai/Ulama Jawa
Sosok Kiai Shiddiq yang alim itu tidak terlepas dari garis keturunan yang bermula dari para kiai/ulama di Tanah Jawa. Kiai Shiddiq lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah pada 1854. Putra beliau, Kiai Achmad Qusyairi dan Kiai Abdul Halim, mencatat ayahanda memiliki garis keturunan yang sambung antara ayah dan ibunya pada leluhurnya yakni Mbah Sambu.
Namun, catatan pada halaman 47 yang dilengkapi dengan foto historis yang menunjukkan kediaman lama dari Kiai Shiddiq di Lasem itu disebut Kiai Shiddiq kurang begitu suka bercerita tentang garis keturunannya ke Mbah Sambu yang memiliki sanad ke Rasulullah itu, karena mengetahui garis keturunan itu bukan hanya meningkatkan silaturahmi.
Selain meningkatkan silaturahmi, ungkapan adanya silsilah itu juga bisa berdampak negatif, karena orang menjadi sombong, arogan, dan bangga dengan leluhur, padahal perilaku belum tentu mencerminkan ajaran leluhur itu. Namun, adanya silsilah dari Kiai Shiddih itu mendukung bahwa Kiai Shiddiq sebagai “dzurriyah” (garis keturunan) ulama adalah wajar bila akhirnya juga melahirkan ulama dan tokoh masyarakat di Tanah Jawa.
Apalagi, Kiai Abdul Halim Shiddiq mencatat ayahanda belajar (nyantri/berguru) kepada sejumlah kiai, diantaranya Kiai Abdul Azis bin Baidlowi Lasem, Kiai Sholeh Darat As-Samarani Semarang (fotonya di halaman 52), Kiai Sholeh Langitan Tuban, Syaichona Cholil Bangkalan, Kiai Ya’cub Siwalan Panji Sidoarjo, dan Kiai Abdurrochim Sepanjang Sidoarjo.
Dari halaman 49 hingga 59 tercatat beberapa cerita menarik dari perjalanan “nyantri” Kiai Shiddiq, seperti ketika beliau berpindah dari Kiai Sholeh Darat Semarang ke Kiai Sholeh Langitan Tuban, ternyata Kiai Sholeh Darat mengaku kalau Kiai Sholeh Darat baru saja datang kepadanya menyampaikan alasan Kiai Shiddiq nyantri ke Langitan.
Alasannya, Kiai Shiddiq merasa aneh dengan dialek Kiai Sholeh Darat yang kental dengan dialek Jawa yakni membaca Ain dengan Ngain. Tentu saja, Kiai Shiddiq malu dengan cerita Kiai Sholeh Langitan itu, sehingga beliau kembali nyantri ke Semarang.
Cerita unik lainnya adalah Kiai Shiddiq ternyata pernah menjadi “ustadz” bagi Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) saat keduanya “nyantri” di Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo (Kiai Ya’cub). Hingga kini, lokasi KH Hasyim Asy’ari “mondok” di Buduran itu masih tertata rapi di pesantren itu, sebagai bukti historis yang riil.
Bahkan, Kiai Achmad Mursyid (menantu Kiai Mahfudz bin Shiddiq) masih menyimpan surat dari Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari kepada Kiai Shiddiq sebagai “senior” di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Isinya, Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari minta dukungan pendirian NU.
Tidak hanya itu, perpindahannya ke Jember juga unik. Kiai Shiddiq bermimpi bertemu Rasululllah membawa bakul di tangan kiri dan membawa tasbih di tangan kanan. Ia menakwil mimpi itu sebagai petunjuk bahwa ia harus hijrah ke timur untuk perjuangan agama, lalu ia bertanya “timur” kepada gurunya KH Cholil Bangkalan yang dijawab ke Jember. Tahun 1900, Kiai Shiddiq mulai hijrah ke Jember (bermula di Gebang), lalu berpindah ke Talangsari pada 2015 hingga wafat pada 1934. (Hal. 61-66).
Sejak kedatangannya pada 1900 hingga 1915, Kiai Shiddiq adalah Kiai Pedagang atau kiai yang berprofesi sebagai pedagang saat berada di Ndalem Gebang. Sejak pindah ke Talangsari pada 2015 itulah, Kiai Shiddiq betul-betul sebagai kiai yang fokus mengajar ngaji hingga wafatnya pada 1934 atau selama 19 tahun.
Selama di Jember, banyak ulama yang menilai Kiai Shiddiq merupakan wali yang memiliki karomah. Seorang wali itu selalu terjaga dari dosa besar dan perbuatan buruk. Konon, Kiai Sholeh Winongan Pasuruan merupakan kiai yang membuka misteri kewalian Kiai Shiddiq, karena dia diperintah guru spiritualnya untuk berguru kepada seorang waliyullah yang berprofesi sebagai pedagang di pasar sambil mengajar ngaji (hal.71).
Salah santrinya bercerita, suatu saat Kiai Shiddiq akan berdagang sarung, songkok, dan sebagainya ke Arjasa, tapi kiai datang terlambat di stasiun sehingga kereta sudah berangkat. Ketika hendak pulang, ada seorang penghulu yang memberi salam tempel Rp1 (sekitar Rp100.000 untuk saat ini).
Sebelum tiba di rumah, kiai Shiddiq belanja di pasar dan akhirnya dimasak di rumah, lalu tertidur. Dalam tidurnya, Kiai Shiddiq bermimpi bertamu ke rumah penghulu itu dan diberi jamuan babi, maka ketika bangun langsung bilang kepada santri agar sayur yang dimasak itu dibuang semuanya, karena haram.
Ada cerita lain dari Kiai Syarqowi bin Toha dari Condro, Jember, yang mengaku mendapat cerita dari santri Kiai Shiddiq di Kalisat, yang lupa namanya. Suatu saat, Kiai Shiddiq kedatangan seorang tentara Belanda yang di dalam mobil jip-nya terdapat beberapa bom. Spontan, Kiai Shiddiq bilang “Lha kok tuan membawa degan (kelapa muda)?”. Sang tentara itu penasaran dan menengok, ternyata bom sudah berubah jadi degan, sehingga tentara itu pun keder dan pulang (hal.72).
Setiap Ahad malam Senin, Kiai Shiddiq selalu mengajak santri untuk membaca Kitab Shalawat Barzanji. Suatu saat, ketika membaca Barzanji itu tampak hadir Nabi Muhammad SAW, sehingga kiai spontan berdiri dengan tangan bersedekap seperti orang takdzim (memberi hormat) sebagaimana saat Qiyam, sambil mata terisak-isak menangis. Dari peristiwa itu, setiap Ahad malam Senin di Pesantren Talangsari dan pesantren yang diasuh dzurriyah Kiai Shiddiq selalu melakukan sholawatan yang populer dengan Diba’an itu.
Disebut Diba’an karena syair shalawat yang dibaca merupakan karya Syaikh Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Achmad bin Umar Ad-Diba’i Asy-Syaibani dan diselingi membaca syair shalawat karya Syaikh Muhammad bin Ja’far bin Husin bin Abdul Karim, bin Muhammad Al-Barzanji (Irak). (hal.79-80).
Bab berikutnya (Bab III sampai VII), buku ini mengupas Dzurriyah Kiai Shiddiq yang memiliki peran penting di masyarakat, diantaranya Kiai Achmad Qusyairi (kiai salaf yang produktif menulis kitab/hal.100), Kiai Mahfudz Shiddiq (kiai yang memajukan NU se-Indonesia/hal.110), Kiai Achmad Muhammad Hasan alias Kiai Achmad Shiddiq (pemikir ideologi Pancasila yang sufi, bintang Muktamar NU Situbondo/hal.134), dan Kiai Ali Mansur (pengarang Shalawat Badar/hal.163).
Selanjutnya, Kiai Dhofir Salam (kiai pendiri Sekolah Islam dan pebisnis/hal.174), Kiai Abdullah Shiddiq (kiai pejuang kemerdekaan dan politisi/hal. 195), Bin Mahmud Shiddiq (keturunan Sultan Hadi Wijaya/hal. 210), Kiai Abdul Halim Shiddiq (muballigh penyebar dakwah/hal.221), Kiai yang Syadid, Kuat, Berani, dan Teguh Pendirian/hal. 229), Kiai Yusuf Muhammad (muballigh politik), Kiai Thoyfur (muballigh politisi yang santun/hal.250), dan Kiai Hamid (waliyullah/hal.264).
Ya, buku Kiai Shiddiq dan sejumlah dzurriyahnya yang banyak berperan dalam masyarakat itu dapat menjadi rujukan tak terbantahkan tentang peran para ulama NU dalam kancah perjuangan hingga kemerdekaan dan pembangunan, apalagi buku itu memiliki referensi historis cukup kuat, berupa foto-foto era 1970-an atau sebelumnya dari Data Arsip Nasional maupun dokumen kegiatan NU (ejaan lama). (*/my)