Surabaya (Radar96.com) – Wakil Ketua PWNU Jatim Dr . H . Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) menyatakan keputusan maju-mundur pelaksanaan Muktamar NU terkait Masa Pandemi Covid-19 seyogyanya dikembalikan kepada Rais Am bersama para Rais melalui rapat pimpinan PBNU.
“Menanggapi polemik tarik ulur sekitar pelaksanaan muktamar NU tahun 2021 di Lampung, kita seyogyanya mendudukkan persoalan ini secara obyektif sesuai hukum tertinggi organisasi yaitu AD ART yang berlaku di Jam’iyyah Nahdlatul Ulama,” katanya di Surabaya, Senin (22/11/2021).
Sejak NU didirikan pada tahun 1926, sebetulnya organisasi tersebut telah mengukuhkan diri untuk berada di bawah komando para ulama. Hal itu terlihat dari nama organisasi yakni Nahdlatul Ulama yang berarti ‘kebangkitan ulama’.
KH Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU dikukuhkan sebagai Rais Am pertama bergelar ‘Rais Akbar NU’, kemudian secara bergantian Rais ‘Aam dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan merupakan figur yang paling dihormati di kalangan NU.
Struktur kepengurusan di Nahdlatul Ulama (NU) bisa dibilang agak berbeda dengan organisasi lainnya. Jika diartikan secara gamblang, maka NU memiliki dua ‘Ketua Umum’ dengan adanya posisi Rais ‘Aam dan Ketua Umum itu sendiri. Bagaimana bisa?
“Rais ‘Aam (atau Rais Am) diambil dari bahasa Arab yang berarti Ketua Umum, tetapi dalam tradisi NU, Rais Am dipakai sebagai jabatan kepala pemimpin lembaga tertinggi Majelis Syuriyah yang beranggotakan para Kiai besar NU, sementara itu Ketua Umum lebih kepada tanfidziyah (pelaksana) yang beranggotakan pengurus seperti organisasi lainnya,” katanya.
Pengasuh Pesantren An-Nur, Bululawang, Malang itu menjelaskan Rais Am adalah pemimpin tertinggi dan ketua umum yang sebenarnya dalam tradisi NU. “Namun ketika NU bermetamorfosis sebagai partai politik tahun 1955, peran Ketua Umum (tanfidziyah) menjadi jauh lebih menonjol bahkan sangat populer mengalahkan Rais Am,” katanya.
Secara umum hukum organisasi tertinggi adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Dalam Anggaran Dasar NU Bab VII pasal 14 ayat 3 disebutkan bahwa Syuriyah adalah pemimpin tertinggi Nahdlatul ulama.
Selanjutnya, dalam Pasal 58 ART ayat 1 A disebutkan bahwa kewenangan Rais Am adalah mengendalikan kebijakan umum organisasi.
“Dari sini jelaslah bahwa pengambilan keputusan muktamar seharusnya diserahkan kepada Rais Am selaku pemimpin tertinggi di organisasi NU, Rais Am memiliki kewenangan tertinggi dalam Mahkamah Ishlah Nahdlatul Ulama untuk menyelesaikan sengketa internal organisasi. Dalam AD ART tidak dikenal istilah Majlis Tahkim,” katanya. (*/pna)