Bandar Lampung (Radar96.com) – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof Mohammad Nuh mengingatkan empat hal yang harus diperhatikan Jamiyyah Nahdlatul Ulama menjelang umur yang akan memasuki fase satu abad.
“Empat hal ini perlu dipertimbangkan untuk dibahas dalam sidang komisi pada muktamar mendatang,” kata Ketua Steering Committee (SC) Muktamar Ke-34 NU ini saat mengunjungi UIN Raden Intan Lampung, Rabu (25/11/2021).
Pertama, terkait dengan bonus demografi. Mayoritas penduduk Indonesia jelasnya, merupakan umat Islam, dan mayoritas umat Islam di Indonesia merupakan warga NU. Dari jumlah tersebut, mayoritas bonus demografi merupakan pemuda NU yang harus dididik dan diarahkan demi menjadi bonus yang bermanfaat untuk bangsa dan agama.
“Jika tidak dikelola dengan baik, nanti anak muda bukan menjadi bonus, namun menjadi disaster (bencana) karena tidak berkualitas,” tegas mantan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia itu.
Kedua, adalah teknologi digital. Hal ini sangat vital di era modern saat ini karena setiap individu membutuhkan teknologi digital untuk mendukung kegiatan sehari-hari. Perubahan zaman, berupa derasnya perkembangan teknologi digital ini, harus dihadapi dan dikuasai warga NU guna mempermudah aktivitas sehari-hari.
“Dulu saat bahtsul masail kita tinggi-tinggian kitab, sekarang cukup simpan, dan buka di gadget,” ujarnya.
Ketiga adalah mobilitas vertikal atau peralihan individu dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya. Dia menjelaskan, NU merupakan organisasi besar dan akan terus tumbuh, sehingga perlu dipersiapkan sumber daya manusia yang bagus demi menjadi rumah besar khususnya bagi warga NU itu sendiri.
“Dulu mencari professor (NU) susah banget, sekarang profesor sudah banyak. Dengan SDM yang mumpuni, NU akan menjadi rumah yang besar bagi nahdliyin,” lanjutnya.
Keempat, adalah perubahan iklim dimana fenomena merupakan tanggung jawab setiap individu. Sebab mayoritas masyarakat Indonesia merupakan nahdliyin, maka NU memikirkan bagaimana pengentasan permasalahan tersebut. Segenap pengurus dan warga NU diharapkan bisa memberi sumbangsih pemikiran strategis demi nasib NU ke depan dan kemaslahatan bersama.
“Kita ingin tidak hanya institusi perguruan tinggi, namun pondok pesantren dan lembaga kajian juga dapat memberikan gagasan terkait NU 100 tahun ke depan,” katanya saat kunjungan yang diterima langsung oleh Prof Moh Mukri, Rektor UIN Lampung itu.
Memihak Rakyat Kecil
Rencananya, Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) juga akan membahas soal aturan pertanahan yang hingga kini dinilai belum atau bahkan tidak memihak rakyat kecil. Aturan mengenai pertanahan termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, serta UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
“Yang kita sorot adalah soal pemanfaatan lahan dan praktiknya selama ini bahwa undang-undang kita tidak (atau) belum berpihak kepada rakyat kecil,” ujar Ketua Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah Muktamar ke-34 NU KH Mujib Qulyubi setelah rapat komisi di lantai 5 Gedung PBNU Jakarta, Selasa (23/11/2021).
Menurutnya, para transmigran di daerah-daerah yang telah bertahun-tahun menggunakan dan membabat lahan, ternyata banyak yang belum mendapatkan legalitas izin berupa sertifikat tanah.
“Tetapi begitu ada konsorsium atau perusahaan besar yang akan memakai tanah itu, maka diberikan izin memanfaatkan lahan walaupun dalam waktu tertentu. Tetapi itu kan keluar. Sementara yang capek-capek dan payah-payah membuat lahan dari awal, sampai sekarang terkatung-katung dan tidak jelas keberadaan tanah itu,” terang Kiai Mujib.
Karena itu, ia menilai tepat jika NU sebagai organisasi membahas mengenai persoalan tanah ini dalam gelaran muktamar mendatang. Kiai Mujib menegaskan, NU memiliki tugas untuk terus berpihak dan mengedukasi rakyat kecil yang dirugikan oleh peraturan tersebut.
“(NU) harus ada pembelaan kepada mereka-mereka yang ‘terugikan’ dalam tanda kutip oleh peraturan Reforma Agraria ini,” terang Kiai Mujib. Ia menjelaskan bahwa persoalan tanah ini sangat penting untuk disorot dan dibahas agar peraturan negara benar-benar mampu berpihak kepada rakyat kecil.
Selain Komisi Qanuniyah, persoalan pertanahan ini juga akan dibahas di komisi bahtsul masail yang lain. “Insyaallah soal tanah ini bukan hanya qanuniyah tetapi juga waqi’iyah dan maudhuiyah akan mengeroyok akan memunculkan soal-soal tanah ini dengan problematikanya dari berbagai perspektif masing-masing,” pungkasnya.
Laporan Konflik Agraria 2020, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat, sepanjang 2020 telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat berbagai praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik itu tersebar di 359 kampung atau desa, melibatkan 135.337 kepala keluarga di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.
Letusan-letusan konflik itu terjadi di semua sektor. Sektor perkebunan menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi sebanyak 122 letusan konflik, disusul sektor kehutanan (41), pembangunan infrastruktur (30), bisnis properti (20), pertambangan (12), fasilitas militer (11), pesisir dan pulau-pulau kecil (3), serta agribisnis (2).
Sebanyak 30 provinsi terdampak konflik agraria. Pulau Sumatera mendominasi konflik agraria yang terjadi. Lima besar provinsi dengan letusan konflik agraria terbanyak terjadi di Riau sebanyak 29 letusan konflik, Jambi (21), Sumatra Utara (18), Sumatra Selatan (17) dan Nusa Tenggara Timur 16 letusan konflik. (*/NUO)
Sumber:
*) https://nu.or.id/nasional/jelang-satu-abad-empat-hal-yang-harus-diperhatikan-nu-menurut-prof-nuh-1Uwgi
*) https://nu.or.id/nasional/tak-memihak-rakyat-kecil-muktamar-nu-bakal-bahas-reforma-agraria-XKII2