Kabupaten Malang (Radar96.com) – Pengasuh Pondok Pesantren Salaf Qur’an (PPSQ) Asyadzili Sumber Pasir, Malang, KH. Abdul Mun’im, menegaskan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) adalah “pesantren besar” bagi ulama dan umat nahdliyyin, karena itu NU harus menjadi “rumah bersama” yang membuat ulama dan umat menjadi nyaman di dalamnya, karena itu bukan jadi ajang kontestasi.
“Harus dipertegas kembali bahwa pesantren adalah NU kecil dan NU adalah pesantren besar, jangan lupa bahwa mengurus NU adalah merawat semangat kebangkitan ulama dan umat dalam menjaga spirit perjuangan para masyayikh kita,” katanya disela-sela acara Majelis Sholawat Dalailul Khoirot, Kamis (2/12/2021).
Menurut dia, NU dan Pesantren tak terpisahkan, keduanya menjadi embrio cikal bakal kekuatan yang harus mengakar dalam kesadaran berjam’iyah para nahdhiyin, harus ada pakem besar yang dijaga, kesepakatan aturan main di dalamnya, agar hasil dari konferensi NU melahirkan kepemimpinan yang mumpuni dan berwibawa.

“NU harus kembali menjadi rumah besar yang nyaman bagi segenap warga masyarakat nahdliyyin didalamnya, sebab tujuan awal didirikan NU memang sebagai wadah perjuangan para ulama dalam berdakwah, membina serta menjaga umat (warga NU), mengajarkan Islam Aswaja serta tujuan membentuk karakter akhlak mulia dalam konteks bermasyarakat, bernegara, berbangsa dan bertanah air,” katanya.
Oleh karena itu, Kebangkitan NU tidak bisa dilepaskan dari pesantren, sebab pesantren adalah alasan berdirinya NU, pesantren sebagai basis pendidikan agama, sekaligus juga pesantren sebagai poros pendidikan calon manusia mulia, sebab didalamnya diprioritaskan pendidikan akhlak, pendidikan moral, pendidikan etika, maka bisa dipastikan pesantren adalah penempaan lahir batin menuju umat yang diharapkan Rasulullah.
“Sejatinya NU adalah refleksi kebangkitan Ulama, sedangkan kita paham benar bahwa ulama’ adalah para pewaris nabi Muhammad SAW, yang melanjutkan keberlangsungan ajaran-ajaran Nabi dalam menata umat manusia menjadi insan kamil,” katanya.
Ia menambahkan NU harus kembali ada marwah yang dibangun dari kesadaran bersama bahwa sesungguhnya NU itu rumah Kyai dan warga Nahdhliyin, rumah penerus kanjeng Nabi, didalamnya umat harus dibikin betah untuk berteduh dan bersandar pada NU, jangan dibikin gusar dan bingung.
“Jadi, NU bukan hanya ajang untuk kontestasi, politisasi, yang ujung-ujungnya saling menghalalkan segaa cara, jangan sampai akhirnya ujung-ujungnya NU hanya menjadi ruang stempel legalitas politik praktis menjelang Pileg, Pilpres hingga Pilkada, eman NU-nya,” kata kyai Alumni Ploso itu.
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Dakwah dan Pendidikan Islam (MADANI), Ustadz Ainul Yaqin, memaparkan bahwa sudah bisa dipastikan NU harus kembali pada posisi dan tujuan awal didirikannya NU, yang mampu menjawab segala tantangan zaman yang semakin kompleks, karenanya kejernihan dan kemandirian para pengemban amanah NU didalamnya sangat penting, kemurnian dalam setiap kebijakan para pemangku NU menjadi taruhan marwah NU.
“Kebijaksanan para kyai didalamnya akan berimplikasi langsung pada kesetiaan warga nahdhliyin nantinya. Jika kita melihat sejarah, dahulu, Rais Akbar NU, KH. M Hasyim Asy’ari mencetuskan fatwa Resolusi Jihad. Itulah yang menjadi pemicu perjuangan kiai dan santri pesantren untuk mempertahankan kemerdekaan dari penjajah yang mencoba masuk kembali ke Indonesia, ada energi besar yang mengalir dan membersamai sebuah harapan dan tujuan,” katanya.
Kemerdekaan itu bisa dimaknai kebebasan dan kedaulatan mengelola jam’iyah, konteksnya juga dapat dimaknai bagaimana memosisikan diri kita sebagai bagian dari NU yang mandiri, berwibawa dan bermartabat sebagai organisasi, pola penyampaian Islam wasathiyah yang menjamah ruang-ruang egaliter, mengimplementasikan sebagai bagian dari penerjemahan syi’ar dan dakwah Islam rahmatan lil “alamin, sehingga nilai kewibawaan Jam’iyah NU benar-benar kokoh dan tidak terdegradasi akibat langkah-langkah kerdil.
Inisiator dan pendiri BAANAR (Badan Ansor Anti Narkoba) Nasional itu menjelaskan sakralitas NU sepatutnya tetap terjaga, diantaranya NU yang tetap kokoh, sesuai khittah 1926, NU harus dikembalikan sebagai semangat persatuan (Al-Ittihad), persatuan dan kesatuan tujuan membangun peradaban bangsa, denan segala tujuan dan orientasi untuk kemaslahatan, tidak bisa condong sebelah, sebab peran NU sangat penting dalam melestarikan semangat persatuan bangsa dan tanah air yang sangat luar biasa. (*/pna)