Oleh Ahmad Inung *)
Kalimat tanya yang menjadi judul tulisan ini mestinya hanyalah sebuah kalimat biasa. Apa yang aneh dengan kalimat itu? Tidak ada. Tapi, kalimat itu telah menjadi sejarah. Itu bukan hanya kalimat tanya, tapi tuntutan dari seorang Muhammad Ali terhadap lawannya, Ernie Terrell, dalam sebuah pertarungan tinju perebutan kelas berat di tahun 1967.
Muhammad Ali muda (masih Bernama Cassius Clay) sebetulnya bersahabat baik dengan Ernie Terrell. Pada Februari 1962, keduanya bahkan melakukan perjalanan bersama ke Miami untuk sparring bersama selama satu minggu. Sebagai dua orang petinju yang sedang naik daun, keduanya sedang mempersiapkan pertarungan masing-masing.
Setelah menyelesaikan latihan, keduanya pulang dengan mengendarai mobil Cadillac warna merah milik Ali, menempuh perjalanan sejauh 1.000 mil. Sebelum pulang ke rumahnya di Chicago, Terrell menginap dulu di rumah Ali. Ini adalah gambaran sempurna dari persahabatan dua orang yang sedang berkarier di cabang olah raga yang penuh dengan kekerasan.
Tapi persahabatan itu runtuh lima tahun kemudian, ketika mereka berhadapan dalam sebuah pertandingan unifikasi gelar. Semua bermula dari sebuah nama. Sebelum merebut gelar kelas berat milik Sonny Liston pada pertarungan tinju di Miami, 1964, Ali telah menjadi seorang mualaf dan masuk ke dalam organisasi Nation of Islam pimpinan Elijah Muhammad. Setahun setelah memenangkan medali emas pada Olimpiade Musim Panas 1960, Muhammad Ali mulai bergabung dengan Nation of Muslim.
Di Tengah situasi politik Amerika Serikat yang sedang bergejolak dan tuduhan terhadap Nation of Islam sebagai kelompok ekstremis antikulit putih, pertarungan Ali melawan Liston hampir saja dibatalkan. Ali tidak mau memberi komentar apapun tentang hal itu. Sampai saat itu, nama resmi Ali masih Cassius Clay. Namun pada 6 Maret 1964, dia mengumumkan secara terbuka bahwa dia akan mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.
Perubahan nama itu juga memancing kontroversi yang tidak kalah hebatnya. Banyak orang Amerika yang menganggap perubahan nama itu adalah sebuah pengkhianatan terhadap negara dan tradisi Amerika Serikat. Namun Ali bersikukuh. Pernyataan Ali yang sangat terkenal adalah “I am free to be who I want to be” (Aku bebas menjadi siapa yang aku inginkan),” yang dinyatakan dalam jumpa pers sehari setelah kemenangannya melawan Liston.
Sebelum nama Muhammad Ali secara resmi digunakan, dia telah mengganti nama akhir ‘Clay’ dengan X, sehingga menjadi Cassius X, sebagaimana mentornya dalam gerakan Nation of Islam, Malcolm X. Dalam berbagai wawancara, Ali menyatakan bahwa nama Caly adalah nama budak yang diberikan oleh orang kuit putih kepada orang kulit hitam. Dia tidak ingin lagi dipanggil dengan nama Clay. Dia bukan seorang budak dan tidak ingin mempertahankan nama budak yang diberi oleh Tuan Kulit Putih.
“Why should I keep my white slave master’s name visible and my black ancestors’ invisible, unknown, unhonored? (Mengapa saya harus tetap mempertahankan nama budak pemberian tuan kulit putih dan membuat nama yang diwariskan nenek moyak saya menjadi hilang, tidak dikenal, dan tidak dihormati?),” jelasnya. Itulah kisah panjang di balik perseteruan Ali dan Terrell.
Dalam sesi jumpa pers, Terrell memanggil Muhammad Ali dengan panggilan Clay. Muhammad Ali marah dan menuntut Terrell untuk memanggilnya Muhammad Ali. Terrell bersikeras memanggilnya Clay. Kemarahan Ali terbakar karena merasa dilecehkan. Api kemarahan itu terus membara sampai pada pertarungan tinju yang sangat brutal.
Pertarungan tinju antara Ali vs Terrell dilaksanakan pada 6 Februari 1967, di Astrodome, Houston, Texas, Amerika Serikat. Dalam pertarungan yang dipimpin wasit Harry Kessler itu, Ali tidak ingin meng-KO Terrel. Baginya, memberi KO Terrell terlalu baik. Selama 15 ronde, Terrel dihujani pukulan yang meninggalkan kerusakan wajah yang menyakitkan dan memalukan.
Di setiap ronde, sambil memukuli wajah Terrell, Ali melontarkan kalimat, “What’s my name.” Itu tidak hanya kalimat tanya. Itu adalah kalimat tuntutan. Dia ingin dipanggil dengan nama yang dipilihnya: Muhammad Ali.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kisah ini? Di dalam al-Qur’an, ada satu ayat yang secara jelas melarang kita untuk memanggil seseorang dengan panggilan yang tidak disukai. Larangan itu ada dalam surah al-Hujurat, ayat 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”
Mari kita melihat ulang bab al-nuzul ayat 11 surah al-Hujurat di atas. Ada tiga riwayat yang menjadi latar belakang turunnya ayat di atas. Pertama, suatu hari Abu Dzar mendapati Nabi Muhammad sedang berselisih dengan seseorang. Melihat itu, Abu Dzar memanggil orang tersebut dengan panggilan “Hai anak Yahudi”. Mengetahui hal itu, Nabi Muhammad menegur Abu Dzar agar tidak melakukannya.
Kisah kedua, di zaman Rasul, beberapa orang Yahudi dan Nasrani masuk Islam. Ketika beberapa sahabat memanggil mereka dengan panggilan “Hai orang Yahudi!” dan “Hai orang Nasrani!”, Rasul tidak berkenan.
Ketiga, dikisahkan bahwa suatu hari Rasul Muhammad mendatangi sekelompok orang dari Bani Salamah. Pada saat itu, semua anggota kelompok itu memiliki dua atau tiga nama julukan. Nabi Muhammad memanggil salah seorang dari kelompok tersebut dengan salah satu nama julukan yang dimilikinya karena menganggap hal itu sudah biasa di antara mereka. Saat itu ada yang mengingatkan Rasul agar tidak memanggil orang tersebut dengan julukan itu karena pemiliknya sesungguhnya tidak menyukainya.
Jika kita merasa bahwa memanggil nama seseorang dengan panggilan yang tidak disukai adalah masalah sepele, apakah kita akan menganggap bahwa ayat yang melarang memanggil seseorang dengan panggilan buruk hanyalah kenyinyiran Allah? Tentu kita tidak akan menganggap ada satu ayat dalam al-Qur’an yang diturunkan Allah dengan kesia-siaan.
Kitalah yang perlu melihat ulang sikap kita dalam memperlakukan orang lain, termasuk dalam cara kita memanggilnya. Sebagaimana Ali, setiap orang berhak menentukan siapa dirinya. Nama adalah salah satu hal yang sangat penting bagi seseorang untuk menentukan siapa dirinya.
Siapa saja berhak untuk mengganti namanya dan menuntut orang lain untuk memanggil nama yang telah dipilihnya. Kita tidak memiliki alasan untuk memanggil seseorang dengan nama atau gelar yang tidak disukainya. Panggilan yang tidak dikehendaki oleh orang yang dipanggil itu tidak hanya sebuah dusta, tapi juga sangat menyakitkan hati. Lalu mengapa kita saat ini begitu berbahagia dan berbangga hati ketika menyebut seseorang dengan nama yang tidak disukainya?
Ironinya, kita melakukan itu sambil tetap merasa sebagai orang yang paling baik, terdidik, bermoral, dan beradab.
*) Penulis Ahmad Inung adalah Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kemenag
*) Sumber: https://arina.id/perspektif/ar-P729K/what-s-my-name-