Dalam beberapa artikel ke depan, secara khusus kita akan ngaji bersama-sama tentang hakekat makna BISMILLAH. Untuk membahas makna dimaksud pun, tidak serta merta membahas makna Bismillahirrahamanirrahim secara umum alias gelondongan. Pembahasan ini oleh sang guru dipreteli (dirinci) atau dikoceki (diurai) satu persatu. Artikel ini dimulai dengan membedah Bismillah dari satu huruf pertama, yakni ba’. Huruf ba’ dalam rangkaian kalimat Bismillah diartikan: “dengan menyebut…”.
Penulis berkesempatan merangkai khulasoh ngaji ini atas seizin sang mursyid. Seperti ada semacam “privellage,” penulis diberi hak untuk merangkum ulasan ngaji tanpa harus menunjukkan identitas atau sebutan nama sang mursyid. Karena itu, sepenuhnya ulasan dalam artikel ini menjadi tanggung jawab ilmiah penulis. Jikalau ada yang beda pemikiran dapat di-counter attack dalam bentuk artikel juga.
Seperti ngaji sebelumnya, para jamaah dibuat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak. Selama ini, Bismillah hanya diartikan secara sederhana atau tekstual yang diartikan “Dengan menyebut nama Allah.” Dalam pandangan sang guru, makna tersebut secara hakiki luar biasa mendalam, bahkan menempati kata kunci tauhid secara keseluruhan yang cakupannya sangat luas dan mendalam. “Sederhana yo. Sawangane sepele. Ngajine cukup ba’,” kata sang guru setengah bercanda mulai mengupas hakekat Bismillah. Untuk memahami makna dimaksud, artikel part 1 ini dimulai dengan membahas makna ba’ dari rangkaian Bismillah ini.
“Kon tah, isok ngaji Bismillah wes apik,” kata sang guru mengenang statement Gus Syamsu sebagai gurunya di era akhir 1990-an. Statement Gus Syamsu yang tidak lain adalah mursyid Shalawat Kubro di Surabaya, hanya berhenti pada statement saja. Ia tidak lantas mengurai secara panjang lebar. Dawuhnya seperti ditelan bumi yang hanya dikenang di kepala tiap-tiap murid atau jamaah di era 1990-an itu tanpa penjelasan, interpretasi, atau tafsir. Baru di era muridnya yang sekarang menjadi mursyid mulai dikupas satu persatu hakekat makna tersebut.
“Allah itu tidak terbatas dan tidak ada batasnya. Kita menyebut nama Allah sebatas koridor yang kita tahu,” tegas sang mursyid mulai melanjutkan kupasan makna bismillah dari huruf ba’. “Tapi, yang sesungguhnya kita sebut dengan asma’ masih dalam batasan. Kita sebut siapapun boleh. Makanya, di situ dengan menyebut….,” tambahnya dengan maksud mengurai makna ba’ dalam rangkaian kalimat bismillah.
“Jadi apapun yang disebut….(untuk merujuk Allah) itu dalam batasan. Andaikan kamu ditunjukkan Allah yang tidak ada batasnya, mati wes,” tegasnya, untuk kali ini dengan mimik wajah yang serius. Sampai di sini, Kyai Mansyur, salah seorang jamaah, menyela dengan mengisahkan dialog antara Nabi Musa dengan Allah, karena ingin melihat wujud Allah dalam arti sebenarnya. “Kalau Nabi Musa bisa menyaksikan dalam bentuk wujud atau apapun, Allah tidak akan menampakkan wujud karena masih terlihat dalam kata batas,” terang sang mursyid.
Kembali kepada tema awal, huruf ba’ atau dengan menyebut, menunjukkan bahwa setiap dan seluruh penyebutan hakekatnya adalah unsur atau bagian. “Awak dewe iki ngaji bismillah loh yo. Dengan menyebut….,” Belum selesai melanjutkan kalimat, tiba-tiba ada jamaah yang nyeletuk berucap: “Nama Allah. “Ojok sampek tutuk jeneng (asma’) disik. Karena nama nanti bisa jadi paten. Tapi, kalau sebutan sudah pasti ada,” tandas sang mursyid.
Untuk menjelaskan makna ba’ (dengan menyebut), lantas sang mursyid mengambil sebatang rokok yang diambil dari 1 (satu) bungkus rokok. “Ini apa,” tanyanya kepada jamaah. “Rokok,” jawab jamaah kompak. “Satu saja. Berapa banyak sebutan?,” jelasnya sambil merujuk sebatang rokok yang dari sebatang rokok saja terdapat banyak sekali sebutan sebelum sampai kepada nama rokok atau sebatang rokok. Banyaknya sebutan dimaksud merujuk kepada; gabus, kertas, cengkeh, tembakau, tar, nikotin, saos, rasa, bau, latu, dan seterusnya. “Kalau semua digabungkan namanya apa?,” kembali sang guru bertanya. “Rokok,” jawab para jamaah kembali. “Berapa banyak sebutan,” tanyanya kembali merujuk kepada hakekat sebatang rokok yang tetap dipegangnya.
“Dipikir gampang gitu tah,” simpulnya sembari diikuti gelak tawa para jamaah tanpa dikomando. “Kok gampange sampeyan menyebut La Ilahaillallah Muhammad Rasulullah, bismillahifrahmanirrahim. Makanya, guruku biyen ngomong ngene tok gus, kon tah isok ngaji bismillahirrahmanirrahim wes apik,” kenangnya mengutip gurunya, Gus Syamsu di era 1990-an itu. “Bisa dengan mudah dalam kata sebutan. Ayo, kita menyebut ini saja loh. Dereng kepanggih (asma’) Allah niki,” tandasnya dengan nada kenceng sekali.
Sampai di sini, untuk sementara dapat kita diskusikan ulang. Sebelum sampai menyebut nama atau identitas tunggal sesuatu terdapat sebutan. Sebutan dimaksud dalam pandangan sang mursyid yang tidak diperkenankan namanya diungkap dalam tulisan ini mungkin saja dapat kita artikan sebagai unsur. Unsur itu melekat dalam satu nama paten. Setiap unsur sendiri setelah disebut akhirnya memiliki nama. Gabungan dari sebutan atau unsur yang membentuk nama masing-masing berakhir kepada satu nama paten. Dalam contoh di atas, nama paten dimaksud tidak lain adalah rokok. Sebelum sampai kepada satu nama paten, yakni rokok, terdapat banyak unsur atau sebutan yang tiap sebutan ada yang bisa memiliki nama ada juga yang tidak bisa dinamai karena keterbatasan jangkauan akal atau rasio kita.
“Ini saya belum menjelaskan lillahi, belum rahman,i rahimi, dari bismillahirrahmanirrahim loh ya. Baru Bis, ba’, dengan nenyebut…,” lanjutnya. “Ngaji kok hanya ba’ atau bis,” celetuk Kyai Mansyur yang seorang kyai karena merasa terheran-heran, seraya disambut ger-geran jamaah yang hadir dalam Majelis Shalawat Muhammad, Selasa, 6 Juli 2021 malam itu. “Memang kita tidak faham dengan pengertian yang mendalam. Karena itu perlu dikupas makna bis itu,” ungkap Kyai Mansyur mengakui dengan nada polosnya.
“Sepurone seng akeh yo gus yo. Apapun yang saya sampaikan, semua tidak ada yang lepas dari apa yang didawuhkan guru-guru saya,” tegas sang mursyid meyakinkan kepada jamaah, bahwa seluruh tafsir hakekat yang disampaikan merujuk kepada para gurunya yang memang memiliki maqom sebagai bagian dari khowas al-khowas. Para gurunya memang hanya memberi kata-kata kunci saja. Selanjutnya, di era nya, tugasnya adalah lebih menjabarkan dari kata kunci-kunci yang perlu uraian atau tafsir yang lebih jelas lagi.
“Karena itu masih jauh untuk sampai kepada asma Allah sendiri,” tambahnya. “Bukankah Allah sendiri itu adalah asma’?,” tandasnya lagi. “Tutuk ba’ tok wes bingung,” kelakar seorang jamaah yang disambut ger-geran. “Jadi, setiap kita merujuk hajekat sesuatu akan ada alias-alias alias. Opo Allah tidak alias alias tah,” ungkap sang mursyid untuk kali ini diikuti raut muka jamaah setengah takut. “Hayoo….opo Allah gak alias alias alias tah? Alias rahman, alias rahim, alias ghofur, dan sebagainya,” jelasnya lagi.
“Coba sampean sinten. Rubaidi!. Kalau aku nyebut rubaidi opo aku gak nyebut Allah. Allah juga punya nama, alias alias,” terangnya lebih dalam lagi mulai dikaitkan dengan Allah. Penegasan statement ini dikaitkan dengan penyebutan di atas. Sebutan identik dengan bagian atau unsur. Sementara, kembali kepada bagian awal tulisan ini dimulai dari eksistensi, bahwa Allah tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi. Apabila merujuk kepada sebatang rokok saja memiliki sebutan-sebutan yang begitu banyak. Dari sebutan masing-masing membentuk nama tersendiri yang akhirnya membentuk satu identitas satu nama, yakni rokok.
Dari sebutan satu rokok di atas, dapat dikembangkan ke contoh yang lain. Sebut saja misalnya kertas. Dari satu nama kertas akhirnya dapat berkembang menjadi banyak sebutan. Dari sebutan ini berubah menjadi identitas nama. Dari satu nama asal kertas saja misanya bisa menjadi ratusan, ribuan, bahkan jutaan sebutan yang mungkin saja kita tidak dapat menyebutkan satu per satu. “Coba, ini apa?,” tanya sang guru lagi sambil menunjukkan tisu yang dipegangnya. “Bukankah tisu ini hanyalah sebutan yang bahan dasarnya dari kertas,” sambungnya mencontohkan dari yang satu, yakni kertas, yang akhirnya berubah menjadi sebutan-sebutan yang tidak terhingga.
Sistematika logika di atas dapat diteruskan untuk memahami hakekat Allah yang sesungguhnya masih sebatas pada nama atau asma’. Karena masih sebatas asma’ berarti belum yang hakiki atau sesungguhnya. Dibalik asma’ ada jutaan sebutan, bahkan tidak terhingga yang seluruhnya itu merujuk kepada satu asma’ Allah. Sememtara asma’ Allah pun masih belum menunjukkan yang hakiki.
Akhirnya, ngaji selama 2 (dua) jam lebih hanya mengupas tentang ba’ atau “dengan menyebut.” Ulasan dalam artikel ini tentu saja diambil garis besar alias pokok-pokoknya saja. Mungkin saja masih belum bisa difahami secara komprehensif. Di ujung ulasan, sang mursyid menyampaikan statement yang diambil dari falsafah kyai atau ulama Jawa yang memiliki cakupan makna yang sangat dalam. “Kabeh iku mung tengoro. Allah dewe asline yo tengoro. Karena Allah sendiri itu tidak terhingga. Karena apa? Dengan menyebut…..,” simpulnya. (*)