By using this site, you agree to the Privacy Policy and Terms of Use.
Accept
radar96.com | Berkarakter dan Edukatifradar96.com | Berkarakter dan Edukatifradar96.com | Berkarakter dan Edukatif
  • Home
  • Nahdliyyin
  • Sospol
  • Milenial
  • Gus File
  • Warta DigitalNew
Search
MORE MENUS
  • Kultural
  • Kolom
  • Kontrahoax
  • Ekraf
  • Tasawuf Urban
  • Berita Foto
  • Gus File
  • Inforial
  • Jatim Update
  • Opini
  • Siaran Pers
  • Tentang Kami
  • Pasang Iklan di Radar96
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Susunan Redaksi
© 2024 radar96.com. All Rights Reserved.
Reading: Kecerdasan dan Ketaatan dalam Beragama
Share
Sign In
Font ResizerAa
radar96.com | Berkarakter dan Edukatifradar96.com | Berkarakter dan Edukatif
Font ResizerAa
  • Home
  • Warta DigitalNew
  • Nahdliyyin
  • Milenial
  • Kontrahoax
  • Ekraf
  • Sospol
  • Inforial
  • Kolom
  • Kultural
  • Gus File
  • Tasawuf Urban
Search
  • Home
  • Warta DigitalNew
  • Nahdliyyin
  • Milenial
  • Kontrahoax
  • Ekraf
  • Sospol
  • Inforial
  • Kolom
  • Kultural
  • Gus File
  • Tasawuf Urban
Have an existing account? Sign In
Follow US
  • Tentang Kami
  • Pasang Iklan di Radar96
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Susunan Redaksi
© 2024 radar96.com. All Rights Reserved.
radar96.com | Berkarakter dan Edukatif > Blog > Tasawuf Urban > Kecerdasan dan Ketaatan dalam Beragama
Tasawuf Urban

Kecerdasan dan Ketaatan dalam Beragama

Radar96 Nusantara
Last updated: 29/07/2024 16:39
Tasawuf Urban 39 Views
Share
6 Min Read
SHARE

Oleh Ahmad Inung *)

أقرب الناس من درجة النبوّه أهل العلم…. ألحدىث

Artinya: “Manusia yang derajatnya paling dekat dengan derajat kenabian adalah mereka yang berilmu…” Al-Hadits. (Dikutip dari al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din)


Terlalu sering kecerdasan dipertentangan dengan ketaatan, terutama dalam beragama. Dalam kasus kehidupan keberagamaan di Indonesia, sejumlah tokoh Muslim bahkan pernah menjadi korban dari stigma ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Harun Nasution, dan Nurcholis Madjid. Anak muda (sekarang sudah menjadi bapak setengah tua) yang menjadi korban stigma ini adalah Ulil Abshar-Abdalla.

Nama-nama ini tidak hanya distigma sebagai Muslim liberal karena penggunaan rasio dalam menalar agama, tapi mereka juga pernah menjadi target fatwa kekerasan oleh kelompok yang merasa dirinya paling taat.
Dalam sejarah pemikiran Islam, banyak tokoh kredibel yang menggunakan kecerdasan dan ketajaman analisis rasionya dalam memahami Islam. Sekalipun demikian, kredibilitas ketaatannya dalam ber-Islaman terakui dari generasi ke generasi hingga ini.

Iklan.

Tak perlu mencari-cari tokoh tersebut ke kelompok Mu’tazilah yang memang dikenal sebagai para rasionalis Muslim di bidang teologi. Bahkan, di kalangan tokoh Ahlusunnah pun kita bisa menemukan tokoh yang biasa menggunakan rasionya dalam merumuskan pandangan-pandangan keislamannya. Salah satu dari tokoh itu adalah Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab fiqh Hanafi.

Imam Abu Hanifah secara umum dikenal sebagai salah satu dari imam mazhab besar yang gemar menggunakan rasionya dalam melakukan istinbath al-hukm (penggalian hukum). Begitu rasionalnya pandangan-pandangan fiqh Imam Abu Hanifah, sampai saya membayangkan, andaikan dia hidup di zaman sekarang, mungkin dia akan dihakimi sebagai liberal dan menerima fatwa seperti beberapa tokoh yang saya sebut di atas.

Salah satu pandangan Imam Abu Hanifah yang bisa diambil sebagai contoh di sini adalah pandangannya tentang sahnya pernikahan tanpa wali bagi seorang perempuan.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa seorang perempuan dewasa boleh menikahkan dirinya sendiri atau menyuruh orang lain yang bukan walinya untuk menikahkannya. Bahkan, ia bisa menjadi wali bagi perempuan lain. Ini berlaku baik itu untuk perempuan yang belum pernah menikah atau yang sudah pernah menikah.

Dari mana pendapat Imam Abu Hanifah bisa seperti ini? Ini karena perbedaan dalam memaknai istilah “ألأيم” dalam hadits yang diriwayatkan al-Turmudzi. (ألأيم أحق بنفسها من وليها), yang artinya “ألأيم lebih berhak atas dirinya daripada walinya”.

Jika kebanyakan ahli fiqh, termasuk Imam Syafi’i, mengartikan ألأيم sebagai perempuan janda, maka, Imam Abu Hanifah mengartikannya sebagai perempuan yang merdeka (bukan budak), baligh, dan berakal.

Oleh karena itu, menurut Imam Abu Hanifah, seorang perempuan merdeka yang sudah baligh dan berakal dapat menikahkan dirinya sendiri, sekalipun pernikahan tersebut tidak diakadkan oleh walinya. Hal ini berlaku pada perempuan gadis ataupun janda.

Lalu, siapakah Imam Abu Hanifah ini? Di dalam tulisan Abdurrahaman Kasdi, Rektor IAIN Kudus dinyatakan, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang ahli dalam ilmu fiqih di Irak. Dia hidup saat di Baghdad terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.

Dia masih terhitung Tabi’in, karena masih menjumpai beberapa Sahabat, yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Abi, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, dan Abu Thufail Amir bin Watsilah.

Selain itu, dia juga meriwayatkan hadits dari Atha bin Abi Rabah, Nafi’ Mawla Ibnu Umar, Qatadah, dan Hamad bin Sulaiman.

Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, al-Ghazali menceritakan kezuhudan Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli fiqh besar sekaligus seorang sufi yang agung. Dia dilukiskan sebagai pribadi yang sangat santun, yang menghabiskan malam-malamnya untuk bermunajat pada Allah.
Suatu kali Khlifah Abu al-Manshur memerintahkan kepada bendahara negara untuk memberi uang 10.000 dirham kepada Imam Abu hanifah. Namun, sang Imam tidak mau menerimanya.

Di hari ketika utusan khalifah datang, sang Imam tetap dengan pakaian kesehariannya, tanpa ada keistimewaan penyambutan apapun. Bahkan, dia tidak mau berbicara dengan sang utusan. Utusan tersebut kemudian meletakkan uang di sudut kamar sang Imam dan kembali pulang.

Melihat ada uang yang tergeletak di kamarnya, sang Imam memberi wasiat kepada anaknya. Beginilah bunyi wasiatnya, “Kalau aku meninggal dan kalian selesai mengubur jasadku, bawalah uang ini kepada khalifah. Katakan kepadanya kalau ini adalah kekayaannya yang pernah ia simpan di kediaman Abu Hanifah”.

Wasiat itu pun ditunaikan oleh putra sang Imam. Meneladani kisah orang-orang mulia ini, semestinya membawa kita pada sebuah kesadaran bahwa kecerdasan dalam beragama tidak harus membawa kita jatuh pada hilangnya ketaatan kepada sang Pemilik Agama.

Kemuliaan Islam akan terasa agung jika ia dibangun di atas kaki kecerdasan dan ketaatan. Lalu, mengapa kita begitu mudah mencap orang sebagai Muslim bejat dan pengkhianat Islam hanya karena menggunakan akalnya dalam memahami agama? (*)

*) Inung atau Ahmad Zainul Hamdi adalah Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Kementerian Agama (Kemenag RI), Guru Besar Sosiologi Agama UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya
*) Sumber: https://arina.id/perspektif/ar-kFxfO/kecerdasan-dan-ketaatan-dalam-beragama/

Iklan.

You Might Also Like

Bahaya Menebar Kebencian

Ibrahim Inspiring dan Moderasi Beragama

Ada yang Harus Disembelih dari Hati Kita

Menghidupkan Spiritualitas Thariqat Al Qadiriyah di Dunia Modern (Catatan Muhibbah ke Baghdad)

4 golongan orang haji pada akhir Zaman

Share This Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Copy Link Print
Share
Previous Article PP Ansor Apresiasi Pelatihan Ansor Magang ke Jepang oleh Ansor Tulungagung
Next Article Seribuan GenZI Surabaya ikuti “nobar” final AFF U-19 di Masjid Al-Akbar

Advertisement

Iklan.

Iklan.

Berita Terbaru

Harkitnas 2025, Gubernur Khofifah Ajak Masyarakat Bangkit Hadapi Dampak Dinamika Ekonomi Global
Sospol
Unusa Buka Beasiswa KIP Kuliah untuk Masuk Fakultas Kedokteran
Sospol
Jatman Tulungagung Adakan Khitanan Massal Gratis
Nahdliyyin
Halal Bihalal P2N Jakarta jadi Majelis Silaturahmi dan Refleksi Pengusaha
Nahdliyyin
radar96.com | Berkarakter dan Edukatifradar96.com | Berkarakter dan Edukatif
Follow US
© 2024 radar96.com. All Rights Reserved.
  • Tentang Kami
  • Pasang Iklan di Radar96
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Susunan Redaksi
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?