Oleh DR A Rubaidi MAg *)
Mulai bagian ini hingga beberapa edisi selanjutnya, penulis akan menyajikan serial ngaji sufisme tentang tafsir al-Fatihah. Tafsir al-Fatihah akan dipreteli, alias di-break down per ayat, bahkan per kata dari rangkaian Surat al-Fatihah itu.
Seperti ngaji sebelumnya, artikel ini bersumber dari pengajian Majelis Shalawat Kubro, Shalawat Muhammad, dan Shalawat Adlimiyah dengan mursyid yang identitasnya sengaja tidak kami sebutkan di sini. Cukup dalam tulisan ini dengan nama inisial sang mursyid.
Untuk bagian pertama ini, cukup kiranya dimulai dengan membedah makna kata “alhamdulillah” dari rangkaian ayat pertama al-Fatihah.
Satu kata ini saja, setelah dikupas dalam dimensi hakekat ternyata sangat dalam sekali. Dalam perspektif sufi, jangan-jangan kebanyakan dari kita ini belum bisa mempraktekkan dan mengamalkan kata “Alhamdulillah” ini.
“Alhamdulillah-mu iku alhamdulillah opo,” ungkap sang mursyid menirukan Gus Mik (KH. Hamim Jazuli). Penggalan statement di atas terjadi, saat ada seorang santri yang menghadap ke Gus Mik karena mendapat suatu rezeki. Di hadapan Gus Mik, dia mengucapkan Alhamdulillah. Di saat itu pula, secara refleksi, Gus Mik menjawab dengan kalimat di atas itu. Bagi Gus Mik maupun para khowas al-Khowas, kata “Alhamdulillah” memiliki makna yang sangat dalam.
“Maksudnya gimana Gus? Kan sudah semestinya mengucapkan Alhamdulilah setelah mendapat rezeki,” tanya salah seorang jamaah. “Itu kan bagi orang umum. Alhamdulillah bagi orang-orang khusus tidak hanya seperti itu,” jawabnya singkat. Atas jawaban singkat itulah, para jamaah yang hadir menyimak semakin penasaran ingin mengetahui lebih lengkap lagi.
Secara hakekat seringkali kita tidak begitu peduli dengan makna kata maupun ayat al-Qur’an, lebih-lebih kata atau ayat yang tiap saat kita ucapkan. Di antaranya ya seperti kata Alhamdulillah, Bismillah, Masya-Allah, dan seterusnya. Seolah-olah, tiap individu kita telah memahami secara final makna setiap kata dimaksud.
“Kamu bisa ngaji Bismillah ae wis apik,” kenang sang guru mengingatkan hakekat makna Bismillah. Karena, hakekat makna Bismillah begitu dalamnya, bahkan inti dari tauhid atau tasawuf ada pada kata Bismillah ini (khusus makna bismillah sudah dikupas pada artikel tersendiri).
“Coba artikan kata alhamdulillah itu,” pinta sang guru. “Segala puji bagi Allah,” jawab seorang jamaah dengan santai. “Ulangi lagi,” pinta sang mursyid lagi untuk menegaskan arti kata Alhamdulillah dimaksud. Jamaah tersebut sekali lagi mengulangi arti segala puji bagi Allah. “Puja puji itu dalam pandangan yang hakiki menurut Allah itu gimana,” tanya sang guru sekali lagi sebelum menjelaskan lebih lanjut.
“Seluruh pemberian Allah, kalau kita beriman, harus kita syukuri. Dalam bentuk ucapan, ya itu tadi, Alhamdulillah. Belum lagi praktek bersyukur (alhamduliilah) dalam khaliyah nyata sehari-hari,” tegasnya. “Puja puji di sini bisa hal-hal yang baik atau buruk sekalipun. Baik bagi sampean belum tentu baik bagi Allah. Sebaliknya, buruk bagi sampean belum tentu buruk bagi Allah,” sambung sang guru dalam menjelaskan makna Alhamdulillah dimaksud.
“Bismillah wa al-Hamdulillah. Wa al-Khairu wa al-Sarru bi masyiatillah (Dengan mengucap nama Allah dan segala puji bagi Allah. Baik dan buruk itu atas kehendak Allah). Lha iku opo maknane,” ungkap sang mursyid menegaskan tentang makna alhamdulillah secara hakiki.
Ungkapan kalimat barusan masyhur bagi kalangan hakekat seperti tertuang dalam bait-bait Ratib al-Haddad. Di sinilah, makna ungkapan Gus Mik sebelumnya diuraikan.
Pemahaman Alhamdulillah di sini, bagi orang-orang khusus berbeda dengan khalayak umum. Kata Alhamdulillah hanya diucapkan atas hal-hal baik yang diterima seseorang. Padahal, secara hakekat, baik bagi manusia belum tentu baik bagi Allah. Sebaliknya, buruk bagi manusia belum tentu buruk bagi Allah. Karena itu, bagi orang-orang khusus, menempatkah lafadz atau kata alhamdulillah diucapkan dalam kondisi apapun. Baik mereka mendapat kebaikan maupun suatu hal buruk sekalipun. Dasarnya seperti dikutip di atas “Bismillah wa al-Hamdulillah. Wa al-Khairu wa al-Sarru Bimasyiatillah.”
Praktek demikian ini secara nyata dijumpai pada pribadi-pribadi orang-orang yang beriman. Makna orang beriman dimaksud direpresentasi oleh orang-orang khowas. Dalam kamus orang-orang pilihan Allah atau kekasih Allah itu tidak sekalipun dijumpai pernah mengeluh baik kepada sesama, lebih-lebih kepada Allah. Penerapan makna Alhamdulillah dalam kehidupan mereka terlihat jelas dengan sikap bersyukur, baik di saat menerima kenikmatah ataupu menerima keburukan. Karena, secara hakiki, bagi para kekasih Allah, baik dan buruk itu jadi satu. Baik-buruk itu semua datangnya (juga) dari Allah.
Kaitan dengan makna Alhamdulillah dalam wujud nyata, bagi para kekasih Allah seperti disebutkan dalam ayat al-Qur’an: “Ala inna Auliyaallahi la khaufun alaihim wa la hum yahzanun.” Bagi orang-orang khusus, dalam kondisi apapun yang diucapkan, baik secara lisan maupun batin tidak lain, adalah lafadz Alhamdulillah tersebut. Bagi mereka, seluruh pemberian Allah itu akan disyukuri. Apakah wujud pemberian itu hal yang baik atau buruk sekalipun. Tidak ada kata mengeluh, lebih-lebih kufur atas nikmat-NYA. Karena itu, tidak ada kamus takut bagi para kekasih-NYA.
Satu kata yang melekat bagi, baik dalam wujud ucapan maupun praktek adalah menjalankan makna Alhamdulillah ini.
Pemahaman maupun praktek (pengamalan) makna Alhamdulillah ini tentu saja berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Bagi masyarakat pada umumnya, ucapan alhamduliilah hanya diasosiasikan dengan hal-hal yang positif atau baik saja. Baik di sinipun lebih diasosiasikan dengan harta, benda, jabatan, pangkat, dan seterusnya. Sebaliknya, hal-hal yang dimata mereka buruk dianggapnya sebagai cobaan, ujian, bahkan adzab.
Di sinilah bedanya, baik pemahaman maupun praktek tentang alhamdulillah antara orang pada umumnya dengan para orang-orang pilihan Allah.
Pada akhirnya, salah satu ekspresi para kekasih Allah dalam memaknai dan mengimplementasikan lafadz Alhamdulillah, terutama dalam hal nikmat atau kebaikan berupa rezeki, adalah membagi-bagikan rezeki yang ada di tangannya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Di saat memberi itu, mereka tidak sekedar membaca alhamdulillah, tetap mempraktikkan makna alhamdulillah.
Sementara, kita-kita yang orang umum mengucapkan alhamdulillah saat kita menerima kenikmatan dalam bentuk rezeki materi atau jabatan saja. Sembari setelah itu, kenikmatan itu kita genggam erat dari pelukan kita, bahkan melalaikan kita dari Tuhan. Itulah sekelumit makna a
Alhamdulillah dalam pemikiran kita yang awam dengan makna yang sama bagi para pelaku tasawuf.
Kalau demikian adanya, bagaimana dengan makna alhamdulillah kita yang awam selama ini? Mari ngopi dulu sambil berfikir jernih. (*)
*) Penulis adalah penulis buku dan dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan (FTK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, yang konsens di bidang pemikiran Islam dan urban sufisme