Oleh M. Mubasysyarum Bih *)
Ada syubhat (propaganda) dari sebagian kalangan bahwa orang yang merayakan maulid Nabi tidak layak mendapatkan syafaat. Mereka mengatakan bahwa yang mendapatkan syafaat Nabi adalah orang-orang yang men-tauhid-kan Allah.
Pendapat mereka berlandaskan pada hadits Nabi ﷺ:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh, beliau berkata, Ya Rasulallah siapa orang yang paling beruntung mendapatkan syafaatmu di hari kiamat? Nabi menjawab, wahai Abu Hurairah, sungguh aku menduga belum ada seorang pun yang bertanya sebelum kamu yang menanyakan hal tersebut, karena aku mengetahui kecintaanmu kepada hadits. Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang berkata Lâ ilâha illa Allâh dengan tulus dari hatinya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Dalam hadits tersebut, menurut mereka, tidak menyebutkan orang yang merayakan maulid, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang mendapatkan syafaat adalah orang yang bertauhid, bukan orang yang merayakan maulid. Benarkah anggapan demikian?
Merayakan maulid merupakan luapan kegembiraan atas terlahirnya Nabi Muhammad ﷺ di dunia. Bergembira atas kelahiran Nabi manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang yang beriman, namun juga oleh non-Muslim.
Di setiap hari Senin, Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia senang atas kelahiran Nabi, bahkan Abu Lahab memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah al-Aslamiyyah untuk menyusui Nabi.
Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan:
قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
“Urwah berkata, Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Ia dimerdekakan oleh Abu Lahab, untuk kemudian menyusui Nabi. Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya bermimpi bahwa Abu Lahab mendapatkan siksa yang buruk. Di dalam mimpi itu, Abu Lahab ditanya. Apa yang engkau temui? Abu Lahab menjawab, aku tidak bertemu siapa-siapa, hanya aku mendapatkan keringanan di hari Senin karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah.”
Hadits ini juga disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, al-Imam Abdur Razzaq dalam kitab al-Mushannaf, al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail, al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah, al-Hafizh al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, Ibnu Hisyam al-Suhaili dalam al-Raudl al-Anuf, dan al-Imam al-‘Amiri dalam Bahjah al-Mafahil.
Meski merupakan hadits mursal, namun hadits ini tetap dapat diterima riwayatnya, sebab al-Imam al-Bukhari sebagai pakar hadits yang otoritatif mengutipnya dalam kitab al-Shahih, demikian pula para ulama, para penghafal hadits berpegangan pada riwayat tersebut. Di sisi yang lain, hadits tersebut tidak berbicara halal-haram, namun berkaitan dengan sejarah, sehingga tetap bisa dibuat hujjah.
Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menegaskan:
وهذه الرواية وإن كانت مرسلة إلا أنها مقبولة لأجل نقل البخاري لها واعتماد العلماء من الحفاظ لذلك، ولكونها في المناقب والخصائص لا في الحلال والحرام وطلاب العلم يعرفون الفرق في الاستدلال بالحديث بين المناقب والأحكام
“Meski riwayat ini mursal, namun dapat diterima, karena al-Bukhari mengutipnya, ulama dari kalangan huffazh (penghafal hadits) juga berpegangan dengan riwayat ini, dan karena riwayat ini menjelaskan manaqib dan kekhasan seseorang, bukan urusan halal-haram. Para penuntut ilmu tentu mengetahui perbedaan antara mengambil dalil hadits di antara tema manaqib dan hukum.” (Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal.14).
Bila Abu Lahab sebagai non-Muslim yang sangat memusuhi Nabi di sepanjang hidupnya, mendapatkan dispensasi siksa atas kegembiraannya merayakan momen kelahiran (maulid) Nabi, bagaimana dengan seorang Muslim yang merayakannya? Dalam hal ini, al-Hafizh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Damasyqi, sebagiamana dikutip Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan:
إذا كان هذا كافرا جاء ذمــــــــه * بتبت يداه في الجحيم مخلدا
“Bila Abu Lahab ini adalah seorang non-Muslim yang jelas dicela dalam ayat ‘tabbat yada’, ia kekal di neraka Jahim.”
أتى أنه في يوم الإثنين دائمـــــــا * يخفف عنه للسرور بأحمدا
“Ia mendapatkan keringanan siksa di setiap hari Senin, karena gembira atas kelahiran Nabi Ahmad.”
فما الظن بالعبد الذي طول عمره * بأحمد مسرورا ومات موحدا
“Bagaimana dugaanmu terhadap seorang hamba yang bergembiara atas kelahiran Nabi Ahmad di sepanjang umurnya dan mati dalam keadaan bertauhid?”. (Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal. 14)
Dalam sudut pandang yang lain, perayaan maulid bukan terbatas seremonial atau perkumpulan biasa, namun dimaksudkan untuk memupuk rasa cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ. Merayakan maulid adalah upaya untuk memperkuat hubungan kita dengan al-janab al-nabawi (sisi kenabian). Sehingga rasa cinta kepada Nabi menjadi hal yang terpatri pada diri setiap Muslim.
Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan:
ليس المقصود من هذه الاجتماعات مجرد الاجتماعات والمظاهر بل ان هذه وسلة شريفة الى غاية شريفة وهي كذا وكذا ومن لم يستفد شيأ لدينه فهو محروم من خيرات المولد الشريف
“Tujuan perkumpulan ini bukan sebatas perkumpulan dan seremonial belaka, namun menjadi perantara mulia untuk maksud yang mulia, ini dan itu. Barangsiapa yang tidak mendapatkan faidah untuk agamanya, maka ia terhalang dari kebaikan-kebaikan maulid Nabi yang mulia.” (Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal.10).
Mencintai Nabi memiliki keutamaan yang luar biasa. Di antaranya kelak di akhirat akan dikumpulkan bersama beliau di akhirat. Ada salah seorang sahabat mengadu kepada Nabi, ia tidak rajin shalat, puasa dan sedekah, ia hanya punya modal kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi memberikan jawaban yang menggembirakan, bahwa sahabat tersebut kelak akan dikumpulkan bersama Nabi di hari kiamat. Bagaimana mungkin ia dikumpulkan bersama Nabi bila ia tidak mendapatkan syafaat sang Nabi? Dalam sebuah hadits dijelaskan:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلَاةٍ وَلَا صَوْمٍ وَلَا صَدَقَةٍ وَلَكِنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Dari sahabat Anas, sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, kapan hari kiamat terjadi ya Rasul? Nabi bertanya balik, apa yang telah engkau persiapkan? Ia menjawab, aku tidak mempersiapkan untuk hari kiamat dengan memperbanyak shalat, puasa dan sedekah. Hanya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya. Nabi berkata, engkau kelak dikumpulkan bersama orang yang engkau cintai.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Mengomentari hadits tersebut, al-Imam al-Nawawi mengatakan:
فيه فضل حب الله ورسوله صلى الله عليه و سلم والصالحين واهل الخير الاحياء والاموات ومن فضل محبة الله ورسوله امتثال امرهما واجتناب نهيهما والتأدب بالآداب الشرعية ولا يشترط في الانتفاع بمحبة الصالحين أن يعمل عملهم اذ لو عمله لكان منهم ومثلهم وقد صرح في الحديث الذي بعد هذا بذلك
“Hadits ini menjelaskan keutamaan cinta Allah, Rasul, orang-orang shaleh dan ahli kebaikan, baik yang masih hidup atau sudah meninggal. Di antara keutamaan mencintai Allah dan RasulNya adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya serta beretika dengan etika-etika syar’i. Tidak disyaratkan untuk mendapatkan manfaat dengan cara mencintai orang-orang shaleh, berperilaku seperti mereka, sebab jika demikian, maka ia termasuk golongan mereka. Nabi telah menjelaskan hal ini dalam hadits setelah ini.” (al-Imam al-Nawai, Syarh Muslim, juz.16, hal,186)
Memang ada beberapa hadits yang bermasalah riwayatnya berkaitan dengan jaminan syafaat Nabi bagi orang yang merayakan maulid. Misalkan hadits : “Barang siapa yang mengagungkan maulidku, maka aku memberinya syafaat di hari kiamat, barang siapa membelanjakan satu dirham untuk perayaan maulidku, seperti ia membelanjakan satu gunung emas di jalan Allah.” Namun, secara substansi hadits tersebut adalah benar. Permasalahannya hanya dalam etika periwayatan tidak perlu dinisbatkan kepada Nabi.
Kesimpulannya, merayakan maulid Nabi adalah upaya yang sangat baik untuk meningkatkan rasa mahabbah kepada sang manusia terbaik. Nabi menjamin, yang mencintai beliau kelak akan dikumpulkan bersama beliau di tempat yang mulia. Mereka-mereka yang dikumpulkan bersama Nabi adalah yang mendapatkan syafaat beliau. Semoga kita semua kelak mendapat syafaat Nabi, dikumpulkan bersama beliau dan orang-orang shaleh. Wallahu a’lam.
*) Penulis adalah Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.
*) Sumber : https://aswajanucenterjatim.com/dalil-tentang-merayakan-maulid-dapat-datangkan-syafaat-nabi.html