Surabaya (Radar96.com) – Wakil Ketua PWNU Jatim dan wakil sekjen DPP MUI, Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi, menyodorkan empat kriteria Rais Aam PBNU dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung pada 23-25 Desember 2021.
“Menurut hemat kami, sosok calon Rois Am sebetulnya lebih penting daripada ketum PBNU, karena Rais Aam menurut AD/ART NU merupakan pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama, segala petuah dan keputusannya harus dihormati oleh warga NU,” katanya di Surabaya, Senin.
Karena itulah, dibutuhkan figur yang mumpuni untuk mengemban amanah tersebut. Rais ‘aam itu bukan hanya sekedar jabatan kepengurusan tertinggi di jam’iyah Nahdlatul Ulama, tapi merupakan maqam atau kedudukan khusus untuk seseorang yang memiliki kualifikasi yang memadai.
“Menurut KH Makruf Amin sebelum muktamar NU ke 33 di Jombang pada 2015, Rais aam itu jabatan yang tidak boleh diperebutkan, tapi harus dicari seseorang yang memiliki kualifikasi seperti itu, yang menurut beliau layak disebut sebagai shahibul maqam,” katanya.
Mengutip pokok pemikiran KH Makruf Amin dalam Muktamar ke-33 di Jombang (2015) itu, Gus Fahrur yang mantan Wakil Ketua RMI PBNU (2005-2015) dan juga pengasuh Pesantren Annur 1 Bululawang Malang menyebutkan empat kriteria yakni Faqih, Munadzim, Muharrik, dan Mutawarri’.
“Faqih artinya seorang Rais Aam harus mendalam penguasaan keagamaannya, terutama dalam ilmu fiqh. Karena rais ‘aam lah yang mengarahkan jalannya organisasi tertinggi, termasuk dalam hal keagamaan. Bagaimana seseorang bisa menjadi pengarah kalau tidak seorang faqih,” katanya.
Sementara Munadzim atau manajerial, artinya seorang Rois Am harus paham dalam tata cara mengelola organisasi. NU merupakan organisasi besar dan rais ‘aam merupakan nahkoda yang membawa organisasi ini ke mana arahnya.
“Oleh karena itu dia harus memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup untuk dapat menjalankan roda organisasi, bukan kader karbitan yang mendadak bertengger di level nasional. Karena sesungguhnya lembaga tanfidziyah itu hanya pelaksana tugas Syuriyah, sehingga rais ‘aam harus memahami tata laksana manajemen organisasi sejak dari level bawah,” katanya.
Untuk Muharrik atau penggerak itu karena NU merupakan gerakan ulama untuk memperbaiki umat dan negara atau “harakah al-ulama fi ishlah al-ummah wa ad-daulah”.
“Karena itu rais ‘aam harus menjadi seperti dinamo yang bisa menggerakkan seluruh jaringan di NU. Tidak orang yang hanya bisa bergerak sendiri tapi tidak menggerakkan apa-apa, seperti gasing yang berputar sendirian,” katanya.
Terakhir, Mutawarri’ atau orang yang terjaga, baik pergaulannya, perilakunya, makanannya atau sikap politiknya.
“Dari uraian kriteria tersebut, calon rais ‘am ideal adalah seorang kyai yang faqih, alumni pesantren, rajin, tekun dan teliti dalam membahas masalah fiqh dan juga mampu menuangkan dalam bentuk tulisan, penguasaan terhadap gramatika bahasa Arab, dan juga berpengalaman aktif di jam’iyah Nahdlatul Ulama sejak muda, sehingga memahami kondisi kepengurusan NU di setiap tingkatan,” katanya. (*/pna)