Surabaya (Radar96.com) – Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur menghukumi Cryptocurrency atau mata uang digital kripto itu haram.
“Para mubahitsin mengambil kesimpulan bahwa cryptocurrency tidak memenuhi standar sil’ah (komoditas) secara syara’ (syariat), karenanya meniagakan cryptocurrency hukumnya adalah mamnu’ (ghairu jaizin),” kata Katib Syuriah PWNU Jatim KH Safrudin Syarif mendampingi Ketua LBM NU Jatim, KH Ahmad Ashar dalam konperensi pers di Surabaya, Selasa.
Pada Ahad (24/10), PWNU Jatim telah mengadakan Bahtsul Masail di Aula Salsabila, Gedung PWNU Jawa Timur, yang dihadiri oleh semua utusan Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) se-Jawa Timur dan berbagai utusan santri Pondok Pesantren di Jatim.
Adapun materi yang dibahas ada dua sekaligus merupakan bagian materi bahtsul masail Muktamar ke-34 NU 2021 di Lampung. pada 23-25 Desember 2021
“Bahtsul masail PWNU telah membahas Cryptocurrency dalam pandangan Fiqih, apa itu komoditi (sil’ah) ? Apakah Bitcoin, Ethereum, Polkadot dan Tether bisa dianggap sebagai komoditi/sil’ah, dan bagaimana bila pemerintah menyatakan bahwa keempat aset crypto tersebut dipandang sebagai komoditi oleh pemerintah,” katanya
Jawaban dari pertanyaan ini tidak mengesampingkan berbagai pertimbangan dan penjelasan dari para ahli yang berkompeten di bidangnya, hasil penelitian terhadap keberadaan aset crypto oleh Tim Kesekretariatan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jatim, memperhatikan berbagai peraturan resmi negara, dan telaah terhadap beberapa nushush al-syariah yang terdapat di dalam kutub al-mu’tabarah (Kitab Kuning) dari kalangan Madzahib al-Arba’ah.
“Dasar keputusan haram ini dengan mempertimbangkan pola transaksi mata uang kripto (cryptocurrency) yang lebih banyak unsur spekulatif dan tidak terukur,” katanya.
Sil’ah, secara bahasa memiliki pengertian yang sama dengan mabi’ yaitu sebagai barang/komoditas yang bisa diakadi dengan akad jual beli. “Mabi’ adalah komoditas yang bisa menerima berlakunya akad jual beli” sebagaimana disebut dalam kitab “Mu’jam Lughati al-Fuqaha” pada halaman 401.
Karena bisa diakadi dengan akad jual beli, maka sil’ah juga bisa diniagakan (di-trading-kan). Sebagaimana hal ini diungkap oleh Syeikh Jamal (w. 1204 H) dalam Kitab “Hasyiyatu al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj” pada Juz 2, halaman 265, bahwa “Niaga merupakan upaya mengelola sil’ah dengan tujuan mendapatkan keuntungan”.
Dengan mencermati akan hal itu, maka pada sil’ah (komoditas) secara mutlak wajib mengikuti syarat dan ketentuan mengenai “barang” yang bisa dijualbelikan. Syarat barang yang bisa dijualbelikan dalam Islam ada tujuh syarat, yaitu:
Jika barang tersebut suci. (Mafhumnya, bahwa barang tersebut suci adalah barang tersebut wujud atau ada fisiknya).
Syarat lainnya, bisa dimanfaatkan oleh pembeli secara syara’ dengan pemanfaatan yang sebanding / sejalan dengan status hartawinya secara adat; Bisa diserahterimakan secara hissy (maqduran ala taslimihi hissan) dan secara syar’i; dan Pihak yang berakad menguasai pelaksanaan akadnya.
Selanjutnya; Mengetahui baik secara fisik dengan jalan melihat atau secara karakteristik dari barang; selamat dari akad riba; dan aman dari kerusakan sampai barang tersebut sampai di tangan pembelinya (qabdl). “Dengan kata lain, sil’ah wajib terdiri dari barang yang bisa dijamin penunaiannya,” katanya.
Adapun pengertian ‘barang’ secara fikih, sebagai obyek yang bisa dijualbelikan adalah wajib mencakup dua ketentuan, yaitu ain musyahadah (barang fisik), atau syaiin maushuf fi al-dzimmah (barang berjamin aset). Aset yang bisa dijadikan jaminan barang ini adalah aset yang terdiri atas ain (materi), dain (utang) dan fi’lin (pekerjaan, jasa/manafi’ dan hak).
“Syeikh Bujairamy (w. 1221 H) dalam Hasyiyah Bujairamy ala al-Khathib, Juz 3, halaman 4, menjelaskan, bahwa jual beli itu ada tiga perkara/macam, dalam satu wajah ada empat macam. Pertama: jual beli barang fisik yang bisa disaksikan oleh dua orang yang saing melakukan akad, maka hukumnya adalah boleh karena ketiadaan gharar (penipuan). Kedua, jual beli sesuatu yang bisa ditunjukkan karakteritiknya dan berjamin,” katanya.
Berdasarkan definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua aset kripto cryptocurrency pada dasarnya tidak memenuhi kategori sebagai sil’ah (komoditas) secara fikih, karena tidak termasuk kategori ain musyahadah dan tidak termasuk kategori syaiin maushuf fi al-dzimmah.
“Dengan demikian, Cryptocurrency juga tidak memiliki potensi untuk bisa diserahterimakan secara hissan (inderawi) dan syar’an, dan Cryptocurrency termasuk aset ma’dum (fiktif), karenanya para mubahitsin menyimpulkan bahwa cryptocurrency tidak memenuhi standar sil’ah (komoditas) secara syara’, sehingga meniagakan cryptocurrency hukumnya adalah mamnu’ (ghairu jaizin),” katanya.
Dalam pandangan Sulthanu al-Ulama’ al-Izz Ibn Abdi Al-Salam (w. 660 H), dalam kitab “al-Ghayah fi Ikhtishari al-Nihayah” pada Juz 3, halaman 324 menjelaskan, “Rasulullah telah melarang jual beli kandungannya kandungan, jual beli mulaqih, mudlammin, mulamasah, munabadzah dan jual beli hashah. Seluruhnya termasuk akad yang fasid. Adapun jual beli habl al-hablah, adalah jual beli dengan harga tempo terhadap kandungannya hewan yang masih ada dalam kandungan, atau jual beli kandungannya kandungan sebelum wujud (nampak fisik)”.
Terkait Kripto sebagai Mata Uang di Indonesia, telah jelas bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang selain ketentuan syariat tentag komoditi (sil’ah). Adapun pengaturan Perdagangan Cryptocurrency oleh Pemerintah dalam hal ini oleh Bappeti yang tertuang dalam Peraturan Bappeti Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (crypto asset) di Bursa Berjangka.
Menurut Bappeti, ada beberapa faktor penetapan aset kripto menjadi komoditi, yakni harga fluktuatif (harga aset kripto sangat fluktuatif dari waktu ke waktu dan perdaganganya sangat likuid); dan tidak ada intervensi pemerintah (aset kripto yang muncul dari teknologi blockchain diperdagangkan secara bebas tanpa intervensi dari pemeritah dengan demikian struktur pasarnya sempurna).
Ketentuan lain; banyaknya permintaan dan penawaran (pasarnya sangat besar –penawaran dan permintaan– baik di tingkat nasional maupun global, tersedianya pasokan asset kripto dan telah tumbuh pusat perdagangan aset kripto di dunia. Di Indonesia telah muncul pedagang aset kipto dengan banyaknya nasabah yang bertransaksi); dan standar komoditi (sebagai komoditi digital asset kripto memiliki standar seperti komoditi lainya yang meliputi pegguaan teknologi, memiliki harga/nilai, dapat diperjualbelikan dan memiliki kegunaan sebagai sarana perukaran yang mepunyai nilai dalam komunitas/proyek tertentu).
“Empat faktor di atas memperjelas bahwa apa yang diseutnya komoditi versi Bappeti sangat tidak sejalan dengan komoditi (sil’ah) menurut pandangan syara’,” katanya.
Oleh karena itu, PWNU Jatim merekomendasikan umat Islam, khususnya warga Nahdliyyin, dalam bermuamalah hendaknya berhati-hati dan senantiasa bertujuan mencari yang halal, dan Pemerintah hendaknya tidak membuat aturan-aturan yang melanggar norma-norma agama.
“Dalam hal telah terbit aturan yang ternyata berdampak negatif, Pemerintah seharusnya tidak segan-segan untuk merevisi dan bahkan mencabutnya,” katanya.
Selain itu, PWNU Jatim merekomendasikan agar delegasi PWNU Jatim di Muktamar ke-34 NU 2021 di Lampung bersama seluruh PCNU se-Jawa Timur konsisten untuk mengusulkan hasil Bahtsul Masail ini ke Muktamar ke-34 NU agar menjadi keputusan final organisasi. (*/pna)