Oleh KH Miftachul Akhyar *)
Manusia diberi nikmat berupa akal oleh Allah swt agar bisa mendekatkan diri dan meningkatkan keimanan kepada Sang Pencipta. Hanya saja, tidak semua hamba mampu mengontrol aktivitas pikiran masing-masing.
Meski kebanyakan manusia tidak bisa mengontrol pikirannya untuk selalu bisa meningkatkan iman, ada golongan tertentu yang selalu mengupayakan diri untuk memikirkan dan merenungi ciptaan-ciptaan Allah sehingga keimanannya selalu meningkat. Mereka adalah hamba yang sudah mencapai level salikin dan majdzubin.
Kalau maqam (level) salikin dan majdzubin, cara berpikirnya adalah bagaimana mereka menghasilkan nilai tambah. Sekali mikir tambah iman, sekali mikir tambah iman, dan seterusnya.
Sebaliknya, orang yang belum bisa mencapai cara berpikir yang demikian, digolongkan sebagai kelompok manusia awam. Salah satu ciri-ciri kelompok ini adalah mudah goyah oleh urusan duniawi yang juga menandakan tipisnya iman. “Iman yang setipis kulit bawang, kedatangan uang bisa melayang”.
Manusia awam pada dasarnya meyakini wujud Allah swt, hanya saja pikirannya belum sampai pada tahap tashdiq atau kemantapan iman. Mereka berusaha menemukan hakikat keimanan, tapi belum pada kesimpulan terakhir (tashdiq).
Ada dua model berpikir level salikin dan majdzubin, yaitu fikrah tashdiqin wa iman (berpikir sampai pada level tashdiq dan keimanan) dan fikratussyuhud wa ‘iyan (berpikir dengan melihat objek secara langsung).
Fikrah tashdiqin wa iman adalah berpikirnya seseorang yang benar-benar mengimani Allah swt. Dengan bekal yang ia miliki, hari-harinya hanya digunakan untuk memproduksi cara berpikir yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi hal-hal yang mendatangkan murka-Nya. Apapun yang dipikirkan, pasti selalu memancarkan cahaya keimanan.
Sementara fikratussyuhud wa ‘iyan adalah berpikir ketika seseorang sudah melihat langsung objek yang ia pikirkan. Model pikir seperti ini biasanya dimiliki oleh hamba yang sudah mencapai level majdzubin. Orang pada level ini seolah-olah melihat Allah secara langsung. Ibarat orang meyakini keberadaan ka’bah karena sudah melihat ka’bah tersebut dengan mata kepala sendiri. (*)
*) KH Miftachul Akhyar adalah Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengasuh Pondok Pesantren Miftsachus Sunnah, Surabaya
*) Sumber: https://nu.or.id/nasional/kh-miftachul-akhyar-jelaskan-cara-berpikir-level-salikin-dan-majdzubin-DClZr (ngaji Al-Hikam di TVNU)