Jakarta (Radar96.com) – “Pertama kali saya mengenal baik Kyai Nur Muhammad ketika bersama-sama menjadi pengurus koperasi pondok pesantren se-indonesia pasca munas RMI PBNU tahun 1996 di Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, yang dikenal dengan “Munas Salaman Genggong” yang mempertemukan antara Gusdur dan Pak Harto yang menandai cairnya ketegangan antara Gus Dur dan Presiden Suharto kala itu”.
Hal itu diungkapkan pengasuh Pondok Pesantren Annur 1 Bululawang Malang yang juga Wakil Sekjen MUI itu, Dr. H. Ahmad Fahrur Rozi, alias Gus Fahrur, mengenang Kyai Nur –panggilan akrab almarhum yang wafat pada 13 Desember 2020 atau Haul ke-1.
Saat itu, Kyai Nur menjadi Ketua Induk Koperasi Pondok Pesantren se-Indonesia (Inkopontren), sedang Gus Fahrur menjadi wakil sekretaris Puskopontren Jawa Timur yang diketuai oleh Kyai Mutawakkil Alallah, Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo yang saat itu menjadi tuan rumah kegiatan Munas RMI.
Selanjutnya, Kyai Nur dan Gus Fahrur sering bertemu dalam upaya pemasaran dua produk kerjasama Inkopontren dan RMI saat itu berupa mie instan “Barokah” dan pembalut wanita merk “Ramisoft” yang konon merupakan singkatan dari RMI Softex. Meskipun pada akhirnya kedua produk ini gagal bertahan di pasaran, namun kegigihan beliau telah menginspirasi banyak Gus dan Kyai muda tentang wirausaha pesantren.
Pada tahun 1998, Kyai Nur berkenan hadir di pesantren yang diasuh Gus Fahrur untuk memberikan ceramah dalam rangka haul kakek, KH Anwar Nur, Pendiri Pondok Pesantren An-Nur Bululawang Malang. “Saat itu, sedang heboh-hebohnya pemberitaan media massa tentang insiden percobaan pembunuhan dan penembakan mobil Pajero yang ditumpangi beliau di jalan tol oleh orang tak dikenal. Ketika saya tanya siapa dan kenapa beliau ditembak? Beliau menyebut satu nama yang pernah mengancamnya sebab menolak untuk bergabung membantu partai penguasa dan sikap kritisnya terhadap pemerintahan saat itu,” kata Gus Fahrur.
Setelah Muktamar NU di Pesantren Lirboyo Kediri tahun 1999, hubungan keduanya semakin dekat karena guru keduanya, RKH Idris Marzuki, diangkat menjadi Rois Syuriah PBNU dan mempunyai kedekatan khusus dengan presiden Gus Dur sebagai salah satu kyai khos “Forum Langitan”.
“Hampir tiap minggu saya mengantar beliau ke Jakarta untuk ngantor di PBNU atau dipanggil untuk bertemu Gus Dur di istana. Kyai Nur sering membersamai Gus Dur ketika bertemu bersama kyai-kyai. Kyai Nur sangat akrab dan didengarkan pendapatnya oleh Gus Dur, meskipun seringkali terlihat hanya seperti guyon-guyon saja. Saat itu beliau juga menjabat sebagai anggota DPR RI dari PKB,” kata Gus Fahrur.
Sepuluh tahun lamanya sejak tahun 1999 sampai 2009, di masa Kyai Idris Marzuki menjabat sebagai Rois Syuriah PBNU dan wakil ketua Dewan Syuro DPP PKB, ada dua mobil yang paling sering dipinjam Gus Fahrur untuk dipakai menjemput kyai Idris ke bandara dan kegiatan kyai selama di Jakarta yakni mobil kyai Nur Muhammad dan mobil Gus Saifullah Yusuf. Bahkan, secara khusus Kyai Nur memang pernah berpesan kepada Gus Fahrur agar memakai mobil miliknya jika Kyai Idris tiba di Jakarta. Beliau sangat bahagia setiap kali melayani kedatangan Kyai Idris di Jakarta.
“Saya melihat kyai Nur memang tulus hormat takdzim kepada Kyai Idris sebagai guru dan orang tua yang telah mengasuhnya ketika mondok di pesantren Lirboyo. Jika kyai Idris pergi ke Jakarta, beliau minta saya selalu memberi kabar dan berusaha menemui atau mengajak menginap di rumahnya. Melihat begitu cintanya beliau pada Kyai Idris. Saat Kyai Idris wafat, keadaan Kyai Nur sendiri saat itu sedang sakit keras. Saya tidak berani memberi tahu, karena kondisinya mengkhawatirkan jika beliau sangat kaget. Hingga suatu saat, beliau sendiri yang menelepon saya dengan penuh rasa duka menanyakannya,” kata Gus Fahrur.
Kyai Nur Muhammad yang hidup bermukim di kota besar Jakarta di mata Gus Fahrur adalah pribadi kyai yang sangat unik. Meskipun almarhum telah sukses membangun pesantren dan berdakwah di Jakarta, hidup berkecukupan, namun almarhum tetap saja istiqamah menjalankan puasa sunnah dawud yakni sehari berpuasa dan sehari tidak, yang telah dilakoninya semenjak puluhan tahun hingga akhir hayatnya, meskipun dalam keadaan sakit.
“Saya juga mengetahui bahwa beliau mempunyai wirid istiqamah setelah tahajud yang cukup panjang di setiap malam. Ketika pemilu presiden tahun 2004, saya dan Kyai Nur Muhammad sering diajak mendampingi cawapres almarhum Kyai Hasyim Muzadi berkampanye keliling Indonesia,” kata Gus Fahrur.
Seringkali Gus Fahrur dan kyai Nur menginap dalam satu kamar hotel berdua. Di situ Gus Fahrur melihat sendiri bagaimana istiqamahnya kyai Nur Muhammad. Meskipun dalam perjalanan yang sangat jauh tetap mengajak shalat berjamaah, berpuasa Daud dan tidak pernah meninggalkan tahajud beserta wiridnya.
Ketika muktamar NU dan di Makassar tahun 2005, di sela waktu mengajak berolahraga berjalan kaki di bawah terik matahari setelah shalat Dzuhur di area pantai Losari Makassar. Sambil berjalan, Gus Fahrur melirik mulut beliau tetap bisa komat-kamit membaca sesuatu. Penasaran saya tanya, “Baca apa, Kyai?”. Almarhum menjawab sedang membaca Surat Yasin/ Berapa ? 50 kali.
Kyai Nur di mata Gus Fahrur adalah Kyai yang ramah, humornya cerdas, hangat bersahabat dan dermawan, bukan hanya pada Gus Fahrur, namun pada semua orang yang pernah mengenalnya. “Saya bangga pernah mengenal dan menjadi sahabat nya, sehingga salah satu anak saya, saya beri nama Nur Muhammad seperti namanya, di samping secara kebetulan kakek buyut kami juga memiliki nama serupa. Selamat beristirahat, Kyai. Keberanian, kebaikan, dan uswah hasanah panjenengan abadi di hati kami. Alfatihah,” katanya. (*)