Sidoarjo, Radar96.com – Gedung eks “Markas Besar Oelama” (MBO) yang berada di Jl. Brigjen Katamso IA, Gg. Satria No.181, Kedungrejo, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (10/12/2023), mulai direnovasi dengan membongkar bagian atap.
“Kenapa renovasi MBO dimulai hari Minggu, karena para ulama memang mengajari kita untuk memulai sesuatu pada hari Minggu atau Rabu,” kata Ketua Tim Pelaksana Renovasi dan Revitalisasi Gedung MBO A. Afif Amrullah disela-sela pengerjaan renovasi tahap 1 di Waru, Sidoarjo.
Selain itu, renovasi juga harus mempertimbangkan intensitas hujan di Jawa Timur yang sudah mulai tinggi dan sangat berbahaya jika Gedung MBO dibiarkan begitu saja. “Atapnya bocor dan rawan ambruk, jadi kita mulai saja dengan dana seadanya, meski kami butuh Rp500 juta untuk renovasi hingga tahap keempat (terakhir),” katanya.
Untuk renovasi tahap pertama ini, pria yang juga Ketua lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) PWNU Jawa Timur ini menjelaskan targetnya untuk membenahi dan menguatkan struktur atap bangunan.
Afif menambahkan tim yang dibentuk oleh PWNU Jawa Timur ini sudah menyiapkan desain dan skenario proses renovasi. “Kebetulan, tim kami juga memiliki seorang arsitek yang profesional. Tahapan renovasinya akan dibagi menjadi empat bagian,” katanya.
Tahap pertama fokus pada pembongkaran atap, Atap depan rooftop, reng balok (opsional) atap induk galvalum, genteng dan wuwung. Tahap kedua nanti pada penguatan struktur bangunan utama, kemudian tahap ketiga adalah penyempurnaan interior dan multimedia.
“Tahap terakhir adalah penyiapan manajemen operasional gedung. Nantinya ini akan kita fungsikan sebagai ‘mini museum’ Markas Besar Oelama yang bermanfaat sebagai sarana edukasi, wisata religi dan cagar budaya,” tutur mantan aktivis IPNU Jatim itu.
Selain itu, Afif menyampaikan bahwa dana renovasi gedung sementara ini bersumber dari donasi masyarakat dan bantuan pemerintah daerah, namun pihaknya juga membuka kesempatan kepada masyarakat untuk berkontribusi dalam renovasi gedung bersejarah ini.
“Dana bantuan dapat disalurkan secara online melalui https://nucare.id/program/renovasimbo atau transfer ke rekening BSI 177-7777-757 dan BCA 429-8624-999 atas nama Lazisnu Jatim, kemudian melakukan konfirmasi melalui WA ke 0896-3009-2626,” katanya.
Nilai historis eks gedung MBO itu dikuatkan oleh saksi sejarah bernama Djunaidi yang bermukim di Wedoro Utara RW 1/RW 2 Nomer 41, Wedoro, Waru, Sidoarjo, yang berjarak tidak jauh atau hanya sekitar 1 kilometer dari “markas” ulama-santri di Waru itu.
Tahun 2000-an, Djunaidi mengaku sudah sering ngobrol dengan Dimyati, anak pemilik gedung itu. “Jadi, jauh sebelum ada tim NU yang mengurus atau melacak sejarahnya,” kata warga NU yang mengaku sering berkunjung ke rumah itu untuk ngobrol dengan Dimyati.
Djunaidi menjelaskan ayah Dimyati itu merupakan orang kaya yang berjualan alat untuk kelengkapan transportasi kuda (dokar) dan jualan di depan rumah yang lokasinya memang berada di dekat pasar itu.
“Ayahnya Dimyati itu kaya tapi dermawan, maka ketika beliau mendengar kalau Mbah Kyai Hasyim Asy’ari mencari tempat yang aman dan strategis untuk perlawanan terhadap Sekutu, maka beliau mengorbankan rumahnya itu,” katanya.
Alhamdulillah, Mbah KH Hasyim Asy’ari “kerso” (berkenan), karena lokasinya memang strategis yakni berbatasan dengan Surabaya dan dekat dengan Stasiun KA Waru, sehingga para ulama dan santri tinggal turun kereta dan jalan beberapa ratus meter saja.
“Lokasinya juga samar karena ayah Dimyati berjualan di depan rumah dan banyak orang yang membeli alat untuk transportasi kuda di depan rumah yang juga dekat dengan pasar itu, sehingga dapat mengelabuhi pasukan Belanda yang juga punya pos penjagaan tidak jauh dari MBO,” katanya.
Tidak hanya itu, Djunaidi yang “mondok” di Pesantren Tebuireng itu sering melakukan kroscek ke santri senior bernama Sholeh Hasibuan untuk memadukan kebenaran cerita Dimyati dengan pihak Tebuireng.
“Saya padukan, kok cocok, ternyata Mbah Kyai Hasyim Asy’ari memang sering wira-wiri ke Waru untuk mengatur strategi perjuangan, bahkan Bung Tomo juga sowan Mbah Kyai Hasyim Asy’ari untuk menanyakan kapan mulai perang? Mbah Kyai Hasyim Asy’ari minta waktu untuk menunggu kedatangan Kyai Abbas Jamil Buntet/Cirebon dan Mbah Kyai Hamid Babakan untuk mengatur strategi (strategi Trisula),” katanya.
Dari keterangan berbagai pihak di Tebuireng-Jombang, tercatat markas para ulama pejuang pindah dari Markas Blauran IV/25 Surabaya ke Markas Waru itu tanggal 3 Desember 1945 atau 78 tahun lalu, yang dari markas itulah perlawanan hingga setahunan dilakukan para ulama-santri sampai akhirnya disepakati perjanjian Linggarjati pada Oktober 1946 sebagai pengakuan Sekutu atas kemerdekaan Indonesia, meski perjanjian Linggarjati baru ditandatangani pada awal 1947.
“Soal nama. Kalau markas di Blauran memang dikenal dengan sebutan Markas Kyai, tapi markas perjuangan ulama di Waru itu disebut Dimyati dan tetangga sekitar sini dengan sebutan Markas Besar Oelama atau MBO. Masyarakat menyebutnya Markas Besar Oelama (MBO), karena ulama yang datang ke markas Waru ini memang ulama-ulama gede (besar),” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mendukung “napak tilas” yang dilakukan PWNU Jawa Timur terhadap gedung MBO dengan dua langkah yakni langkah “penyelamatan” (2019) dan langkah “renovasi/revitalisasi” (10 Oktober 2023) yang melibatkan kader-kader NU profesional untuk merenovasi secara arsitek tanpa mengubah keasliannya, serta merevitalisasi sebagai wahana edukasi sejarah/nasionalisme. (*/mbo)