Mojokerto, radar96.com – Sabtu (9/3) malam, Haul ke-22 KH. Moenasir Ali, ulama pejuang di masa perang gerilya mempertahankan kemerdekaan RI di tahun 1945 hingga 1949, digelar di Kompleks Baitul Munasir, Desa Pekukuhan, Mojosari, Mojokerto, Jatim.
Kiai Moenasir mencatatkan diri sebagai salah satu dari ulama Nahdlatul Ulama yang meneruskan karir militernya pasca revolusi kemerdekaan.
Di masa peperangan, Kiai Moenasir adalah Komandan Batalyon Pasukan Hizbullah yang terkenal dengan nama Batalyon Condromowo atau dalam pasukan gerilya diberi label Batalyon 39/Brawijaya.
Publikasi penelitian berjudul “Dari Militer ke Panggung Politik: Biografi KH. Muhammad Munasir Ali Tahun 1958-1998” yang ditulis Tim Universitas Jember, Farid Hidayat, dkk, mencatat setelah melewati masa perang gerilya dan karir militernya, KH Moenasir Ali menjadi tokoh NU yang berkiprah dalam panggung politik, khususnya di Parlemen.
Kiprah politik KH Moenasir Ali tidak lepas dari pendidikan di pesantren dan karirnya dalam Hizbullah dan militer. Pendidikan pondok pesantren membentuk karakter dan kepribadiannya. “Kemudian ditambah ketika almarhum menjadi Komandan Hizbullah mampu membentuk jiwa kepemimpinannya saat memimpin pasukan tempur Batalyon Condromowo,” ungkap Taufiq.
Pasca pensiun dari militer tahun 1958, Moenasir Ali tertarik pada perjuangan
politik. Dorongan tersebut kemudian Moenasir ditarik menjadi anggota Dewan Nasional tahun 1958 dan Dewan Perancang Pembangunan Nasional 1959.
Karir politiknya semakin terbuka ketika awal Orde Baru, Moenasir Ali ditarik menjadi anggota DPRGR tambahan tahun 1967-1971. Hal itu kemudian berlanjut ketika ia menjadi anggota DPR sampai tahun 1987.
Selama menjadi anggota Parlemen, Moenasir Ali secara kolektif banyak menyumbangkan pikiran dan gagasannya dalam setiap kebijakan maupun gerakan yang dilakukan DPR atas kebijakan Pemerintah maupun permasalahan bangsa.
Setiap pergerakan ia tidak lepas dari pengaruh pengetahuan politik dari pesantren, yang kemudian ditambah dengan pengalamannya dalam militer yang menuntut sikap tegas dan berani dalam menghadapi suatu permasalahan.
“Hal itulah kemudian yang diimplementasikannya dalam setiap sikap politiknya,” tegasnya.
Selain berkiprah dalam parlemen, Kiai Moenasir juga aktif di NU. Ia menjadi Pengurus Besar Pertanu sampai tahun 1973, yang kemudian melebur menjadi HKTI dengan organisasi tani lainnya. Munasir Ali juga menjadi salah satu tokoh yang membentuk HKTI, sekaligus menjadi Ketua 1 HKTI.
Dalam struktural NU, Kiai Moenasir diamanahi menjadi Sekretaris Jenderal PBNU tahun 1979-1984, Mustasyar PBNU tahun 1984-1989, Rois Syuriah tahun 1989-1994, dan Mustasyar tahun 1994-1999.
Selama menjadi pengurus NU, ia banyak melakukan terobosan terutama yang berkaitan dengan kesekretariatan dan keorganisasian sebagai Sekretaris Jenderal PBNU, ia juga menjadi salah satu tim perumus pemulihan Khittah NU pada Muktamar di Yogyakarta tahun 1989.
Haul ke-22 KH Moenasir Ali juga bersamaan dengan peringatan 14 tahun wafat sang putra KH Rozy Munir, yang juga pernah menjadi petinggi PBNU dan Menteri Negara BUMN era kepemimpinan Presiden KH. Abdurrahman Wahid.
Haul berlangsung di kompleks makam keluarga ‘Baitul Munasir’ pinggiran bara-utara Kota Mojosari, Mojokerto.
Hadir sebagai pembicara dalam haul yang disiarkan langsung TV9 tersebut, KH Agus Sabuth Panoto Projo, putra ulama kharismatik, Almarhum KH. Hamim Djazuli atau Gus Miek.
Sebelumnya, pada Jumat (8/3) malam, juga digelar kegiatan ‘Ngopi Santai’ menggali Kisah Perjalanan Hidup 2 Tokoh Asli Mojosari Mojokerto yang mendunia, KH Moenasir Ali dan KH Rozi Munir.
Diskusi santai menghadirkan pihak keluarga, peneliti sejarah, pemerintah daerah, dipandu Wiyanto Su’ud yang juga Tim Pengusul Pahwalan Nasiional untuk KH Moenasir Ali. (*/fpnu)