Oleh Muhammad Lazuardi Islami Yusuf *)
Tanpa terasa sudah sembilan tahun Presiden Joko Widodo meresmikan Hari Santri Nasional pada tahun 2015 yang lalu. Ini adalah suatu apresiasi pada segenap santri agar mereka dapat meneruskan semangat para santri di masa lampau. Agar semangat santri bisa selalu terjaga, mereka harus selalu meniru tradisi para santri di masa yang lalu. Mengapa?Hal itu diperlukan untuk bisa meniru uswah dan semangat santri masa lalu untuk menatap masa depan dalam konteks kekinian. Tulisan singkat ini ingin memberi pandangan dalam perspektif kami selaku santri yang saat ini masih duduk di jenjang pendidikan SLTA.
Dalam dunia pesantren, santri diharuskan menyesuaikan kesadaran mental dan emosional mereka dalam ruang lingkup pesantren atau pendidikan islam yang bermukim di asrama selama 24 jam (Islamic Boarding School). Hal ini karena pesantren merupakan gambaran dari hidup bermasyarakat dalam ruang lingkup yang lebih kecil, yaitu interaksi antar teman di dalam area pondok. Seperti kata pepatah yang mengatakan “Kalau engkau ingin tahu siapa dirimu, lihatlah siapa temanmu”. Jadi seperti itulah nantinya para santri akan membentuk mental dan karakternya. Dari interaksi antar teman dalam pondok, santri akan mengenal kehidupan bermasyarakat secara tidak langsung, dan akan belajar bagaimana menghadapi segala permasalahan yang diakibatkan dari interaksi mereka dan menjadi bekal nantinya saat bermasyarakat selepas mereka lulus dari pesantren.
Namun dalam sudut pandang remaja saat ini terutama Gen Z, mereka sering kali menggabungkan tradisi dengan inovasi modern yang mana mereka sangat akrab dengan teknologi. Mereka sering kali mengekspresikan sudut pandang mereka dengan media sosial dan kerap kali berkolaborasi sesama santri untuk menghasilkan konten-konten kreatif dengan mengajak ke sesuatu yang lebih baik.
Sebagai contoh seorang santri Gen Z membuat video tentang aktivitas sehari-hari di pesantren, dan dengan dukungan serta bantuan dari koleganya yang menekuni bidang teknis terkait, dia dapat belajar bagaimana menampilkan potongan aktivitas di pesantren itu bagaimana, yang dapat disisipkan pada beberapa narasi tentang bagaimana santri itu menghasilkan produk atau inovasi bermanfaat bagi pesantren dan masyarakat di sekitarnya.
Walaupun para santri mampu menghasilkan konten kreatif seperti itu, apakah hal itu akan menjamin permasalahan mental dan emosi mereka? Seperti yang saya sebutkan diawal, santri akan mengenal kehidupan bermasyarakat secara tidak langsung.
Selanjutnya apa hubungannya dengan inovasi modern yang saya bahas diatas. Bilamana seorang santri lebih sering berkumpul dengan temannya yang tidak mau untuk berkarya atau berinovasi dan hanya bermain-main juga bercanda, di kemudian hari mereka akan kebingunan dan tidak bisa menyesuaikan dengan lingkungan mereka yang berlomba-lomba mengemukakan ide dan inovasi mereka.
Dengan demikian dampak terburuknya adalah mereka akan kalah dengan mereka yang memiliki potensi, baik dalam bidang ketrampilan teknis tertentu dengan podasi agama yang kuat. Karena bangsa mengharapkan orang yang memiliki pondasi agama yang kokoh dan mampu bersaing dengan ide serta inovasi yang terkait pelajaran umum atau skill teknis dibidang tertentu.
Saya melihat permasalahan santri dewasa ini akan dihadapkan pada permasalahan seperti itu, yaitu integrasi antara ilmu agama dengan sains dan teknologi. Namun demikian apakah hanya seputar isue kolaborasi dengan sejawat santri dan pemanfaatan teknologi versus persaingan dalam berinovasi saja? Tentu jawabannya cukup banyak, dan itu untuk mendukung para santri agar lebih siap dalam kehidupan bermasyarakat nantinya.
Permasalahan klasik yang sering dihadapi dan paling umum adalah bagaimana cara santri merespon permasalahan pribadi, terutama mereka yang masih menginjak usia remaja. Hal inilah yang ingin saya tekankan pada tulisan ini, yaitu terkait dengan emosi mengingat usia santri notabene masa remaja. Dengan demikian sangat jelas bahwa permasalahan remaja adalah titik labil pengendalian diri yang diharapkan para santri tidak sampai terjerumus pada arus yang kontra produktif.
Dalam hal upaya pencegahan agar para remaja tidak terjerumus ke dalam permasalahan remaja dan mampu bersaing dengan ide dan inovasi dengan siswa atau remaja yang sekolah umum dan tidak nyantri, adalah dengan cara selalu mengawasi dan diarahkan sesuai dengan kemampuan mereka. Apakah hanya itu saja? Tentu masih belum cukup, karena mereka butuh diberi kesempatan untuk bagaimana mereka mampu bereaksi terhadap komunitas yang lebih beragam atau dengan cara praktek berkehidupan di masyarakat yang sesungguhnya. Ini pula yang mendorong sejumlah pesantren ada program pengabdian, setelah para santri lulus dari pondok pesantrennya. Dengan itu mereka akan mengelaborasi segenap potensi yang dimiliki, baik untuk mengelola emosi, mental dan kepemimpinannya agar tidak mudah tumbang dalam bermasyarakat maupun masuk ke fase pendidikan yang lebih tinggi.
Peran pemerintah serta masyarakat juga perlu mendukung ekosistem santri dan pondok pesantren agar mereka menjadi pribadi yang tangguh, yang di idealkan oleh para kiai yang dahulu kala membentuk pondok pesantren. Dukungan itu seperti memfasilitasi para santri untuk program pengabdian disuatu daerah tertentu, terutama daerah yang minim pemahaman agama sertaarea dengan masyarakat dengan teknologi yang tertinggal.
Dapat saja hal ini seperti KKN di perguruan tinggi. Tetapi memang itulah yang dibutuhkan para santri sebenarnya agar mereka menjadi pribadi yang berkualitas dan berpendirian yang teguh. Disamping itu masyarakat umum juga perlu mengatahui bahwasannya pesantren adalah wadah untuk mendidik anak, dan apapun hasilnya tetap pasrahkan kepada pesantren karena bagaimanapun juga seorang pengasuh dan guru di pesantren pasti mendukung kegiatan para santri dan terus memantau mereka. Melalui refreksi hari santri tahun 2024 ini saya ingin berpesan kepada para orang tua di rumah bahwa apapun yang terjadi pada anak-anak atau kami yang di pondok pesantren, percayalah selama itu masih dalam pantauan pesantren semuanya akan baik-baik saja, karena pesantren akan selalu memantau dan mendidik para santri untuk menanamkan karakter kemandirian dan kepemimpinan untuk generasi di masa depan (*).
*) Penulis adalah siswa kelas XII MA Bilingual, Ponpes Al Amanah, Junwangi – Krian, Sidoarjo.